Part 22

1.8K 85 4
                                    


"Bagaimana. Apakah sudah kamu kerjakan tugas yang saya berikan" Pak Surya sudah kembali keruangannya. Tangannya memukul pundakku. Namun suasana hatinya sudah tenang, suaranya juga meneduhkan. Tidak ada kata kasar yang keluar dari mulutnya. Namun tetap saja aku belum bisa menguasai suasana hatiku, masih ada rasa tidak nyaman dalam diriku.

"Belum pak" aku masih memegang berkas yang diberikannya. Kepalaku menghadap kebawah, aku masih canggung walau dia sudah tidak marah padaku.

Pak Surya lalu membuka laptopnya, membuka sebuah folder yang berisi data-data penting. Ada key lock disetiap folder, ketika dibuka harus memakai pasword tertentu. Dia menggeser kursinya lalu menyuruhku duduk, sedangkan Pak Surya mengambil satu kursi lagi duduk disebelahku.

"Sekarang coba kamu kerjakan disini. Ini adalah laporan penjualan untuk bulan ini. Kita perlu mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi pada penjualan produk kita. Semoga tidak turun lagi. Apa kamu mengerti"

"Iya pak" aku mengangguk.

Sebuah aplikasi dijalankan. Aku dilatih untuk mengisi format didalamnya, pelan-pelan dia mengajariku. Aroma khas rokok tercium olehku saat wajahnya sangat dekat denganku, nafasnya begitu harum khas laki-laki dewasa. Pada aplikasi itu juga menunjukkan naik turunnya suatu penjualan melalui sebuah grafik penjualan. Lambat laun aku terbiasa dengan aplikasi itu, sehingga kerjaanku selesai.+

"Beberapa hari lagi kita ada meeting. Kamu ikut kan. Akan ada banyak klien yang akan kita temui disana. Semoga mereka suka dan tertarik untuk merger bersama kita".

“Bukankah ada mbak Susi ya pak sebagai sekretaris. Saya belum berpengalaman dengan tugas seperti ini. Apakah tidak bisa yang lain saja pak” Protesku.

“TIDAK BISA, SAYA MAU KAMU” bentaknya.

“tapi pak…”

“TIDAK ADA TAPI-TAPI, POKOKNYA SAYA MAU KAMU”. Pak Surya berdiri melipat tangan kedadanya, matanya kembali melototku padaku.

“iiiyyya.. pak. Saya mau”.

“Bagus, itu baru anak didik kesayangan saya” sebuah senyuman sinis tersungging diwajahnya. Apakah ini sebuah balas dendam, atau ada sesuatu yang disembunyikan olehnya yang tidak kuketahui. Akupun merasa aneh dengan sikapnya, kenapa rona wajahnya sebentar marah, sebentar teduh.

Hari demi hari terlewati, kujuga terus belajar bersama Pak Surya mengenai penjualan saham, startegi bisnis, visi dan misi, dan rencana kedepan. Sampai hari meetingpun tiba. Aku diberikan baju kantoran ; kemeja, celana kain, dasi dan sepatu kantoran baru berwarna hitam. Jika biasanya hanya seragam putih hitam, sekarang aku ada tambahan jas dan dasi. Anak PKL lain kagum melihatku. Roy dan Rikopun pangling melihatku.

“Za. Aku boleh ikut gabung ke ruangan Pak Surya ngak. Siapa tahu nanti aku juga kebagian seragam kayak kamu” tangannya menyikut pinganggku, alisnya naik turun.

“mana ketehe.. tanya aja sendiri sama Pak Surya. Emang itu kantorku?” ledekku.

“noh.. lho pake baju OB aja sono.. siapa tahu kebagian seragam yang bagus buatmu” goda Riko. dan kamipun nyengir. Roypun cemberut, menampilkan senyum kecut.

Aku dan Pak Surya menuju sebuah gedung bertingkat lima. Setelah menaiki lift, kami masuk kesebuah ruangan yang dikhususkan untuk rapat. Pak Surya memberiku kesempatan untuk melakukan presentasi di depan klient yang hadir. Semua klien sudah menjelaskan visi dan misi dan mengenai perusahaannya masing-masing. Namun saat giliranku tiba, semua terlihat kaget. Aku memperkenalkan diri bukan dengan atribut sekolah, namun sudah mewakili perusahaan  Kujelaskan visi dan misi perusahaan, lalu kinerja perusahaan. Dimana disaat turun, kami berusaha mencapai target sampai pertumbuhan penjualan naik kembali, aku juga memperkenalkan produk dengan kualitas yang bagus, dll. Sedapat mungkin aku menjelaskan sesuatu yang menarik minat mereka, kadang aku menawarkan produk dengan situasi yang mengundang tawa, dan itu membuat suasana jadi hidup.

ℍ𝔸𝕊ℝ𝔸𝕋 𝕋𝔼ℝℙ𝔼ℕ𝔻𝔸𝕄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang