05

54 8 0
                                    

Terhitung dua hari sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah milik Reika. Selama itu juga ia mencoba berdamai dengan Reika yang masih tampak tak ikhlas ruangan favoritnya ia tinggali. Ia pun semakin dekat dengan Nenek yang setiap sore hari selalu mengajaknya bersantai duduk di depan rumah. Ditemani satu cangkir teh hangat juga kue beras buatan tangan Nenek yang belakangan menjadi favoritnya.

Seperti saat ini, baru saja ia menelan kue beras terakhir yang dibuat Nenek hari ini. "Reika bekerja di mana, Nek?" ujarnya menyambung pembicaraan Nenek yang terus membahas Reika sejak kemarin.

"Di toko roti kecil pinggir kota."

Chan-Hae mengangguk-angguk tak ingin bertanya lebih lanjut. Karena akan sia-sia saja, ia tak tahu daerah sekitar sini. "Reika tak berniat ingin kuliah, Nek?"

Sambil menyesap teh hijaunya ia menggeleng. "Tidak, katanya dia ingin menemani nenek saja. Padahal Reika mendapat beasiswa untuk kuliah di jurusan seni."

"Sedikit disayangkan, aku lihat lukisan Reika bagus-bagus."

"Entahlah anak itu memang keras kepala."

Melirik jam tangan yang ia pakai, pukul lima sore ditunjukkan. Tepat seperti dugaannya, begitu ia mengangkat kepalanya, sosok Reika sedang berjalan memasuki teras rumah. Kemarin hal yang sama terjadi sebab itu ia hafal kapan Reika pulang. Memang aneh, tapi ia sering kali mengingat hal-hal kecil.

"Aku pulang," ucapan pertama Reika begitu memasuki teras rumah. Di pundaknya tergantung tas rajutan berukuran kecil sekedar untuk membawa dompet dan ponsel.

Senyum bermata bulan sabit ia tampilkan. "Segera masuk dan langsung mandi. Setelah itu kita akan makan malam bersama," ujar Nenek masih dalam posisinya.

Gadis itu hanya mengangguk sebagai balasan. Melenggang masuk tak berniat melirik Chan-Hae yang sejak tadi menatap gadis itu. Anggap saja Reika sedang kelelahan setelah bekerja sejak pukul sembilan pagi tadi.

"Ku bantu siapkan makan malam, Nek."

Jajaran piring juga mangkuk berisi makan malam buatan Nenek berasap lezat. Menelisik masuk hidung membangunkan cacing-cacing perut. Tidak banyak, namun cukup untuk memuaskan lidah mereka juga mengisi perut. Tidak lupa minuman jahe yang siap menghangatkan tengorokkan.

"Reika, kamu besok libur bukan?" Nenek membuka suara di sela makannya. Keheningan pecah, suara dentingan sendok pun ikut terhenti.

Gadis itu mengangguk sebelum tangannya meraih gyoza yang tersaji di depannya. "Tapi aku ingin ke kota, canvas Reika sudah terpakai semua."

Seperti mendapat lotre bulanan, Nenek tersenyum lebar. "Kalau begitu sekalian kamu ajak Chan-Hae saja."

Kunyahannya terhenti seketika. Rasa sedap dari gyoza yang seakan meleleh di mulutnya tiba-tiba menjadi tak berasa. Bukan perihal ruang ayah yang diambil alih oleh pria itu. Hanya saja ia tak suka jika seseorang ikut dengannya saat ia membeli peralatan melukis. Rasanya ia menjadi tak leluasa dalam bersikap.

"Dia kan bisa keliling sendiri," protes Reika.

"Sudah kamu jangan protes, ajak saja Chan-Hae bersamamu. Nenek terkadang khawatir ketika kamu pergi sendirian," perempuan dengan rambut beruban itu tak ingin kalah.

Chan-Hae yang lagi-lagi menjadi bahan perdebatan antara nenek dan cucu itu kini merasa tak enak. "Tidak usah Nek, yang ada nanti aku ganggu Reika." Gadis itu pun turut mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

"Kalau begitu anggap saja Nenek beri kamu tugas untuk menjaga Reika."

Kalau sudah begini Chan-Hae tak bisa menolak. Demi apapun ia sangat menghormati Nenek walau baru dua hari mereka saling kenal. Ia merasa bahwa Nenek kini adalah keluarganya. Jadi akan terasa tak sopan jika ia tak menuruti ucapan Nenek.

Matanya melirik ke depan, dimana Reika duduk. Gadis itu tampak sibuk mengunyah makanannya.

"Baiklah," ujar Reika berhasil menarik bibir Nenek ke atas. Lain hal dengan Chan-Hae yang kini bercampur aduk. Ia merasa senang karena memiliki waktu berdua dengan Reika. Setidaknya itu waktu yang tepat untuk ia bisa lebih dekat dengan Reika. Di balik itu ia merasa khawatir jika pergi ke kota. Walau ia bisa pastikan kota yang dimaksud hanyalah kota pinggiran.

Namun bagaimana pun juga ia adalah seorang idol yang kabur. Pastilah berita tentangnya sudah tersebar dengan mudahnya. Ia tetap memiliki kekhawatiran akan dikenali. Jika berada di sini ia merasa nyaman dan aman karena mayoritas penduduk adalah lansia. Berbeda jika di kota yang sangat memungkinkan seseorang akan mengenalnya.

"Besok pukul lima pagi pastikan sudah siap," celetuk Reika memecah lamunannya. Tarikan bibir Nenek semakin lebar, dalam benaknya mungkin ia ingin menjodohkan Chan-Hae juga cucu satu-satunya itu.

61 Days Become Forever

Bangun di pagi buta bukanlah suatu hal yang sulit baginya. Hampir sepuluh tahun ia terbiasa bangun pukul 3 pagi ataupun tidak tidur sama sekali. Hal yang menjadi masalah kini adalah ia tak terbiasa mandi dengan air dingin di pagi buta. Air hangat selalu membasuh tubuhnya jika ia mandi di pagi buta. Satu kali ia ingin mencobanya dan berakhir demam selama satu hari.

Bulu kuduknya berdiri begitu saja ketika ujung jarinya terkena air untuk mengetes air yang akan ia gunakan untuk mandi nantinya. Sialnya air yang berada di pegunungan jauh lebih dingin dari tempat diana ia tinggal, tengah kota. Rasanya kulit tubuhnya bisa berubah menjadi es dalam sekali guyuran air. Apalagi saat ini sudah memasuki musim semi yang membuat udara semakin dingin.

"Chan-Hae, dalam sepuluh menit tidak juga siap aku tinggal!" Layaknya seorang ibu yang marah kepada anaknya, suara Reika menggelegar membuat sekujur tubuhnya ikut merinding. Cepat-cepat ia putar keran yang membuat lubang-lubang di atasnya mengeluarkan guyuran air. Dingin segera memeluknya, membuat aliran darahnya seakan ikut beku.

"Tuhan, tolong jangan buat aku demam setelah ini," cicitnya sambil menahan dingin yang merangkak masuk membuat tulang-tulangnya ngilu.

Sinar matahari mulai menunjukkan wujudnya, menciptakan semburat oranye dalam langit biru yang pucat. Burung-burung pun telah bangun dari tidurnya dan mulai mengepakkan sayapnya. Bernyanyi menyambut pagi dengan gembiranya beterbangan bersama kawanannya. Begitu juga tampak sosok perempuan bersedekap di depan teras rumahnya.

"Hoi, kau ingin mencuri atau bagaimana?" sindir gadis itu ketika sosok pria muncul di depannya. Hampir saja ia tak mengenalinya, kalau bukan karena tingginya yang mirip tiang mungkin kepala pria itu sudah ditimpuk dengan tasnya.

Chan-Hae tertawa canggung sambil membenarkan posisi topinya. "Aku tak bisa menunjukkan wajahku."

Kedua alisnya mengerut kebingungan. "Kenapa memangnya?"

Setelahnya kedua pipi Reika berhasil dibuat merah oleh Chan-Hae. Pagi ini pula telinganya disapa dengan suara yang amat merdu. Bahkan dalam satu minggu ke depan, ia yakin tak akan lupa dengan kejadian hari ini.

Ketika Pria itu mendekatkan mulutnya pada telinga Reika. Mengucap tiga kalimat yang membuat kegaduhan hebat dalam hatinya. Menciptakan musik dentuman keras dari jantungnya juga membangunkan kupu-kupu yang selama ini tertidur.

"Karena aku tampan."

Bukan apa yang diucapkan, tapi suara dan jarak di antaranya.

[Hai, part in telat publish dari tanggal yg ak targetkan. Aku minta maaf yah T_T harusnya kemarin publish tapi kelupaan T_T Maaf dan makasih ya udah baca cerita aku T_T]

61 Days Become ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang