01

344 18 0
                                    

Buah berwarna merah cerah menghiasi ladang hijau puluhan hektar. Menggoda siap untuk dipanen oleh para petani yang telah memulai langkah. Kabut tipis masih menyelimuti ladang membawa angin dingin nan sejuk. Sinar matahari bersinar tipis di ufuk barat, menciptakan semburat oranye diantara birunya langit. Tapi bukan sebagai penghalang bagi mereka memanen strawberry saat mata ingin kembali menutup.

"Akhirnya datang masa panen." Perempuan paruh baya dengan topi kebunnya bersyukur. Sambil memetik buah strawberry yang memerah ia membayangkan melahap daging sapi bersama dengan keluarganya.

"Haha iya, akhirnya aku bisa membelikan baju baru untuk Reika." Matanya menyipit seiring bibirnya yang tertarik ke atas. Keriput di wajahnya tampak jelas, rambutnya pun tak lagi hitam. Tapi bukan berarti menjadi penghalang untuknya bekerja.

Perempuan bertopi itu menoleh. "Oh, aku sudah lama tak berjumpa dengan Reika. Bagaimana kabarnya?"

"NENEK!"

Tampak seorang gadis dengan rambut panjangnya yang dikepang berlari ke arah Nenek. Senyum tak luntur dari wajahnya bahkan setelah berlari puluhan meter. Pakaiannya berkibar diterpa angin membuatnya seakan dalam adegan film. Didukung dengan sinar matahari tepat menyorot kulit putihnya.

Ia tersenyum menyapa cucunya. "Itu dia," ujarnya.

Reika berhenti sejenak mengontrol napasnya. Bertumpu pada lututnya ia membungkuk. Tak lama kepalanya terangkat kembali memasang senyum lebar. "Pagi, Nek! Pagi juga Bibi!" sapanya menampilkan deretan gigi putihnya.

"Ada apa ini pagi-pagi semangat sekali?" Bibi Giho teman nenek dari desa sebelah bertanya.

"Hehe, aku baru saja selesai melukis. Aku ingin menunjukkannya kepada Nenek, bibi mau lihat?" ujarnya menggebu-ngebu.

Bibi Giho mengangguk-angguk. Perempuan itu lantas merogoh saku roknya meraih benda pipih dimana ia menyimpan foto lukisannya. "Lihat, ini aku dan nenek. Bagaimana? Bagaimana? Bagus tidak?"

Penampakan lukisan tangan Reika terpampang penuh di layar ponselnya. Dengan latar taman matahari yang bermekaran, di sana berdiri seorang nenek dan cucunya. Saling merangkul dan terseyum lebar. Dibelakang ditambah kerumunan kupu-kupu yang berwarna-warni. Sebuah mimpi yang ia curahkan dalam lukisan.  Berhari-hari ia menggurung diri di kamarnya, menghabiskan waktu dengan melukis. Walau hanya dengan peralatan seadanya, bukan berarti tangannya tak bisa membuat karya indah.

"Ini kau yang buat?" ujar Bibi Giho tak percaya. Apa yang ia lihat saat ini bahkan tidak seperti lukisan. Seperti nyata, sungguhan. Kupu-kupi yang ada di sana tampak hidup dan berterbangan ke sana ke mari. Saking tak percaya bahkan ia sampai merebut ponsel milik Reika, melihatnya dengan seksama.

"Huh, bibi tak percaya? Tentu saja itu buatanku!" sombongnya memasang gaya berkacak pinggang. Dagunya pun ia angkat tinggi-tinggi. Pasti di desa kecil ini tak ada satupun yang bisa menandingi. Tak salah ia menyombongkan diri.

Bibi Giho kembali menyerahkan ponsel milik Reika. "Kau seharusnya pergi ke kota, kau bisa menjadi pelukis terkenal," kata perempuan itu sambil kembali memetik strawberry, keranjang rotan miliknya sudah hampir penuh dengan buah berwarna merah itu.

"Tidak, aku ingin menemani nenek saja." Lantas ia memeluk leher perempuan berumur 52 tahun itu. Mecium pipi tirus beliau sebelum perutnya dijatuhi pukulan.

"Hei, nenekmu ini sedang bekerja lebih baik kau membantuku."

Bibirnya tertekuk mendengarnya. "Nenek tak ingin memuji lukisanku?" Ia berjongkok ikut memetik strawberry dan memasukkannya dalam keranjang. Kegiatan ini tak asing lagi baginya, setiap masa panen ia selalu senang hati membantu neneknya. Hitung-hitung ia bisa mendapat uang untuk ia tabung.

Nenek hanya membalas dengan senyum tipis hingga matanya terlihat seperti bulan sabit.

"Bibi, mau ku bantu membawa keranjang ke gudang?" tawarnya setelah melihat keranjang milik Bibi Giho telah meluap.

"Astaga, kamu baik sekali. Tolong ya, terima kasih," syukurnya karena tak perlu berjalan jauh untuk menyimpan hasil panen. Ia mengangkat keranjang miliknya dan menyerahkannya pada Reika. "Setelah selesai memanem Bibi traktir sarapan, ya!"

Mendengar itu semangatnya menjadi lebih membara. Di kedua matanya seakan muncul kobaran api yang menyala-nyala. "Aku menantikannya!" teriaknya dan berlalu dari sana. Berjalan menuju gudang penyimpanan yang berjarak setengah kilo dari tempat ia memanen.

Beruntung otot tangannya sudah terlatih selama tiga tahun untuk menjinjing keranjang penuh strawberry. Ia tak lagi kesusahan menjinjingnya ke gudang dalam jarak yang cukup jauh. Pemandangan yang disuguhkan pun tak membosankan di mata. Rasa bosan tak akan menyerbunya kalau begitu. Menyapa setiap orang yang ia temui pun menjadi kegiatannya selama dijalan.

Mulutnya menyenandungkan lagu yang sering ia dengar saat melukis. Sambil menikmati tiupan angin pagi yang menyapa wajahnya. Ia menutup matanya menikmati syahdunya suasana pagi ini.

"Akh!" serunya setelah tubuhnya jatuh mencium tanah berbatu. Ia tak mengingat ada tiang di jalanan sini tapi kenapa ia merasa baru saja menabrak tiang? Yang pasti kakinya kini terasa perih karena tergores batu.

Menyadari sesuatu matanya terbuka lebar. "Oh, Tidak! Strawberry Bibi!" teriaknya heboh menggumpulkan kembali buah merah itu yang menggelinding ke berbagai arah.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya seseorang secara tiba-tiba. Tubuh Reika melompat mundur seketika mendengarnya. Suara laki-laki bariton yang cukup mengerikan bagi telinganya.

"Sejak kapan kamu di sini?" Reika berucap was-was karena baru kali ini melihat orang itu.

Pria itu menggaruk belakang lehernya. "Sudah lama aku berdiri di sini. Lalu tiba-tiba kamu menabrak ku," panjang lebar pria itu menjelaskan.

"Astaga, aku kira aku baru saja menabrak tiang," ujarnya blak-blakkan sebelum ia membekap mulutnya sendiri. "Ah, maaf aku tidak bermaksud."

"Tidak apa-apa, aku sering mendapatkannya dari banyak orang."

Tak heran jika melihat tinggi pria itu yang mungkin hampir menyemtuh 2 meter. Belum lagi tubuhnya yang tampak kekar. Jelas saja jika menabrak pria itu akan serasa menabrak tiang.

"Ah, strawberry Bibi!" eluhnya melihat nasib strawberry yang dipanen Bibi menjadi kotor bahkan beberapa hancur karena tak sengaja terinjak. Kini hanya bersisa setengah dari isi keranjang yang tampak bagus.

Reika berdiri sambil menjinjing keranjang itu. Ia menjadi lesu melihat strawberry malang yang kini tak lagi berbentuk. Harus berkata apa ia nanti pada Bibi. Bisa-bisa ia dicap jelek oleh Bibi karena hal ini. Belum lagi respon nenek nanti yang mungkin akan memarahinya. Memikirkannya saja sudah membuatnya meringis.

"Kalau begitu aku pergi dulu, maaf sudah menabrak. Ini kuberi dua strawberry sebagai tanda maaf," ujarnya lalu berlalu dari hadapan pria itu. Melangkah lesu melanjutnya perjalanan menuju gudang.

Namun baru beberapa langkah pria itu menreriakinya. "Tunggu sebentar!"

"Huh? Dua strawberry tak cukup? Kalau begitu ini ku tambah satu," ia memberikan satu buah lagi kepada pria itu. Kembali berlalu melanjutkan perjalanannya.

Pria itu melongo melihatnya. "Bukan ini, lihat kakimu harus segera diobati."

"Huh? Ada apa dengan kakiku?" Begitu ia melihat kakinya seketika ia menjadi lemas. Tubuhnya ambruk ke tanah menyadari banyaknya darah yang mengucur dari kakinya. Barulah saat itu rasa sakit menyerangnya.



[Hallo, ini fanfiction ku yang pertama. Semoga kalian bersedia membaca, kasih komen dan kasih bintangnya. Terima kasih semua.]

61 Days Become ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang