Ia mengetuk pagar hitam itu. Seraya menunggu ia membenarkan posisi masker yang ia pakai. Merapatkan topi yang melindungi rambutnya sebelum ia mengangkat kepalanya kembali. Seorang gadis melangkah dengan senyum merekah ke arahnya.
Rambut pirangnya dikepang satu bersandar pada pundak gadis itu. Kedua kakinya tampak jenjang dengan celana training berwarna hitam. Dipadukan sweater rajut yang mmebungkus gadis itu agar tak kedinginan. Sederhana. Tapi tampak sangat menawan di matanya. Ia bisa saja mengajukan Reika menjadi seorang model. Ia pun bisa memastikan Reika akan langsung diburu banyak orang atas kecantikannya. Tapi biarlah ia menyimpan kecantikan Reika untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak tampak aneh bukan?" Bertanya dengan nada rendah. Kencan—jalan-jalan malam—pertama dengan seseorang memang sangat mendebarkan. Ia yang biasanya tidak pernah peduli dengan apa yang ia pakai. Hari ini ia hanya menghabiskan waktu memilih pakaian apa yang akan ia pakai untuk agenda malam ini.
Kemarin malam sekaligus kali kedua Chan-Hae mengunjungi rumahnya di tengah malam. Pria itu tiba-tiba mengajaknya untuk 'berkencan'. Percayalah sejak detik setelah Chan-Hae mengucapkannya, otaknya tak henti memikirkannya.
"Sangat cantik, sampai aku lupa cara untuk bernapas." Pria itu menjawab sedikit berbisik sambil menatap takjud ke arah Reika yang kini ada di sebelahnya. Kedua matanya serasa enggan beralih dengan hal yang lain. Reika terlalu menawan. Ia ingin melihatnya lagi dan lagi.
Reika spontan ber-hah kaget. Bibirnya segera ia tutup dengan kedua tangannya. Semburat merah mulai muncul di kedua pipinya. Chan-Hae selalu saja tidak memikirkan bagaimana efek dari kata-kata manisnya. Pria itu tidak tahu kalau ia bisa saja pingsan hanya dengan mendengarnya. "Ayo, kamu mau ke mana?" Gadis itu melangkah cepat mendahului. Menghindar dari Chan-Hae sekaligus menormalkan detak jantungnya.
"Ke pelaminan nikahin kamu," suaranya lantang menyusup masuk ke telinga Reika. Meledakkan ribuan bom di hatinya mencipta kegaduhan bukan main. Belum juga lepas dari rasa mmebuncah beberapa detik lalu, pria itu menyerangnya lagi.
"Gombal terus!" Reika berucap sedikit keras, menutupi ia yang salah tingkah. Ia harap jantungnya tidak rusak setelah ini. Mendengar degup jantungnya yang super keras membuatnya sedikit was-was. Layaknya di kejar setan, irama detak jantungnya berpacu cepat.
Pria itu sudah berdiri di sebelah Reika. Mensejajarkan langkahnya. "Mau diseriusin emang?"
Sepertinya ia butuh jin untuk mengabulkan permintaannya sekarang. Ia sangat-sangat ingin lenyap dari bumi saat ini. Sungguh ia malu jika Chan-Hae melihat wajahnya yang mirip tomat. Rasanya ia ingin mengoles lem di bibir Chan-Hae. Kalau bibir itu terus saja mengucapkan kata-kata manis ia tak yakin bisa menahan gejolak jantungnya.
"Haha, seru juga usilin kamu," tawanya dengan renyah. Lantas ia mengusap ujung kepala Reika yang tak lebih dari pundaknya. Mengacak rambut Reika saking gemasnya.
Lain hal dengan Reika. Gadis itu hampir saja pingsan di tempat. Namun pingsan tiba-tibia tidaklah lucu. Mau taruh mana nanti wajahnya. Jantung, bertahanlah ya!
Layaknya hubungan yang sudah berjalan bertahun-tahun, mereka saling bertukar kalimat dengan sangat akrab. Terkadang saling melempar ejekan entah Chan-Hae yang dikatai mirip tiang atau Reika yang diejek sebagai anak SD. Begitulah mereka menghabiskan waktu panjang sebelum sampai di tempat tujuan.
Tak begitu spesial. Hamparan rerumputan setinggi mata kaki menghampar luas. Satu dua pohon yang tumbuh besar merindang. Lalu suara binatang yang tidak pernah absen di setiap malamnya. Mengadakan konser sekaligus menyanyikan lagu pembawa tidur bagi manusia. Angin malam pun menyambut mereka dengan hawa dingin sekaligus sejuk.
Tapi lihatlah ke atas. Pemandangan yang akan mengunci mata untuk tetap menatapnya. Menganggumi keindahannya atau bertanya-tanya bagaimana langit bisa secantik itu. Tidak ada aurora dengan segala harmoni warnanya yang indah. Namun bintang bertabur di sana, memenuhi luasnya langit malam. Berkilauan layaknya permata memancar warna yang sedap di mata.
"Kamu sering melihatnya?" Chan-Hae berucap di tengah keheningan menikmati lautan permata di atas mereka.
Gadis itu lantas menggelengkan kepalanya. "Tidak." Entah ini sudah hitungan ke berapa sejak ia pertama kali melihat langit. Ia sering menatap mereka, berbicara dengan langit malam mengenai hidupnya. Atau menitip doa untuk dua orang tersayangnya di atas sana. Langit malam bagaikan sahabatnya sejak kejadian beberapa tahun silam.
Ketika kepalanya terus tertunduk seakan ribuan gajah menaiki kepalanya, mereka yang membuatnya kembali bangkit. Mengangkat tinggi kepalanya, menatap ke atas. Mereka yang terus mengingatkan akan hal baik diantara ribuan pikiran buruk. Ah, masih ada hal indah di dunia ini, kenapa bersedih? Pikirnya setiap kali temu tatap dengan langit malam.
"Di Soul jarang terlihat lautan bintang. Pertama aku melihatnya rasanya aku ingin menangis saking indahnya." Diakhiri tawa singkat, Chan-Hae kembali merapatkan mulutnya. Kembali menikmati. Tanpa sadar tangannya bergerak dengan halus meraih tangan Reika. Mengenggamnya erat, menautkan jari-jarinya dengan milik Reika yang rasanya sangat pas di sela jarinya. "Tapi kamu tahu tidak?"
Reika dengan segala salah tingkahnya menggeleng. Hampir saja ia meloloskan suaranya dan berteriak kegirangan ketika jari-jarinya digenggam oleh Chan-Hae.
"Diantara ribuan bintang di atas, kamu tetap menjadi bintang paling indah di mataku."
Dengan suara terbata Reika menjawab. "G-gombal!" Ia membuang arah matanya pada pohon di depan sana.
"Rei, look at me," pria itu berkata halus sambil menangkup wajah Reika. Menatap gadis itu dalam, menyelami manik mata Reika. "Aku serius, Reika itu bintang paling indah yang pernah aku lihat."
Pria itu berdiam diri untuk sesaat. Menyusun kata dalam otaknya. "Pun bulan, kamu lebih indah. Kamu bersinar. Aku ingin menatapmu terus tanpa henti. Menyimpannya dalam memori, untuk ku ingat ribuan tahun kedepan."
Setiap hal kecil yang Reika lakukan entah kenapa terasa spesial. Apalagi ketika kamu tersenyum, jantungku juga berdetak cepat." Satu tangannya kini menarik lengan Reika, menempelkannya pada dadanya. Memamerkan bagaimana kondisi jantungnya yang saat ini sangat gaduh.
Tidak ada balasan. Reika mematung, sendi-sendinya terasa mati. Ia terpaku pada tatapan Chan-Hae, manik mata hitam itu mengunci dirinya.
Sontak ia menahan napas. Sejak kapan wajah Chan-Hae sedekat ini? I bahkan bisa merasakan deru napas pria itu. Hidung mancungnya hampir bersentuhan dengan milik Chan-Hae.
Cup!
Tidak. Itu bukan suara ciuman pertama Reika yang direnggut oleh Chan-Hae. Hampir menjadi ciuman pertama. Telapak tangan Chan-Hae menutup mulutnya, lantas menempelkan bibir di atasnya. Ciuman itu terhalang tapi tidak dengan mereka yang kini saling bertukar oksigen. Berdiam dalam posisi yang sangat dekat. Mulai merangkai benang yang akan menghubungkan mereka berdua untuk semakin erat.
"Rei, mau ku ajak ke pelaminan sekarang tidak?" Telinga lebarnya memerah. Kata itu lolos begitu saja.
[Hai!! Rada ngaret saya untuk chap ini publish. Silakan kalian menikmati keromantisan mereka berdua. Saya harap kalimatnya ga bikin kalian geli hehe. Saya ga begitu ahli tapi saya mencoba. Sekaligus memberi tahu, beberapa waktu kedepan sepertinya saya akan istirahat untuk publish. Udh masuk minggu pts. Jadi yah, see u soon in another chapter maybe next week.
Terima kasih semuanya!! Terima kasih sudah baca sampai sini!! Terima kasih sudah kasih vote!! Terima kasih atas semuanya deh!!]
KAMU SEDANG MEMBACA
61 Days Become Forever
Fiksi PenggemarGadis desa yang tak lebih dari orang biasa kenapa berharap untuk bisa berada di samping seorang super star. Kebahagian memang ada dalam antaranya namum air mata yang menetes terhitung lebih banyak dari kebahagiaan itu sendiri. Mungkin keberuntungan...