23

81 10 8
                                    

Belasan kilo sudah terpaut jaraknya. Deretan rumah mewah tak lagi terjangkau mata. Gemerlap kota yang bisa ia pandang melalui kaca jendela tak lagi sama. Gedung tetap menjulang tinggi ingin mengalahkan awan, hanya saja warna kota lebih gelap dan suram. Entahlah, mungkin ia diungsikan di kota pinggiran sepi penduduk. Tak masalah, ia pun sebelumnya juga berasal dari kota pinggiran yang  terbelakang.

Setidaknya dengan ia duduk di sini otaknya bisa lebih tenang. Lebih tenang memikirkan telepon yang berlangsung dua jam yang lalu. Ponselnya juga membisu tanpa ia matikan, sama dengan desanya, sinyal menjadi hal langka di sini. Tiang-tiang yang menjulang di luar sana sepertinya hanya pajangan. Mungkin maksud Chan-Hae mengirimnya ke sini bukan untuk melindunginya dari serangan penggemarnya, melainkan mengasingkan dirinya. Tapi lupakan, itu hanyalah pikiran negatif dari otaknya yang sedang tidak berjalan rasional.

Bermodal memutar musik yang sudah ia unduh di ponselnya. Ia berniat menghabiskan malam dengan melamun. Otaknya memang sudah tidak bisa berpikir jernih. Ucapan Chan-Hae beberapa waktu lalu tepat menohok hatinya. Mungkin memang ia sejak awal hanya menjadi penghambat Chan-Hae. Lagian ia adalah orang baru yang tiba-tiba terjun dalam dunia kehidupan Chan-Hae. Jadi tak salah jika ternyata Chan-Hae sudah memiliki seseorang yang terikat dengannya. Menjadi tempat peristirahatan sementara terdengar cocok untuk dirinya.

Kasur empuk itu bergoyang, tubuhnya ia hempaskan di atas awan kapuk  itu. Mengerjap menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Lampu menyala remang-remang, bukan karena hotel yang ia tempati krisis listrik. Ia mengaturnya demikian. Entah sudah ke berapa hembusan napas kasar terdengar keluar dari kedua lubang hidungnya. Seiring dengan musik yang terus bergulir berganti, rasa kantuk mulai menguasainya. Melelapkan dirinya dalam mimpi yang tak akan ia ingat di hari esok.

Dering ponsel berbunyi nyaring. Getaran kecilnya mampu terdengar beradu dengan nakas kayu. Reika melenguh, ia tak ingin bangun. Tubuhnya masih terasa sangat lelah pun otaknya masih ingin beristirahat sebelum pikiran rumit kembali memusingkannya. Astaga, ia berharap sinyal tak akan ada hingga seminggu ke depan, sungguh ia sedang tak ingin berinteraksi dengan orang-orang. Namun begitu telinganya tak tahan dengan nada dering yang mulai memuakkan dirinya.

Tangannya bergerak malas meraih benda pipih itu. Nama Leo terpajang di layar ponselnya.

"Humm?" ia bergumam tak memiliki semangat.

"Rei..." suara serak Leo terdengar bersamaan dengan deru napas pria itu yang tak teratur. Kesadarannya yang masih belum kembali berangsur membangunkan dirinya.

Reika tak membalas ucapan Leo, ia tahu ada kalimat yang akan menyusul. "Grandma, she's collapsed. Aku sedang menaiki taxi di belakang ambulance."

Tepat kata itu dicerna otaknya, seluruh dunianya seakan runtuh. Oksigen yang seharusnya ia hirup, tak kunjung ia hirup untuk memenuhi paru-parunya. Otaknya mendadak lupa bagaimana cara untuk bernapas. Mereka sibuk memutar kembali apa yang ia lakukan terakhir kali dengan nenek. Bukanlah suatu hal yang indah untuk dikenang, gambaran masa lalu dimana dirinya menjadi bodoh karena sebuah cinta.

"Rei? You okay? Mau aku pesankan taxi?"

Gadis itu tetap diam di posisinya, tak bergerak bahkan satu inci pun. Pikirannya kalut dibayangi kemungkinan buruk yang akan terjadi pada neneknya. Sungguh ia merasa bersalah berlaku kasar kepada neneknya beberapa hari lalu. Ia tak siap menghadapi apa yang akan terjadi di depannya. Ia takut, semua pikiran buruknya akan benar-benar terjadi sebelum mulutnya berkesempatan mengucap maaf pada nenek. Dirinya belum siap kembali merasakan kehilangan, kali ini saja ia sangat memohon nenek akan baik-baik saja.

Susah payah ia membuka suara. "Dimana?"

Kalaupun khawatir dan sedikit tidak tenang, Leo tetap mengatakan dimana nenek dibawa. Ia tahu Reika tak begitu suka merepotkan orang lain. Walau sebenarnya ia pun tak keberatan memesankan taix untuk Reika. "Rumah sakit Han-Ram."

Lirih Reika mengucap terima kasih kemudina menutup sambungan telepon. Lengannya lantas terjatuh lemas. Rasanya sesak, tangannya seakan gatal ingin mengoyak hatinya yang sejak tadi tak tenang. Perutnya mual entah kenapa, seperti tak ada yang benar dengan tubuhnya kali ini. Bahkan saat ini yang seharusnya ia bergegas menuju rumah sakit, kakinya tak bisa diajak kerjasama. Terlalu lemas untuk melangkahkan kaki, tulangnya seakan berubah menjadi jeli.

Namun tidak akan ada yang berubah jika ia hanya diam saja. Skenario terburuk ia tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk melihat nenek. Untuk itu ia paksakan tubuhnya untuk bergerak walau terasa sangat berat dan ngilu. Hanya berbekal dompet dan ponselnya ia berjalan pelan dengan otaknya yang kosong keluar dari tempat ia bermalam. Tak peduli cuaca di luar sana yang menampakkan langit mendung dengan awan hitam menutupi matahari. Bahkan ia saja tak tahu apakah ada taxi di luar sana atau tidak.

Dua jam berlalu tanpa kabar. Leo duduk dengan penuh cemas menunggu kedatangan sepupunya. Nenek sudah dalam kondisi baik di dalam setelah ditangani dokter. Hanya menunggu waktu untuk nenek siuman, itupun diperkirakan hanya beberapa menit lagi. Kini ia lebih khawatir dengan kondisi Reika, gadis itu selalu tak bisa berpikir jernih ketika panik. Ia masih teringat saat mereka masih berumur 6 tahun. Saat Reika terlibat kecelakaan setelah kehilangan jejak ayahnya saat bermain di taman. Reika yang pada saat itu menangis tersedu dan berlari panik mencari ayahnya terserempet mobil saat ingin menyeberang jalan menuju bagian taman yang lain.

Tidak hanya sekali ia menangkap sikap buruk Reika ketika panik. Sebab itu hatinya tak tenang mengetahui bahwa nomor Reika tak bisa dihubungi. Seperti hilang ditelan bumi, tidak ada tanda-tanda kemunculan Reika. Berada di negara asing ini tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia tak tahu harus kemana untuk mencari Reika di saat ia harus menunggu nenek.

Di tengah kesibukannya mencoba menghubungi Reika kembali, derap langkah membuat kepalanya mendongak. Menilik siapa pemilik suara derapan tersebut. Helaan napas lega terdengar tak lama setelahnya. Tubuhnya segera bangkit menghampiri dua orang yang berjalan pelan ke arahnya.

Ia menatap panik pada gadis yang tubuhnya dibalut jaket kebesaran yang menjuntai hampir menyentuh lutut gadis itu. Rambutnya lepek meneteskan air yang turut membasahi lantai rumah sakit. Bibir yang biasa tampak merah cerah kini terlihat pucat. Tatapan kosong dari dua mata yang biasa penuh gemerlap tampak asing ia tatap. Melihatnya membuat hatinya seakan terkoyak.

Melupakan sosok pria tinggi di sebelah Reika, ia mendekap tubuh basah gadis itu. Rasa khawatir dan lega bersamaan datang. "Rei..." Setelah sekian lama tak melihat Reika dan sekalinya melihat Reika dalam kondisi buruk seperti ini bukanlah hal yang ia harapkan. Mulutnya ikut kelu untuk mengucapkan kata lainnya. Pelukan hangat lah yang ia harapkan kini untuk bisa membuat kondisi Reika menjadi lebih baik.


[umm, yea, hello again. its been 1 mont since the last time i publish this story. well, im back. aku ga tahu gimana kualitas chap ini, karena ak juga lama ga nulis. im really sorry krn aku yg hilang kabar. dn makasih untuk yang tetap nunggu cerita ini update. really thank you. see you in another chapter. anddd, thank you untuk kalian yang udah vote dan baca cerita ku ini. :D ]

61 Days Become ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang