9.

51 10 6
                                    

"Obat?" Tanya Kak Ian penasaran tentang obat yang dimaksud Om Hutama. Aku menatap Om Hutama bingung.

"Obat temennya Ola. Tadi ada obat yang kelupaan, sama Ola diambilin katanya mau dikasih ke temennya sekalian pulang. Eh si Ola juga lupa, ditaruh meja papa waktu papa minta tolong cek berkas pasien. Yaudah papa bawa sekalian karena mama ngabarin kalau Ola ke rumah, untung belum pulang." Jelas Om Hutama panjang lebar. Aku mengehela nafas lega. Untung saja Om Hutama bisa membuat alibi yang sepertinya dipercaya oleh Kak Ian.

"Hadeh, ada-ada aja sih, La." Aku hanya tersenyum kikuk dan segera menerima obat yang dibawa oleh Om Hutama. Aku segera berpamitan karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih.

Kini kami sudah di dalam mobil dan perlahan mobil meninggalkan rumah Kak Ian. Hening. Tak ada suara apapun. Aku juga merasa ngantuk, jadi malas untuk memulai pembicaraan.

"Nyalain aja musiknya, La. Kalau ngantuk tidur aja nanti gue bangunin kalau udah sampai." Aku menyalakan music player , menuruti ucapan Kak Ian. Lagu yang terputar membuatku terhanyut. Menikmati setiap nada dan liriknya.

I need somebody who can love me at my worst

No, I'm not perfect, but I hope you see my worth

'Cause it's only you, nobody new, I put you first

And for you, girl, I swear I'll do the worst

Tanpa sadar aku ikut bernyanyi. Rasa kantukku hilang begitu saja. Kak Ian yang tadinya sedang fokus menyetir, ia juga ikut bernyanyi bersamaku.

Aku hanya tertawa malu saat lagu telah berakhir. Lagu berganti. Suasana kembali hening.

"Nggak nyanyi lagi, La?"

"Nggak ah kak, malu." Kak Ian tertawa, mengelus pucuk kepalaku. Ah sudah biasa. Tapi tetap saja jantungku berdebar lebih cepat.

"Kenapa mesti malu sih? Suara kamu bagus kok. Lumayan kan aku juga jadi lebih semangat lagi nyetirnya."

KAMU?! AKU?!

"Nggak ah kak, udah deh fokus nyetir aja. Sebentar lagi juga sampai ini."

Hening. Hanya terdengar suara penyanyi dari music player. Tanpa terasa kini mobil Kak Ian sudah terparkir di depan gerbang rumahku.

"Makasih ya kak. Maaf ngerepotin. Salam buat bunda sama Kak Aya yaa." Aku bergegas turun dari mobil dan terlihat Bang Varo sudah menunggu di depan pintu.

"Besok kalau aku ajak jalan lagi jangan nolak ya, La." Ucap Kak Ian dari dalam mobil. Ia berpamitan denganku dan abang lalu tak lama mobilnya mulai meninggalkan rumah kami.

"Ngapain sih nungguin di depan pintu." Gerutuku saat mobil Kak Ian sudah tak terlihat lagi.

"Ya mastiin kalau kamu selamat sampai rumah. Lagian ini udah hampir jam sepuluh kan tadi abang bilang jam sembilan di rumah."

"Ya Allah abang, aku cuma ke rumah Kak Ian tadi masih ngobrol sama Om Hutama bentar. Kenapa sih gitu amat, ngeselin tau nggak sih." Ucapku kesal dan langsung meninggalkan Bang Varo dan menghampiri Bang Kana yang tengah asik menonton televisi.

"Bang Kana, kesel deh aku sama Bang Varo. Masa dia nungguin aku di depan pintu."

"Ro.. Ro.. lagian ngapain sih nungguin, si Ola juga bakal balik. Liat nih mukanya jadi kusut begini." Ucap Bang Kana mengelus lembut kepalaku.

"Ya namanya khawatir elah."

"Ya nggak gitu juga, kasian nih Ola."

"Hadeh iya deh iya, maaf."

GYPSOPHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang