10.

42 9 0
                                    

Setelah beberapa hari aku meninggalkan kuliah dan dalam beberapa hari itu pula waktu ujian semakin dekat. Karena tertinggal banyak materi aku memutuskan untuk mempelajari semua materi yang tertinggal di taman kampus yang tidak terlalu ramai ini. 

Banyak yang harus ku pelajari, belum lagi aku harus mempersiapkan untuk praktik. Sungguh melelahkan sekali. Aku harus berfokus pada kuliahku namun aku juga harus berfokus pada penyakitku yang semakin hari semakin menyakitkan dan sering kali tak ingin bekerjasama denganku.

"Ola? Sendirian?" Aku langsung menoleh ke sumber suara. Rupanya Bang Hugo, dosen psikolog yang merupakan teman satu tongkrongan abang juga.

"Iya bang, ngapain bang? Bikin proposal?" Bang Hugo hanya mengangguk sambil tertawa canggung. Sepertinya dia sedikit malu karena aku sudah sangat hafal dengan kegiatannya yang sering kali melakukan sebuah penelitian.

"Bang, gue capek deh. Hidup berat banget ya, rasanya pingin menghilang aja dari dunia ini." 

Bang Hugo sedikit terkejut dan bingung dengan apa yang ku katakan. Tapi memang betul aku merasa lelah dengan segalanya. Terkadang aku berpikir kenapa Tuhan tidak mengambil nyawaku sekarang saja?

"La, gue nggak tau ya lo kenapa dan ada masalah apa tapi lo nggak boleh nyerah, apapun masalah lo jangan nyerah, La. Tuhan ngasih lo masalah bertubi-tubi karena Tuhan tau lo  itu mampu menghadapi masalah itu, lo kuat ngadepin masalah lo sendiri. Bagi Tuhan lo tuh spesial, Tuhan kasih masalah ke lo karena dengan masalah itu lo jadi semakin deket sama Tuhan. La, di luar sana juga masih banyak orang yang punya masalah yang mungkin lebih berat dari masalah lo tapi mereka sama sekali nggak nyerah sama hidup mereka, La. Mereka tetep semangat buat hidup mereka dan melakukan yang terbaik seolah mereka akan mati besok." 

Ucapan Bang Hugo membuatku terdiam, berpikir lebih jauh lagi. Ucapannya ada benarnya juga, Tuhan ingin aku lebih dekat dengan-Nya. Aku juga seharusnya bersyukur karena mungkin bebanku tidak seberapa berat dibandingkan dengan orang-orang di luar sana.

"Iya sih bang, tapi gue bener-bener lagi berada dititik terendah gue. Rasanya pingin semuanya berakhir,"

"Inget, La. Apapun itu jangan pernah berpikiran hal-hal buruk. Gue yakin lo bisa ngelewatin semua ini."

Aku menghela nafas pelan. Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Setidaknya aku harus berjuang terlebih dahulu.

"Hmm.. udah ah lupain aja bang. Jadi gimana buat lamaran udah siap?" Ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Udah sih, tapi gue kan nggak bisa nyanyi, La. Pingin nyanyiin tapi suara gue jelek banget."

"Nggak papa sih bang, biar bisa dikenang. Kan lucu ya ngelamar sambil nyanyi walau suaranya nggak enak, jadi lebih berkesan."

"Ah ntar gue diketawain, malu ah."

"Ha ha ha.. nggak papa bang lumayan hiburan. Oiya, ini kalau habis liburan gimana? Di villa keluarga Kak Irena aja gimana?"

"Emang nggak papa di sana?" Aku hanya mengangguk dengan penuh keyakinan.

"Kak Irena yang menyarankan kemarin. Ntar habis ujian aja bang, pas liburan. Tapi kayaknya Bang Varo nggak bisa ikut, akhir-akhir ini dia lebih sering di rumah sakit soalnya." 

"Yaudah deh, ntar gue hubungin Irena. Gue atur jadwal gue dulu takutnya ada seminar atau hal lainnya." Dasar dosen ambis. 

Kami melanjutkan perbincangan kami. Berbincang dengan Bang Hugo itu benar-benar berbeda, ucapannya agak berat tapi cukup menenagkan untuk orang yang mendengarkannya. 

GYPSOPHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang