Bab 5

13.6K 1.5K 147
                                    

Selamat Membaca









Sesampainya di Malang, rombongan Adam dan yang lainnya tidak bisa masuk sampai ke tempat pengungsian korban. Faktor jalan sempit dan kemungkinan susulan longsor, membuat jalan hanya bisa dilewati sepeda motor dan mobil pickup.

“Bus sama truck nggak bisa masuk, Dam. Ada satu mobil pickup yang angkut barang juga. Mereka bakal jalan sebentar lagi. Gimana?” Ardan menjelaskan keadaan kepada Adam.

Mereka kini tengah berkumpul di samping bus untuk membahas mengenai cara mereka untuk sampai ke tempat pengungsian.

“Mobil pickupnya cuman satu?”

“Untuk saat ini sih gitu. Kata mereka mobil pickup satu lagi masih jalan ke sini. Sebenarnya mobil pickup itu pun punya salah satu anak BEM kampus dekat sini. Mereka juga sama kayak kita, kegiatan sosial di sini.”

Adam terlihat berpikir sebentar. Pandangannya mengarah ke penjuru tempat yang cukup ramai ini, sebelum lelaki itu mengangguk. “Semua makanan dan minuman turunin, dan pindahin ke pickup itu. Kalau masih muat, cewek-cewek naik ke belakang. Mobil selanjutnya para cowok dan sisa barang. Gimana? Ini juga udah mendung. Takutnya malah kehujanan di jalan.”

Rena mengangguk. “Boleh. Tapi, pickup itu boleh kita naikin?”

“Gue yang akan bilang ke mereka. Lo ikut gue, Dan. Sisanya turunin makanan di truck.” Setelahnya Adam berjalan menjauh ke arah mobil pickup itu bersama dengan Ardan. “Lo ikut mobil pertama, Dan.”

“Lah ...” Ardan menatap Adam dengan bingung. “Gue cowok, Dam.”

Adam berdecak. “Kalau semua cowok naik mobil kedua, yang jagain cewek-cewek siapa?” Dan, setelahnya Ardan hanya manggut-manggut sembari menyengir lebar.

Adam dan Ardan berbincang sebentar dengan anggota BEM kampus lain itu. Setelah mengutarakan niatnya, salah satu anggota BEM kampus lain itu memanggil ketua mereka.

“Bicara sama ketua saya aja, ya.” Gadis itu tersenyum sopan ke arah Adam dan Ardan, sebelum memanggil ketuanya. “Mas, sini bentar, deh!”

“Ada apa?”

Adam menoleh, dia bisa melihat seorang lelaki dengan kaus hitam berjalan mendekat. Lelaki itu mengangguk sopan yang dibalas Adam dengan hal serupa.

“Ini ketua BEM saya. Silakan langsung bicara saja. Saya tinggal dulu,” ucap gadis itu lalu melangkah menjauh.

Adam mengulurkan tangannya ke arah lelaki itu. “Saya Adam, kami dari Jakarta. Kebetulan kami juga mau ke tempat pengungsian. Tapi, sepertinya bus dan truck kami nggak bisa masuk. Boleh saya dan anggota saya menumpang di mobil pickup ini?”

Lelaki itu membalas jabat tangan Adam dan tersenyum. “Silakan. Langsung angkut saja. Teman-temannya memang naik ke belakang, mau?”

“Mau, kok, Mas. Teman kita nggak ribet,” jawab Ardan sembari tersenyum lebar.

Lelaki itu kembali mengangguk dan melepaskan jabat tangannya dengan Adam. “Silakan kalau begitu. Kami berangkat sebentar lagi."

“Sori,” ucap Adam yang membuat langkah lelaki itu terhenti. Dia menatap Adam dengan pandangan bertanya. “Dengan ... Mas?”

“Bumi. Panggil saya Bumi.”

“Oke, Bumi,” kata Ardan sembari memberikan jempolnya kepada Bumi. Setelahnya, Ardan mengajak Adam untuk menghampiri teman-teman mereka.

“Kenapa, sih, Dam?” tanya Ardan saat sesekali Adam masih menoleh ke belakang. Menatap ke arah Bumi.

Adam mendesah pelan. “Lo pernah enggak, sih, baru pertama kali ketemu seseorang. Tapi, udah langsung nggak suka?”

Adam & Safa IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang