Malam Hari di Rumah Mertua

420 56 2
                                    

“SIAPA YANG MAU PISAH?!” 

Leon berjengit kaget sambil mengusap dada, menoleh pada sumber suara. Di sana sudah ada Bapak yang menatapnya galak. 

“Bilang, siapa yang mau pisah!” Bapak bertanya sekali lagi. 

“Pak, ini enggak---”

“Enggak apa? Kamu kira saya tuli! Enggak lihat kamu anak saya nangis gitu karena ulah kamu.” 

Haduh, kok jadi gini pikir Leon. 

“Pak, duduk dulu sini,” ajak Nona. 

Napas Bapak masih terengah akibat kesal, meski begitu dia tetap menuruti keinginan anaknya. Nona tersenyum disisa tangisnya, merasa geli sekaligus kasihan pada suaminya. Uh Leonnya yang malang. 

“Bapak jangan emosi gitu, apa yang dikatakan sama Mas Leon itu gak sama dengan apa yang Bapak pikirkan,” terang Nona menenangkan Bapak.

“Loh gak sama bagaimana? Udah jelas-jelas Bapak dengar pisah tadi.”

“Maksudnya gimana to nak?” tanya Ibu. Ibu juga sama kagetnya dengan Bapak.

Nona menatap suaminya, “mas, kamu aja deh yang nerangin ke Bapak sama Ibu.” Bagaimana pun pelaku utama dari ini semua adalah Leon.

Leon sempat bergeming, setelah beberapa saat akhirnya Leon mencoba menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Mulai dari berita kehamilan Nona yang membuat mertuanya tidak kalah heboh dengannya hingga ucapan perpisahan yang membuat salah paham. Tadi selama perjalanan ke rumah Ibu, Nona yang tertidur sempat bangun begitu mobil Leon berhenti untuk membeli buah tangan pada mertua. Begitu selesai Nona tidak bisa lagi tidur, jadilah sepanjang perjalanan mereka, istrinya itu mengatakan jika dia ingin tinggal di rumah Ibu untuk sementara. Leon sih tidak masalah dengan keinginan istrinya, bagaimana pun mereka adalah orangtua Nona. 

Awalnya Leon mengira jika Nona tinggal di rumah Ibu hanya beberapa hari tetapi istrinya itu malah mengatakan tidak jelas sampai kapan, yang penting ketika dia bosan dia akan pulang. Leon sempat tidak setuju dengan gagasan itu, mana bisa dia jauh dengan istrinya.

Leon juga sudah mengajukan diri jika ia tidak masalah dari jarak antara kantor dengan rumah Ibu, tapi Nona menolak dan tetap bersikeras jika Leon tidak perlu ikut dengannya. Kata Nona dia tidak ingin suaminya kelelahan karena jarak rumah Ibu dengan tempat Leon kerja memakan banyak waktu. 

Nona yang menyadari suaminya tidak setuju segera mencari cara dengan merayu lelaki itu. Beberapa kali pelepasan dari Leon yang mereka lakukan di mobil akhirnya suaminya mengalah. Mana bisa Leon kalau sudah begitu. Et, tentu saja bagian yang ini tidak Leon ceritakan pada mertuanya. 

“Jadi gitu, terus kamu kenapa nangis?” tanya bapak pada anaknya.

Nona malah menyengir, “gak tahu pak, tiba-tiba aja.” Jawabnya enteng. 

“Ibu hamil pak, sensitif.” Sambung Ibu dengan senyum. Sekarang Ibu sudah bisa senyum-senyum kembali bahkan raut mukanya sudah tidak tegang sebelumnya. 

“Ya udah, lain kali jangan diulang,” Bapak menatap menantunya. “Kamu tahu kan Le apa yang akan Bapak lakuin sampai kamu buat anak Bapak nangis?” ancamnya, meski begitu Bapak tidak dapat menyembunyikan senyumannya.

Leon tersenyum kikuk, “saya paham pak.” Angguknya. 

*

“Mas, makan malamnya udah jadi,” Nona melingkarkan tangan memeluk suaminya dari belakang. MengejutkanLeon yang saat ini sedang menelepon.

“Memang gak bisa kalau lo yang handle dulu Bim?” Tanya Leon pada lawan bicaranya.

Nona melonggarkan pelukannya pada Leon mendapati Leon tidak merespon perkataannya. Sepertinya Leon sedang berbicara serius. Nona berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri sambil menatap suaminya yang masih sibuk dengan teleponnya. 

MaternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang