1

675 17 2
                                    

Aku memandangi sosok di tengah lapangan yang sedang basah-basahan sambil menggiring bola ke gawang lawan. Dia begitu menikmati bermain bola di bawah hujan yang mengguyur kota Bandung dengan derasnya.

"Lux," senggolan Ratih pada siku ku menghentikan hobi baruku, yaitu mengamati pemain futsal sekolah bernomor punggung 29 di bawah tadi.

"Dipanggilin sama Bu Lasmini, tuh." Katanya membuatku tersadar bahwa aku sedang dalam masalah besar.

Matilah aku.

"Luxmita, bisa kamu ulang penjelasan saya tadi?"

Aku bisa melihat raut kemarahan di wajah guru kesenian itu karena mendapati salahsatu anak didiknya tak konsen di pelajarannya.

Aku tersenyum malu, "Maaf, Bu. Saya tidak mendengar dan tidak bisa mengulangi penjelasan Ibu."

Oke. Aku pasrah lagi.

Ibu Lasmini terlihat menghembuskan napas kekesalan akibat ulahku. "Karena kamu kedapatan melamun di kelas saya, sebaiknya kamu keluar. Saya hanya akan mengajari anak-anak yang ingin mendengar, bukannya melamun."

Perlahan, aku mendorong kursi ke belakang lalu berjalan keluar kelas dengan senyum sumringah.

Sebelum keluar, aku sempat melihat Ratih menggeleng-gelengkan kepalanya, gemas dengan sikapku yang selalu dengan senang hati, tanpa membantah, keluar dari kelas begitu diusir.

Sudahlah, paling-paling aku hanya akan diberi nilai B di rapor nanti. Hal biasa itu. Apalagi, ini bukan kali pertama bagiku. Hehehe.

Tapi terimakasih untuk Ibu Lasmini yang telah mengusirku dari kelasnya, aku jadi leluasa mengamati cowok manis di lapangan tadi.

Masih dari lantai dua, tapi di posisi yang berbeda tentu saja. Kali ini aku berdiri di depan perpustakaan yang langsung berhadapan dengan lapangan serba guna.

Sini, biar ku jelaskan mengenai pemain futsal yang kini sedang kejar-kejaran dengan teman-temannya di lapangan yang digenangi air hujan.

Dia itu adalah kakak kelas yang ku kagumi sejak SMP hingga SMA. Dia sekarang kelas 12, sementara aku di kelas 10.

Huh. Terkadang aku sering menyesali perbedaan umur kami. Kenapa tidak satu tahun saja? Kan kalau hanya setahun aku jadi mempunyai waktu yang lebih lama untuk memandangi dan mengaguminya.

Waktu SMP dulu, pertama kali melihatnya di perpustakaan saat dia bersama beberapa temannya yang lain dihukum karena telah memecahkan salahsatu kaca jendela kelas mereka sendiri saat bermain bola di dalam kelas.

Akibatnya, mereka dihukum membersihkan dan membantu pustakawan mengatur buku-buku sesuai urutannya.

Aku menyukainya karena masih bisa tersenyum bahkan tertawa di saat-saat yang sebenarnya tidak mungkin. Dan aku menjadi seperti ini-bersikap santai, padahal diusir guru- terinspirasi olehnya. Hahaha.

Aku dulu juga mengamatinya dari jauh seperti ini, tanpa berani menyapanya.

Tapi kemudian aku tak pernah melihatnya lagi karena ia melanjutkan SMA. Aku pun sangat minim informasi tentangnya.

Lalu saat SMA, aku kembali melihatnya ketika upacara penerimaan murid baru. Dia dengan napas yang terengah-engah- sepertinya dia habis berlari dari gerbang yang sangat jauh dari gedung sekolah- langsung berbaris di barisan kelas 10, tepat di sampingku.

Aku sangat terkejut sekaligus senang, sampai-sampai mulutku terbuka begitu melihatnya.

Dia yang waktu SMP dengan SMA berbeda. Kini dia lebih tinggi, rambutnya dibiarkan sedikit gondrong, dan... dia semakin keren.

Aku ingat, saat itu semua murid cewek kelas 10 yang baris di dekatnya terkejut, senang melihat senior ganteng berbaris di barisan kami, bahkan ada yang mengajaknya berkenalan.

Dia juga ramah. Dengan seulas senyum, dia membalas uluran tangan junior-junior cewek sambil menyebutkan namanya.

Adit. Begitu, tanpa embel-embel lain.

Nama lengkapnya, Raditya Arman.

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang