7

175 9 0
                                    

Author's POV

"Gue yakin banget, si Adit juga punya perasaan ke lo, Lux." Ini yang tak terhitung kalinya Lili berkata demikian.

"Lo gak capek apa, ngomong hal yang sama daritadi." Sergah Ratih yang jengkel dengan sikap temannya.

Iya, bagaimana gak kesal? Dari sekolah sampai cafe, yang diucapkannya daritadi hal yang sama seakan-akan Ratih dan Lux tuli.

"Ya habis, lo berdua kayak gak setuju gitu. Gue kan jadi kesel."

"Kita tuh bukannya gak setuju. Ini namanya ambiguitas, bego. Abstrak. Di satu sisi, bisa aja maksud Kak Adit ngasih kancing kedua dia ke Lux tuh sebagai ungkapan terimakasih-"

"Plis yah, lo dan gue tau yang namanya cowok ngasih kancing kedua seragamnya yang deket sama hatinya ke cewek, itu artinya dia suka sama cewek itu. Itukan tradisi kelulusan orang Jepang yang anak TK juga udah tau. Lux nya aja tuh, lemot banget sampai baru ngeh sekarang. Barusan apa tuh, ungakapan terimakasih? Teori bego dari mana sih?" Potong Lili penuh emosi.

Baru saja Ratih mau membuka mulutnya, malah disambar Lili duluan.

"Apanya yang kurang jelas sih, girls? Emang kalimat dia yang 'Kita tak pernah tahu takdir berkata apa' itu masih kurang jelas di bagian mana? Apa perlu gue bawa kalian ke ahli bahasa untuk kasihtau maksud dari kalimat itu ke kalian, hah?"

"Bisa aja dia ngasih kesempatan lagi ke Lux."

Lux yang daritadi hanya menyesap minumannya dalam diam, terkejut begitu mendengar perkataan Ratih.

"Udah lah, masa' hanya gara-gara masalah gue kalian jadi ngelantur gini?"
Lili bergerak dari posisinya, mendekat ke arah Ratih. "Lo bener. Bisa jadi, artinya dia minta Lux untuk jangan berhenti suka sama dia dulu, kan?" Keduanya mengabaikan perkataan Lux.

Sementara itu di tempat lain, seorang cowok memandang sebuah foto yang baru selesai dicetak.

"Bisa aja, saat ini kita gak ditakdirin bersama. Mungkin aja besok-besok kita ditakdirin bersama." Adit mengusap wajah Lux yang terdapat dalam foto itu.

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang