6

178 9 1
                                    


Dan hari kelulusan itu pun datang juga.

Aku menatap ragu pada kerumunan senior yang dengan senyum sumringah berkumpul di tengah lapangan. Ada yang berfoto, berpelukan, menangis dan berbagai hal lainyya.

Yang menjadi objek ku saat ini adalah seorang cowok yang sedang memotret kebahagiaan teman-temannya dengan kamera.

Begitu selesai mengambil gambar beberapa temannya, ia berjalan ke arah tempatku berdiri. Aku buru-buru membelakanginya dengan kedua tangan yang memegang sebatang mawar putih kuletakkan di depan dada untuk meredam detak jantungku.

Niatnya mau pergi dari sana, tapi aku dicekal oleh Ratih dan Lili.

"Eh, gue gak jadi bilang aja deh. Gak kuat, sumpah." Rengek ku.

"Gak ada. Enak aja lo! Kita udah nungguin dua jam di sini tapi lo tiba-tiba bilang gak mau, itu artinya lo mau ketemu ajal!" Ujar Lili dengan sadis. Baru kali ini aku melihat ekspresi mengerikannya.

"Kesempatan tuh, dia sendirian ke ruang ganti. Buruan!" Lapor Ratih, yang daritadi memerhatikan gerak-gerik Kak Adit.

Dengan anarkisnya, mereka mendorong tubuhku hingga sampai di depan ruang ganti cowok.

"Masuk!" Perintah Lili dengan galak.

Aku menggeleng-geleng sambil memasang puppy face, tapi Lili yang keras kepala bahkan membukakan pintu di hadapanku kemudian mendorongku dengan kasar ke dalam.

Demi apapun, mereka berdua sangat kejam.

Aku baru mau beringsut ke pintu lagi, tapi sosok Kak Adit dengan ekspresi bingungnya yang berdiri tak jauh dariku seakan-akan menghentikan segalanya, kecuali detak jantungku yang semakin menggila.

"Kak Adit..." Lirih ku.

"Lux, ada apa?"

Deg !

Barusan Kak Adit, menyebut namaku, kan? Iya, kan?

"Lux?"

Huh. Dia... benar-benar menyebut namaku. Tapi... dari mana dia tahu?

Dia maju selangkah. "Lux, kamu baik-baik saja, kan?"

Setelah bisa mengontrol diriku sedikit, baru aku bisa bersuara lagi.

"Selamat Kak, atas kelulusannya." Ujarku cepat sambil tanganku memberikan setangkai mawar putih.

"Wah, makasih loh, Lux." Tangannya terulur, menerima bunga itu dengan senyum manis yang selalu membuatku jatuh cinta.

Oh, Tuhan. Caranya menyebut namaku menimbulkan sensasi aneh pada darahku.

Aku memberanikan diri untuk bersuara lagi. "Kak Adit, tahu namaku?"

Ia mengalihkan pandangannya padaku, tepat di kedua manik coklatku. Mataku tak bisa beralih, seakan-akan tatapannya mengunciku di sana.

Dia mengulum senyum. "Tentu. Lo kan cewek yang selalu hadir di latihan klub futsal. Lo juga adik kelas gue waktu SMP yang pernah dijemur di bawah tiang bendera karna ketahuan baca komik dewasa di kelas, kan?" Ia tertawa di akhir kalimatnya, aku juga karena kembali mengingat kejadian memalukan itu.

"Jadi... Kak Adit juga tahu kalau selama ini aku menyukai Kak Adit?" Tanyaku hati-hati.

Tawanya terhenti, tatapannya pun berubah. "Lux, di antara sekian banyak cewek yang suka sama gue, hanya lo yang gak pernah mau maju selangkah buat deketin gue. Lo gak seperti yang lain, mereka terus ngedeketin gue padahal mereka tahu gue s
udah punya Cathy. Dari situ, gue tahu bahwa lo yang paling tulus karna lo ngehargain pilihan gue."

Aku menyunggingkan senyum walaupun bisa kurasakan air mata menggenang di kedua pelupuk mataku.

"Gue hargai banget perasaan lo, Lux. Tapi, gue gak bisa balas perasaan lo karna lo tahu sendiri, perasaan gue untuk siapa."

Aku mengangguk, saat itu juga air mataku jatuh.

"Lux, lo cewek yang baik. Lo pantas dapetin seseorang yang baik pula, tapi gue bukan seseorang itu, Lux. Maaf."

Dapat kurasakan telapak tangan Kak Adit menyentuh pipiku. Ia mengusap air mataku dengan jemarinya.

"Hahhhh. Jadi, rasanya seperti ini." Gumamku setelah berhenti menangis. Kening Kak Adit berkerut.

"Kelegaan setelah berkata jujur." Ujarku.

"Di sini," Aku menunjuk ke dada bagian kiri. "Rasanya sangat lega. Coba saja aku tahu rasanya seperti ini, pasti sudah kulakukan dari dulu."

Kak Adit tersenyum lembut mendengar ucapanku lalu tangannya bergerak memegang kamera yang digantungnya di leher.

"Lux, mau foto bareng gak?" Aku mengangguk mendengar tawarannya.

JEPRET !

"Nanti gue kirim ke rumah lo." Perkataan Kak Adit mengundang rasa penasaranku.

"Kak Adit tahu dari mana rumahku?"

"Lo kan biasanya nonton latihan futsal sampai malam, gue khawatir. Makanya gue diam-diam ngikutin lo dari jauh buat mastiin kalo lo sampai ke rumah dengan selamat."

Ya ampun. Kenapa aku sampai bisa tidak sadar seperti ini, sih?

Sekali lagi aku mengangguk mengerti.

"Kalau begitu, sukses untuk kuliahnya, Kak." Aku maju selangkah kemudian mengusap bahu kanannya. "Selamat tinggal."

"Tunggu, Lux." Tahannya. Tangannya melepas kancing seragamnya yang kedua.

"Kita gak pernah tahu takdir berkata apa." Ia menyelipkan kancing bajunya yang lepas di telapak tanganku kemudian berlalu dari sana, meninggalkanku.

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang