8

347 12 7
                                    

Dua tahun berlalu sudah. Hiruk pikuk calon-calon mahasiswa ini mengisi seantero lapangan tempat berlangsungnya upacara kelulusan yang baru saja selesai.

Mereka dengan senyum haru memeluk teman masing-masing, ada yang mengabadikan momen indah itu dengan kamera, ada pula yang menangis tersedu-sedu dan berbagai hal lainnya yang menggambarkan perpisahan mereka.

Seorang gadis dengan gamang, berdiri di tengah lapangan. Ia memandang bangunan sekolahnya yang berbentuk 'U' itu dengan seksama, seakan-akan ia akan melupakannya setelah tamat dari sana.

Matanya kemudian berhenti pada sebuah ruangan di lantai satu. Tempat itu masih tetap sama, masih menjadi ruang ganti murid-murid cowok sehabis olahraga.

Gadis itu bergerak, melangkah menuju ruangan itu.

"Lux !!! Lux, kampret !!! Poto dulu toil !!!" Panggil Lili dengan suara cemprengnya dari seberang tapi yang dipanggil rupanya tak mendengar panggilannya.

"Sssstt, udah. Kita tinggal nunggu pajak jadian aja dari dia." Ujar Ratih sambil tersenyum kalem melihat punggung Lux yang sudah menghilang di balik pintu ruangan ganti cowok.

Lili mengernyit heran. "Hah? Maksud lo? Bukannya hari terakhir UN itu dia udah nolak si James? Atau, masih ada yang nembak dia lagi ya hari ini?"

Ratih mendengus sebal. "Bukan, oon. Noh, liat sono." Ratih menunjuk dengan ujung bibirnya.

Sedetik kemudian bola mata Lili hampir terjun keluar melihat seorang cowok berjalan dengan sebuket bunga mawar putih di tangannya.

Matanya kini berkaca-kaca, tangan kanannya membekap mulutnya sendiri sementara tangan kirinya menepuk-nepuk bahu Ratih.

"Njirrr, gue pengen nangis, masa? So sweet banget, sih? Huahhhhhh" Dan pecahlah tangis Lili.

"Bangke, baper lo yang nyantai aja dong." Gumam Ratih sinis lalu menenangkan sahabatnya yang kelewat emosional itu.

Lux berdiri tepat di tempat Adit berdiri dua tahun lalu, saat ia mengutarakan perasaannya pada cowok itu. Tangan kanannya meremas benda berbentuk bundar itu sekuat tenaga. Benda pemberian Adit sebelum pergi yang masih membuat gadis itu berharap.

Kancing seragam Adit membuat gadis itu terus bertahan dengan perasaannya sekalipun ia sangat minim informasi tentang Adit yang memilih kuliah di luar kota. Kancing itu seakan-akan memberitahunya agar jangan mengubur dulu perasaannya untuk Adit.

Tapi, ini sudah dua tahun berlalu untuk menunggu. Lux berpikir ini sudah saatnya untuk berhenti.

Gadis itu menghela napas sambil mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. "It's time to say goodbye."

Seiring dengan itu, pintu di balik punggungya terbuka lebar membuat mata Lux terbelalak lebar begitu melihat sosok Adit di hadapannya.

"Goodbye untuk siapa?" Tanya Adit pada Lux yang masih syok dengan kehadirannya.

"Elahh, gak percayaan banget sih. Ini gue, Raditya Arman yang seorang Luxmita Maharani suka dari jaman SMP dan gue harap juga sampai saat ini."

Kedua sudut mata Lux sudah penuh dengan air mata, satu kedipan saja dapat membuat air mata untuk perasaan rindunya dua tahun ini tumpah ruah.

"Lux, butuh banyak keberanian sebelum gue memutuskan untuk ngasih kancing seragam gue dan juga... untuk berdiri di hadapan lo lagi. Lo tau, banyak yang berubah dalam diri gue selama dua tahun ini. Dua tahun yang gue pikir bakalan baik-baik aja, eh tau-taunya malah jadi berantakan and it seems like I've lost something dan itu lo, Luxmita."

"Dua tahun tanpa melihat lo di sekitar gue, rasanya aneh. Kemudian gue berhenti pada kesimpulan bahwa diam-diam lo udah nyuri hati gue. Cinta emang datang terlambat ya, Lux. Tapi gue harap, gak telat buat gue to say I love you sekalipun lo gak punya perasaan yang sama buat gue lagi."

Adit memberikan sebuket bunga mawar putih yang daritadi disembunyikannya di balik punggung.

Tanpa aba-aba, Lux langsung lompat memeluk tubuh yang semakin kekar dan tinggi itu, kemudian menangis di dadanya yang bidang.

"Jangan pergi lagi." Hanya itu yang dapat diucapkan Lux di sela-sela tangisnya.

Adit balas memeluknya dengan hangat. "Lo mau gue gak ke kampus, gitu? Trus nanti pas kita nikah gue ngasih lo sama anak-anak kita makan apa?" Canda Adit yang membuat Lux memukul-mukul dadanya pelan namun tak urung membuat gadis itu tertawa.

Lalu Adit menangkup wajah yang sembab itu, kemudian mengecup lama kening Lux. "Udah ah, tambah jelek ntar mukanya nangis mulu."

"Yee, tapi suka banget kan muka jelek kayak gini?" Balas Lux sambil kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Adit yang bergetar karena tawa.

END
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang