5

181 10 0
                                    

Sejak Ratih dan Lili tahu mengenai rahasia terbesarku itu, aku jadi lebih sering berkumpul dengan mereka.

Sore ini, kami sedang mengerjakan laporan praktek Kimia untuk kelompok kami di teras belakang rumahku.

"Lux, gimana perkembangannya sama dia?" Tanya Lili di balik majalah Fashion yang sedang dibacanya.

Aku mengernyit, tak mengerti. "Dia siapa?''

Lili memutar bola matanya, sebal. "Ayolah. Apa gue mesti nyebut nama Adit panjang-panjang?"

Oh, Kak Adit. "Gak ada perkembangan apa-apa."

"Dan selamanya lo mau kayak gini terus?"

Aku mengedikkan bahu.

Lili bangkit dari kursi rotan, ia mengambil posisi di antara aku dan Ratih yang sibuk mengetik laporan di laptop.

"Luxmita, emang lo betah jadi stalker gini?"

Pertanyaan Lili membuatku memandangnya. "Kali ini apa? Lo masih mau maksa gue nyatain perasaan ke Kak Adit?"

Dia mengangguk. "Senin depan upacara kelulusan mereka sementara hari ini udah sabtu. Kesempatan lo untuk nyatainnya tinggal dikit. Kalo gak lusa, lo gak akan punya kesempatan lagi, Lux. Dia gak akan datang ke sekolah lagi, dan lo bakalan sibuk buat ujian kenaikan kelas. Jadi?"

Lili betul. Tapi...

"Kalo gue sama dia ditakdirin bersama kita pasti bakalan ketemu lagi. Nah, kalo ketemu lagi gue bakalan jujur ke dia."

"Gue gak percaya."

Satu kalimat singkat yang telak. Lili benar. Aku juga kurang yakin dengan kalimat yang selalu ku ucapkan kala Lili memaksa untuk menyatakan perasaanku pada Kak Adit.

Ini bukan kali pertama Lili memaksaku, ini yang kesekian kalinya. Ini juga penolakan dengan alasan yang sama untuk kesekian kalinya dariku.

"Gue juga. Lo gak akan ngelakuinnya, Lux. Kita bertiga sama-sama tahu itu." Ratih kini mulai ikut bersuara.

"Lili bener, mau sampai kapan lo jadi stalker? Kalo kalian ngampus di tempat yang samapun, berani taruhan, lo hanya akan ngeliatin dia dari jauh sama seperti yang lo lakuin sebelumnya." Ratih yang tak pernah memaksaku seperti Lili, kini malah ikut-ikutan memaksaku.

Apa sebaiknya aku mendengarkan saran mereka saja?
Tapi...

"Gue rasa dia gak perlu tau."

Kedua tangan Lili meremas kedua bahuku lalu mengguncang-guncangkannya dengan gemas. "Lo tau, terkadang gue berharap bisa ngebaca isi otak lo itu."

"Dia perlu tau, Lux. Karena ini menyangkut dirinya sendiri yang udah buat anak gadis orang senyum-senyum sinting hanya dengan ngeliatin dia dari jauh."

Aku tertawa keras mendengar lelucon Ratih yang dilontarkannya dengan nada kalem. Hahahaha.

"Gue serius, Lux. Kalo lo masih gak mau nyatain perasaan lo..." Ratih menggantung ucapannya.

"Gue yang akan bilang ke Adit." Sambung Lili dengan nada serius yang sangat tidak cocok dengan dirinya yang kocak.

Aku kembali tertawa tapi kali ini dengan sedikit paksaan begitu melihat keduanya memandangku serius.

"Jangan bercanda." Kataku setelah berhenti dari tawa yang dibuat-buat.

"Gue sama Ratih emang selalu ngelawak, tapi kali ini kita double triple seriusan sama omongan kami." Jawab Lili tegas membuatku kikuk.

"Hei, kalian gak bisa maksa gue seenaknya."

"Kenapa gak? Lo lebih milih Kak Adit tau langsung dari lo, atau dari Lili yang- lo tau lah bakalan ngelebih-lebihin." Ancam Ratih dengan wajah liciknya. Hih.

Sebenarnya tak pernah terpikirkan olehku bahwa Kak Adit tahu perasaanku, bahkan aku merasa takut kalau sampai ia mengetahuinya. Tapi sekarang entah kenapa aku lebih ketakutan membayangkan Lili dengan mulut cerewetnya itu, bicara tentang perasaanku pada Kak Adit.

"Gimana? Lebih nyeremin Lili yang bilang kan?"

Lili menyikut Ratih dengan tampang jengkel. "Heh, maksud lo apaan tuh? Dari tadi sih gue nahan aja ya tapi sekarang lo buat gue seakan-akan gue ini nenek lampir." Sungut Lili, ngambek.

Ratih menoyor kepala Lili dengan sadis. "Ih, lo itu ya gak bisa diajak kerjasama. Udah deh, kita berantemnya di jalan aja pas pulang, sekarang kita denger dulu keputusan Lux."

Lili dengan tak rela menyudahi pertengakaran mereka. Mereka sama-sama menatapku, menunggu jawaban dariku.

Aku cari aman. "Oke." Satu kata itu membuat mereka yang tadinya bertengkar kini malah jingkrak-jingkrak kesenengan.

Menurutku, menyatakan perasaan pada Kak Adit memang mengerikan. Tapi begitu membayangkan Lili yang bicara, it's even weirder.

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang