3

180 8 0
                                    

Aku kembali menghabiskan soreku di sekolah dengan menonton klub futsal latihan. Memang tidak ada lagi yang spesial di tengah lapangan karena Kak Adit sudah berhenti dari klub untuk fokus UN.

Tapi sebagai gantinya, Kak Adit meluangkan waktunya untuk melihat atau kadang-kadang ikut bermain, mengajarkan junior-juniornya.

Sore ini, masih dengan seragam lengkap karena habis mengikuti bimbel sore hari, Kak Adit berdiri di pinggir lapangan. Ia mengamati permainan di lapangan dengan serius, sambil sesekali berbicara dengan pelatih klub.

Aku mengamati semua gerak-gerik Kak Adit dari lantai dua. Dari tangannya yang menyentuh dagu, alisnya yang naik turun, keningnya yang berkerut sampai gerakan matanya.

Karena begitu asyik mengamatinya, aku sampai tidak sadar akan kehadiran Aryo yang bersedekap di sampingku sambil melemparkan tatapan penuh selidik.

"Aryo?" Panggilku untuk memastikan bahwa orang di sampingku ini memang betul Aryo, bukannya jelmaan darinya.

"Manusia bukan?" Tanyanya balik.

"Iya." Jawabku singkat.

Dia mengelus-ngelus dadanya, lega. "Elah. Gue pikir kunti. Lo sih, berdirinya di tempat gelap gini, apalagi rambut lo panjang kan."

Aku hanya menanggapinya dengan dengusan pelan.

"Lo kok masih di sekolah? Udah magribh, loh." Tanyanya lagi.

Aku buru-buru mengangkat buku paket Kimia yang sedari tadi ku gunakan sebagai alibi. "Belajar."

Aryo mengernyit. "Beneran? Gue sering kok ngeliat lo pas latihan-"

"Cuma kebetulan." Potongku cepat-cepat.

Aryo meletakkan telunjuk di dagunya kemudian menatap ku tak percaya. "Kok gue kayak gak percaya, ya?"

Mampus !

"Aku duluan." Pamitku. Aku meraih ransel dan berlalu dari sana dengan langkah seribu.

Ini gila! Lain kali, aku gak boleh berdiri di situ lagi. Nggak, sekalipun aku pindah tempat, Aryo pasti masih dapat menemukanku, dia kan anggota klub futsal.

Aduhhh. Aku gak mungkin datang lagi, pasti Aryo akan makin kepo kemudian bertanya ke Lili lalu hancur sudah rahasiaku.

Aku tak mau urusan hatiku menjadi konsumsi umum. Kenapa aku tak pernah mau bercerita tentang perasaan suka ku pada Kak Adit kepada Ratih dan Lili? Itu karena mereka manusia.

Maksud ku, sekalipun mereka teman ataupun sahabatmu, namanya mulut manusia ya tetap mulut manusia. Rahasiamu akan diketahui orang-orang, dan itu namanya bukan rahasia lagi.

Prinsip yang ku pegang selama ini adalah, mulut manusia mirip toa masjid. Jadi aku sama sekali tak pernah mau buka mulut tentang urusan pribadiku, kepada siapapun itu. Termasuk kedua orangtua ku.

LuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang