C. Kilas Balik

341 68 8
                                    

Yang nggak vote dan komen akoo marah😠😠

Gajadiii marah dengg klean kan baiqqq mwah. Jangan lupa vote komeennnnn yaw dan follow instagram ako @chellindygabss



***

Kenaikan kelas 3. SMA Menara, 2015



Upacara yang membosankan membuat semua orang bergerak gelisah di dalam barisan. Tidak luput juga dengan sebagian orang yang tergeletak pingsan karena berdiri di bawah terik mata hari tidak semudah itu.

Fiollet berada di barisan tengah, di antara orang-orang yang sudah gerah. Gadis itu masih setia dengan posisi istirahat di tempat, kepalanya tegak menghadap ke depan.
Dan di sebelah barisannya, ada Willy yang sudah menundukan kepala pening dengan terik matahari di atas sana.

Namun, tiba saat pengumuman kepala Sekolah naik ke atas podium. Sosok pria berumur dengan perut bulat itu menyisir kumisnya dengan ujung jari. Mengamati siswanya yang perlahan ambruk di bawah teriknya mata hari.

Semua orang tidak lagi terfokus pada Upacara. Melainkan bagaimana cara mereka menyelamatkan diri dari panas yang menyengat.

"Ekhmm, perhatian semuanya! Bapak akan membacakan nama-nama siswa yang berprestasi, dan berhak mendapatkan beasiswa untuk satu semester kedepan." Sosok kepala Sekolah itu membuka maps berukuran besar yang ada di tangannya, kemudia mengeluarkan selembar kertas yang membuat beberapa siswa mendongakkan wajah mereka.

"Gabriella Fiollet. Dari kelas 11 IPA 1. Juara 1 pararel dari keseluruhan siswa kelas 11." Tepuk tangan riuh menyadarkan Willy untuk menengok ke sebelahnya.

Fiollet sudah berlalu pergi dari barisannya. Gadis itu berjalan dengan wajah datar, dan tatapan kaku melampaui orang-orang yang ia lewati.

"Tiap tahun angkatan kita selalu dia kan?"

"Kayaknya dia emang keturunan otak cerdas nggak sih?"

"Iya, tapi bukan itu poinnya. Katanya dia selalu ngejar beasiswa biar bisa Sekolah gratis."

"Oh ya? Pantes dia selalu juara pertama." Gumam segerombolan barisan, yang menjadi teman sebelah kelasnya.

Fiollet membungkukkan tubuhnya untuk menerima piagam penghargaan itu. Kemudian berjalan kembali ke barisannya. Ia tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang melihatnya sinis, bahkan dengan berbagai macam ekpresi.

"Lihat deh kaus kakinya yang longgar. Bahkan warnanya udah nggak putih lagi."

"Sssttt, pelan-pelan nanti dia bisa denger."

"Emang kenyataan, kan? Gue ogah sih kalo di suruh pake kaus kaki buluk kayak gitu."

"Siapa yang mau? Gue juga gamau!"

Fiollet tidak tuli, telinganya dengan jelas mendengar semua ucapan teman-temannya. Tapi, hal seperti itu sudah sangat biasa ia dengar. Apapun yang menyangkut dirinya, akan menjadi bahan komentar orang lain.

Gadis itu kembali ke dalam barisannya lagi. Ia tidak menghiraukan siapapun yang masih berbisik. Sementara itu, di barisannya sendiri, Willy menoleh ke arah Fiollet. Gadis itu tidak menyadari perhatiannya yang dari tadi sudah terpaku.

Willy juga mendengarkan olokan orang-orang untuk Fiollet. Kali ini, bukannya balas mengolok, pandangan Willy turun untuk melihat ke arah sepatu yang di kenakan Fiollet. Memang terlihat sangat usang, dengan kaus kaki yang molor.

Tanpa berniat lebih lama memandangi kaki gadis itu. Willy kembali memfokuskan dirinya kepada barisan.

Upacara pun bubar dengan lambat. Saat semua siswa sudah kelelahan untuk berdiri. Terlebih ada beberapa orang yang sengaja langsung menggeletakkan dirinya di lapangan karena lelah.

Willy memutar tubuhnya untuk berbalik pergi. Sebelum telinganya mendengarkan pergerakan di sebelah Fiollet. Gadis itu, dengan empat orang gadis yang mengerumuninya membuat Fiollet tidak bisa pergi dari sana.

Willy mengurungkan niatnya untuk pergi. Samar-samar, ia dapat mencuri suara para gadis yang mendatangi Fiollet.

"Wih, ngerasa hebat ya dapet beasiswa lagi?"

Fiollet tidak mengindahkan ucapan itu.

"Kalo emang lo hebat, harusnya lo bisa ngajarin kita, kan?"

"Lo bisa belajar sendiri. Gue juga belajar sendiri, nggak ada yang ngajarin gue."

"Maksud lo? Meskipun kita belajar sendiri kita nggak bisa kayak lo? Gitu?"

"Terserah, gue nggak bilang," jawab Fiollet ketus kemudian berlalu dari hadapan empat gadis itu.

Senyum di kedua sudut Willy terangkat. Tanpa sadar ia senang mendengar jawaban Fiollet pada gadis-gadis itu. Namun, kesenangannya kembali terseret saat Fiollet berhenti di hadapan tubuhnya.

"Ngapain lo senyum begitu?" Tanya Fiollet sinis. Ia juga bergidik ngeri melihag wajah Willy. Seolah Willy adalah seseorang yang sangat menjijikan.

Willy merubah ekpresi wajahnya. Tatapan matanya menyipit dengan malas ia berbalik meninggalkan Fiollet sendiri.

"Dasar nggak jelas!" Cetus gadis itu kemudian mengekor dengan jauh di belakang Willy.





~~~~~*~~~~~



Epilog Part 3.

"Oke, kayaknya kalian perlu ngobrol berdua? Gue bakal pergi dulu."

"Nggak ada yang perlu kita omongin, Ron. Lo bisa tetep di sini." Suara Willy yang lantang membuat Fiollet melirik ke arah pria itu.

"Lihat sekarang? Gimana belagunya dia di depan gue. Kalo bukan karena tuntutan pekerjaan, gue nggak akan tinggal diam di tempat ini brengsek!" Umpat Fiollet di dalam hati.

Rony melihat ke arah Fiollet yang terdiam dengan lirikan tajam ke arah Willy. Pria yang statusnya sama seperti Sarah itu sudah tau persis bagaimana kisah cinta dua orang ini.

Bagaimana hancurnya Willy, dan bagaimana terpuruknya pria itu saat Fiollet mencampakkannya. Rony adalah salah satu saksi perjalanan cinta dua orang yang masih selalu ABG ini.

"Nggak, gue kayaknya perlu keluar deh. Mau beli Rokok. Oh ya, Fi kalo ada apa yang perlu lo kasih ke gue, kirim via e-mail ya."

Fiollet mengangguk, membiarkan Rony pergi dari rumah itu.

"Ekhm.. jadi kedatang saya ke sini.."

"Lo datang ke sini, buat minta maaf? Terima kasih? Atau urusan lain?" Potong Willy membuat Fiollet berhenti.

Fiollet mengerutkan keningnya. Lagi-lagi dia tidak mengerti dengan ucapan Willy.

"Maaf, tujuan saya datang ke sini sebagai perwakilan."

"Oke, gue tau lo mau minta maaf." Sergah Willy lagi menghentikan Fiollet yang hampir kesal.

Fiollet menghela nafasnya sekali lagi. Berusaha untuk meredam emosinya sendiri.

"Saya datang ke sini untuk mengajukan tawaran kerja sama. Dengan saudara... Willy alias penulis O. Untuk menekan kontrak bersama dengan penerbit kami."

"Oh, jadi lo mau gue kerja sama lo?" Willy menatap mata Fiollet dari tempatnya duduk. Tatapan yang membuat Fiollet malu. Wanita itu menganggukan kepalanya, dan berusaha kuat untuk tidak memalingkan wajah.

"Iya, Pak. Ini proposalnya."

"Gue nggak mau."

"Tapi, Bapak kan belum membaca Proposal dari kami?"

"Gue tetep nggak mau. Meskipun udah baca sekalipun."

"Anda yakin? Dengan keputusan itu?"

Willy mengangguk yakin.

"Udah kan? Lo boleh pulang!"

***

WIFI (Willy dan Fiolet) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang