“Sekian pelajaran untuk hari ini. Kumpulkan tugas-tugas di atas meja dan jangan lupa besok kita ada ujian. Pelajari ulang apa yang kalian pelajari hari ini karena materinya akan banyak muncul di soal besok. Paham?”
“Paham, Guru Lee!”
Jihoon tersenyum puas pada respon itu. Ia mengumpulkan barang-barangnya di meja lalu membubarkan kelas saat cahaya kekuningan dari senja dengan lembut masuk melalui jendela tua. Anak-anak segera keluar dari bangku mereka membawa buku tugas masing-masing dan saling berbaris untuk menumpuknya dengan rapi di meja Jihoon. Mengucapkan terima kasih beserta selamat sore pada guru mereka sebelum berlarian riang menuju pintu bersama tas yang ikut bergoyang-goyang di punggung kecil.
Jihoon menghela napas setelah ruangan itu benar-benar sepi. Ia menatap sepetak cahaya jingga di lantai keramik abu yang masuk melalui jendela yang terbuka, menampilkan pemandangan lautan luas yang tak pernah absen diguncang ombak. Burung-burung laut berterbangan dengan berkelompok memburu mangsa yang terlihat di permukaan air adalah pemandangan yang biasa ia lihat setiap hari.
Lelaki itu kemudian melepaskan kacamatanya dan berdiri, membawa barang-barangnya beserta tumpukan buku murid-murid di kedua tangan. Melangkah keluar kelas dan mendapati beberapa anak masih bermain-main di halaman sekolah. Mereka tertawa riang dan berlarian ke sana ke mari. Jihoon ikut tersenyum, menatap kaki-kaki kecil yang kotor tak beralas. Di tengah keterbatasan dan kemiskinan yang tak lepas dari kehidupan mereka, anak-anak itu tetap bahagia; tidak tahu bagaimana dunia yang kejam menyingkirkan mereka sampai ke tepi keadaan miskin seperti ini. Mereka hanya tahu bermain dan belajar.
Jihoon kembali melangkah menuju kantornya. Menyapa rekan kerjanya yang sedang menyuap jeruk ke mulut sambil menorehkan tinta-tinta pena pada selembar kertas.
“Sedang membuat soal untuk ujian besok?” Jihoon bertanya basa-basi sembari membuka laci mejanya dan memasukkan barang-barang mengajarnya di sana.
Rekannya mengangguk, bahkan tak repot-repot menoleh untuk menatapnya. Jeruk kembali dimasukkkan ke dalam mulut saat dia menjawab, “Aku hanya merevisi beberapa, sih. Kupikir soalnya sedikit sulit untuk dikerjakan anak-anak. Kau sendiri sudah membuat soal?”
“Tentu. Tiga hari lalu semuanya sudah rampung. Aku bukan sepertimu yang suka menunda-nunda pekerjaan, Seungkwan.”
Yang dipanggil Seungkwan itu cemberut. “Eyy, kau enak tinggal sendiri dan tidak memiliki raksasa manja yang terus merecokimu sepanjang hari sepertiku.”
Jihoon mengangkat bahu dan sibuk memasukkan buku-buku tugas ke dalam tas kerja. Segera pamit pulang dan mengingatkan Seungkwan untuk menyuruh anak-anak yang masih bermain di luar untuk lekas pulang karena hari sebentar lagi gelap.
Ia melangkah keluar dari gedung kecil yang menjadi tempatnya bekerja selama lima tahun belakangan ini. Menjadi seorang guru bukanlah cita-citanya. Ia hanya melakukannya demi ketenangan hati (dan tanpa sadar perlahan-perlahan mulai menikmati). Meski tidak dibayar banyak dan sesuai dengan keringatnya, namun Jihoon sama sekali tidak masalah. Itu adalah sebuah yayasan yang sengaja dibangun untuk pendidikan gratis anak-anak miskin di Gray Terminal. Ayah Seungkwan yang membangunnya. Awalnya hanya Seungkwan sendiri yang mengajar sebagai guru di sana. Mereka tidak memiliki karyawan lain karena untuk mendapatkan seseorang yang mau dibayar ₴150 sebulan tentu sangatlah tidak mungkin.
Seungkwan sendiri tidak dibayar karena ia melakukan pekerjaannya dengan ikhlas. Dia tinggal di kota atas, Ranada, dengan segala fasilitas dan kekayaan yang cukup dari ayahnya. Dia bisa saja tidak perlu bekerja karena semua kebutuhannya sudah terpenuhi sampai hari tua, namun dirinya malah memilih menjadi guru sukarelawan demi membantu anak-anak di kota bawah agar mendapatkan pendidikan yang layak. Yayasan ini bahkan dibangun karena permintaannya. Dan Jihoon, dia menawarkan diri untuk membantu. Dia tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam mengajar, namun ia langsung diterima begitu saja dengan senang hati. Pengalaman tidak terlalu penting karena ini bukan sekolah formal atau bahkan sekolah elit, yang dibutuhkan hanyalah pengetahuan dasar seperti membaca dan berhitung, dan juga kesabaran. Jihoon tidak pernah bertahan lama menghadapi anak-anak, tapi benar-benar mengejutkan dia bisa bertahan selama lima tahun ini tanpa pernah mengeluh ingin berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudade | HoonSoon ✔
FanfictionJihoon kehilangan Soonyoung. 5 tahun waktu berlalu sama sekali tak membuat hatinya berguyur sembuh. Sampai ketika Jeonghan datang kepadanya membawa seseorang yang tak pernah diduga, namun selalu diharap. Sayang, takdir lagi-lagi bermain dengannya. "...