Episode Pertama: Hujan

92 34 32
                                    

Ray menatap kerumunan ketika tetes demi tetes air jatuh dari langit mendung. Berliter-liter air membasahi semua orang, angin lembut yang dingin menyapu mereka, tidak adanya tempat berteduh membuat semua orang merapat ke dinding. Merapatkan tubuh di tengah satu sama lain.

Jaket denim yang telah susah payah dia jemur kini juga basah, Ray mendesah lelah. Sembari bersandar di dinding, dia mengingat hal-hal yang seharusnya terjadi sebelum ini.

Ray merasakan dirinya kembali di meja rapat besar itu, duduk dengan tenang. Ada secangkir kopi di hadapannya, hampir tak tersentuh. Telinganya dibuat panas saat mendengarkan sang sutradara mengoceh tentang isi kontrak mereka; dia menekankan berulang kali hal-hal yang patut diperhatikan dalam kontrak.

"Kalian benar-benar tidak diizinkan pergi, mengerti?"

Lagi, Sutradara Serfano itu memperingatkan dengan keras, dia benar-benar sutradara yang ingin film ini sukses. Tidak heran, lagipula perlu 12 tahun untuk Serfano akhirnya memulai proyek besar ini.

Ray membuka matanya setelah ingatan itu muncul, dengan ketenangan yang sama dia menatap semua orang. Baju-baju eksentrik mereka serta riasan wajah segera menjadi tidak berguna dihadapan hujan.

Beberapa yang riasan wajahnya luntur bahkan terlihat jelek. Sapuan yang tadinya menjaga wajah agar tetap menarik kini menjadi bumerang di hadapan kemahakuasaan air. Sungguh, manusia itu tidak pernah puas. Mereka mengejar apa yang tidak mereka miliki, mempercantik, memperkuat, dan memperkaya diri. Walau benar, tidak ada manusia yang pernah mencapai kepuasan. Bahkan Ray mengakui dia juga tidak pernah puas.

Ray akan tertawa sinis jika situasinya tidak cukup menjengkelkan. Dia membenci hujan.

Saat tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara mendesing kecil menarik perhatiannya. Suara tersebut diikuti beberapa teriakan kencang.

Beberapa jeritan menusuk telinga. Ray melihat beberapa orang jatuh ke tanah, dan lainnya membuat wajah ngeri. Dia mengerutkan kening bingung.

Cepat-cepat, Ray menatap ke arah dimana orang-orang melihat. Dia segera menarik napas dalam dan tercekat. Darah menghilang dari wajahnya. Rasa mual naik ke perutnya dengan jantung memompa begitu keras.

"Apa-apaan ...." Suaranya hampir tidak terdengar.

Di arah dia melihat, tepat beberapa meter darinya, ada banyak warna merah menyebar dan bercampur dengan air. Darah merah itu segar, bau besi segera menusuk hidung. Lubang terbuka yang mengucurkan darah itu tak lain adalah sebuah kepala, dengan belati yang warna metaliknya masih terpantul dengan jelas, tajam dan mengkilap layaknya baru dibeli.

Ray menatap ngeri pada tubuh yang tergeletak di tanah, tidak bergerak, juga tidak ada tanda-tanda bernapas.

Area itu jatuh dalam keadaan keterkejutan diam. Semua orang mematung dan pingsan berdiri.

***

"Ini ... beneran?" Seseorang bertanya dengan tidak percaya, tak satu pun dari orang-orang itu mengalihkan perhatian dari mayat di lantai. Namun, hujan menenggelamkan semua pertanyaan lirih.

Hanya ketika seseorang dari kerumunan benar-benar berteriak ngeri, semua orang seketika bergerak menjauh.

"Ini enggak lucu!" Janu, komedian itu berteriak di atas paru-parunya, seketika bergerak menjauh dari mayat ke seberang ruangan.

"Keluarin kami! Gue serius!" Langit masih membisu, hanya suara hujan yang berdenting di telinga.

Beberapa orang lain yang berhasil pulih akhirnya juga ikut protes. Ketakutan dan kengerian memoles suara mereka. Ada yang terang-terangan menangis meski hujan mengaburkan semua ekspresi. Bahkan beberapa perempuan sudah jatuh pingsan.

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang