Berputar-putar

8 3 0
                                    

Hidup di zaman sekarang benar-benar cukup memuakkan bagi seseorang seperti Serfano. Ambisinya jelas dan dia benar-benar siap untuk mewujudkannya, tetapi hukum dan pemerintahan tidak membiarkan itu terjadi. Hukum telah stabil, masyarakat tertata, tetapi zaman kerajaan masih tampak sebagai rumah.

Menatap keluar jendela, dia menemukan pemandangan hutan itu menarik; hamparan hijau yang luas, langit biru yang menjadi atapnya, ini seperti rumah cuma terlalu besar. Dia mendambakan kebebasan di rumah sebesar itu.

Setelah keluar dari pekerjaannya yang dulu dan hidup tenang bersama istri dan anak perempuannya, dia tidak bisa menghilangkan rasa gatal yang memuncak di tangan. Dia senang, itu tidak bisa disangkal, tetapi membawa kembali kebebasan yang ia dambakan, membawa kembali sesuatu yang nyata untuk dilihat dunia, itu masih menjadi ambisinya. Itu sebabnya dia menjadi penulis dan mengarang seluruh kejadian yang ingin ia baca. Tulisan-tulisan itu kini tertumpuk rapi di lemari besinya.

Masuk menjadi sutradara, dia kecewa dengan kualitas dari apa yang dimiliki dunia.

Serfano adalah seseorang yang mencintai sesuatu yang asli, dia juga mencintai keluarganya, jadi untuk anak-anak di luar sana dia akan mengajarkan bagaimana pembunuhan yang asli itu terjadi.

"Besok, kita akan memulai rencana B."

"Ya, Bos."

"Dan bersihkan wajahmu, beraninya kau kalah dari anak perempuan kecil!"

Irawan menunduk, memundurkan dirinya dan keluar dari ruangan.

***

Wajah Syakira pucat, makanan di hadapannya mulai terasa pahit. Walau di layar terasa menggugah selera, mereka seperti sedang melakukan acara makan. Syakira masih merasakan beberapa gangguan.

Setelah makanan habis di atas meja, nampaknya energi mereka telah pulih hampir sepenuhnya. Derit dinding yang membuka membuat semua orang akhirnya menoleh.

"Level selanjutnya, ya."

Ray terdengar menjelaskan, lebih ke dirinya sendiri. Tatapan di iris coklat itu intens, seolah dia tidak terganggu setelah makan daging manusia.

"Jadi, pemeran utamanya gini?" Syakira menggumam, menopang dagunya saat menonton Ray dengan acuh tak acuh masuk ke lorong di dinding yang terbuka.

Tidak ada yang mengikutinya pergi. Namun, kamera tetap bergerak untuk mengawasi setiap pergerakan yang dia lakukan.

Lorong itu mempunyai cahaya yang redup, permukaan dan dindingnya kasar, hampir menyerupai dinding gua. Jalannya menanjak, membuat Ray berjuang untuk melangkah. Dari kilau yang terpantul dari ruangan sebelumnya, Syakira tahu lorong itu lembab.

Lalu, musik lembut dimainkan. Suara gemericik air terdengar tak lama kemudian. Semakin cahaya terlihat di ujung, suara gemericik air terdengar lebih jelas.

Tidak lebih lama dari lima menit, cahaya akhirnya menerangi sosok acak-acakan Ray. Ruangan yang lebih sempit dari sel penjara menyambut Syakira dan Ray.

"Oh," gumam Ray kagum. Gemericik air yang sejak tadi terdengar, rupanya datang dari sebuah pancuran kecil yang airnya menggenang di kolam kecil di bawahnya. Ray berjalan ke pancuran itu, menangkup sedikit airnya. Terlihat jernih dan murni, Ray dalam kehausannya segera meminumnya.

Mengamati sekelilingnya tempat ini mirip sumur, cahaya yang datang dari lima meter di atasnya memberi Ray petunjuk bahwa ini bisa menjadi jalan keluar. Sisi kasar yang dirasakan Ray di lorong yang ia lewati ternyata juga menjadi lebih kasar di dinding-dinding di atasnya.

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang