Kebetulan Belaka

32 14 11
                                    

Konsepsi dan persepsi, Ray tetap saja memilih netralitas. Jalan tengah selalu yang terbaik, bukankah begitu?

Jalan lengangseolah memberi harapan, garis lurus tanpa tikungan atau gundukan. Namun, tembok yang terlihat dari satu kilometer jauhnya meruntuhkan harapan apa pun yang tersisa di benak mereka. Mereka dikelilingi tembok, sekali lagi.

Berdebat, 29 orang itu terpecah menjadi tiga kubu; kubu pertama dengan mereka yang masih menggantungkan harapan bahwa tembok masih bisa dipanjat; kubu kedua yang memilih menunggu apa pun yang diputuskan sutradara untuk mereka hadapi; dan kubu ketiga yang tidak memilih di antara keduanya. Ray, tentu saja bagian dari kelompok tiga, bersama bayangannya seorang.

Matahari terik membakar kulit, Rani yang telah gelisah sejak terbangun di antah berantah ini menyeret ujung baju Melda agar bergegas. Tembok dari satu kilometer jauhnya itu adalah harapan terakhir mereka untuk keluar.

"Hei, kamera! Siapa pun yang lihat ini, tolong kami!" Sayangnya, Janu tak berpikir begitu.

Drone yang berisi kamera melayang sepuluh meter di atas mereka, memantau layaknya elang. Janu hampir merasa yakin bahwa kamera itu merekam mereka, dan tentu saja menyiarkannya. Entah bagaimana Pak Fano dapat melakukan semua ini masih menjadi teka-teki tanpa potongan yang pasti. Janu geram;  benar-benar marah.

Terutama Eka, teman sekamarnya yang mengatakan bahwa dia anak pertama; yang mengatakan bahwa arti namanya satu; dan yang akhirnya mati pertama. Janu merasakan matanya agak memanas, entah karena sengatan matahari atau karena beberapa emosi yang berputar di perutnya.

"Kalian lihat, 'kan, gimana Eka mati?! Itu enggak palsu!" Dia meraung. Namun, tidak ada seseorang untuk menjawabnya, terutama semua orang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

Meratapi bagaimana mereka jatuh dalam skema Serfano Hemandra. Sekarang, setelah semua menjadi sejelas kaca, mereka tak punya pilihan selain putus asa.

Rani, Melda, dan beberapa orang lainnya telah pergi menyusuri jalan yang membentang dari timur ke barat. Kiri dan kanan adalah apa yang bisa disebut tanah tandus. Hanya ada bebatuan di mana-mana tanpa sepucuk pohon pun tumbuh, padahal, seharusnya ini adalah waktu ketika musim hujan mendatangi negara ini. Dehidrasi semakin terasa ketika matahari semakin tegak di atas kepala. Kebutuhan akan air itu meroket.

"Ayo duduk dulu, tunggu matahari turun." Melda tak bisa melanjutkan lagi, napasnya berat, peluh mengucur dari dagunya. Satu kilometer terasa seperti berlipat ganda.

"Enggak bisalah, Mel! Kalau ada sesuatu, entar gimana?! Kita enggak bisa diem aja!" Rani dalam pembelaannya punya firasat yang sangat buruk.

"Melda bener, Ran. Lebih baik duduk dulu, selagi enggak ada apa-apa." Krita mengipasi dirinya dengan tangan, peluh mengucur deras dari pelipisnya saking panasnya matahari.

Semua orang yang akhirnya setuju pada Melda, menjatuhkan diri di aspal yang panas, meski tak bisa dipungkiri bahwa mereka akhirnya tersentak berdiri. Karena, aduh, aspal yang kelihatan baru ini sepanas panci.

"Kalian ini! Ya idah, aku pergi sendiri!" Rani akhirnya menuju timur seorang diri.

Tinggi di atas kepala, sebuah drone yang melayang dua puluh meter jauhnya memantau gerak kaki Rani.

***

Agus menarik napas dengan tajam, langsung menutup pandangannya dari apapun itu di layar.

Akan tetapi, sia-sia, apa pun itu yang disaksikan matanya tidak bisa menghilang dari pikirannya. Sekelebat bayangan itu terus terputar bahkan dari seberapa keras Agus mencoba melupakannya. Selamanya, bayangan tadi akan menghantui isi kepala Agus.

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang