Kecuali

18 8 3
                                    

Respon masyarakat akan dua episode pertama cukup memuaskan, forum daring mulai terbentuk, gosip di masyarakat menyebar layaknya api, bahkan banyak youtuber yang juga membahas film ini. Setidaknya dalam standar Irawan ini termasuk pencapaian besar ketika datang ke Indonesia, yang selera pasarnya dipenuhi percintaan dan drama.

Akan tetapi, setelah hampir tiga tahun melayani Bos Serfano, membuat ia sadar standar sutradara ini rupanya sedikit miring. Lihatlah wajahnya, mengerut kesal melihat statistik penayangan sedikit kurang dari yang ditargetkan.

Wajahnya yang dibingkai keriput membuat kerutan di antara alisnya terlihat lebih dalam. Selama beberapa detik hening, Bos Serfano akhirnya hanya membuang napas pelan, tidak ada yang bisa dia lakukan.

Detak jam keras terdengar di ruangan sunyi ini ketika Irawan menunggu sepatah kata Bos Serfano. Diam berdiri dengan posisi tegap, Irawan menangkap Bos Serfano yang akhirnya bersandar di kursinya.

"Bagaimana status kemarin?"

"Beberapa kamera rusak lagi, selebihnya tidak ada masalah."

Bos Serfano mengangguk. Kertas di tangannya kusut. Irawan cuma melirik sekilas, sebelum badan tegapnya yang dipenuhi otot berbalik, tidak ada lagi yang perlu dilakukan di sini. Tidak perlu kata-kata, pamit hanya tambahan menyebalkan. Bos Serfano menyukai kesunyian dan gerak cepat.

Lorong beton dengan cat abu-abu suram menyambut Irawan begitu pintu di depannya terbuka. Pantofel yang baru saja ia semir kemarin mengetuk keramik begitu keras, seolah ingin membuat kehadirannya diketahui.

"Pak Irawan, orang itu ada di helikopter."

Irawan mengikuti staf yang menyambutnya di ujung lorong. Bukan hanya laporan perkembangan film yang dia bawa ke meja Bos Serfano, melainkan surat yang mengatakan pemain penting lainnya telah tiba.

Irawan menyeringai, surat itu benar-benar membuat Bos Serfano merengut kesal. Sebanyak ia ingin menunjukkan kesenangannya, sebanyak itu pula dia ingin menahannya, jangan sampai gajinya turun karena ini.

Irawan mendekati helikopter yang masih menderu di tengah lapangan parkir depan. Area luas berbentuk lingkaran dengan pepohonan mengelilingi di sekitarnya. Irawan menghirup udara dingin yang tidak datang dari AC, paru-parunya mengembang dengan cara yang menyegarkan; setidaknya hanya untuk saat ini.

Langkah Irawan mantap menuju pintu helikopter yang terbanting terbuka. Kepala yang menjulur dari dalam memiliki rambut panjang kusut, seolah tak disisir selama sebulan. Wajah kecil itu menunjukkan kebingungan, parut di pipi kirinya membuat ia terlihat lebih garang dari yang terlihat.

"Selamat datang." Irawan menyapa. Sedikit membungkuk untuk menunjukkan kesopanannya pada pemeran penting.

Wanita yang hanya akan terpakai menjelang akhir itu menegakkan tubuhnya, masih di atas helikopter yang perlahan mengistirahatkan mesinnya. Wanita itu dengan acuh tak acuh melirik Irawan.

"Di mana tua bangka itu?" Sarkasme menetes begitu kental.

***

Julian merasakan asam lambungnya naik, sontak berlutut, panas di sekitarnya hampir tak terasa. Teriakan histeris, tangisan yang merobek sunyinya jalan, derak api yang masih menyembur dari minibus. Julian hampir tidak menahan muntahnya, bau anyir darah dari Rani dan hangusnya daging Alen bercampur di hidung Julian.

Dia tidak tahan, dia ingin pergi. Mendorong dirinya untuk berdiri, dengan sisa-sisa muntahnya yang hampir tidak ditahan. Julian menatap kamera yang melayang tidak jauh dari kepalanya dengan tajam.

"Kita harus pergi! Tolong hei! Ini asli bukan akting!" Urat-urat di nadinya menonjol, wajah yang sudah putih akhirnya memucat.

Tak lama, teman-teman di sekitarnya mengikuti, berteriak begitu lantang dengan wajah penuh air mata jika tidak kurang.

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang