Jejak

19 7 0
                                    

Iris abu-abu menajam dengan galak, perawakan pendek ditutupi dengan kets berhak tinggi. Setiap langkah meneriakkan keangkuhan yang dibawa wajah mungilnya. Ana menyilangkan kaki, duduk dengan kerutan di antara alis.

"Apakah tua bangka itu di alam kubur?!"

Irawan dengan tenangnya hanya menatap, tidak membiarkan kesenangan merembes di wajah keras kepalanya. Bagaimana pun, Ana masihlah tamu penting perusahaan.

Seorang staf yang bertugas di dapur membawakan Ana secangkir teh dan beberapa camilan. Netra staf itu sedikit melirik Irawan yang berdiri di belakang sofa tempat Ana duduk. Irawan hanya memberinya anggukan, tanda bahwa makanan di atas meja sudah cukup.

Hening lagi.Ana yang menggertakan giginya dengan kasar meraih cangkir. Abu-abu metal interior gedung serasi dengan iris tajam yang menatap jam. Detik demi detik berlalu, Ana dengan sumbu pendeknya mengetuk ngetuk lantai, sepatu kets berhak tinggi menunjukan keganasan yang dibawa perangainya. Gema memantul dari dinding ke dinding.

Saat itu, pintu berderit terbuka. Bos Serfano memasang wajah ramah di antara keriput yang semakin jelas, Irawan hampir saja memutar bola matanya.

Sekilas pandang Irawan tahu, Bos Serfano mengirim tanda untuk dia pergi dengan isyarat matanya. Seperti biasa, tanpa membuang waktu Irawan angkat kaki dari ruangan yang sebentar lagi menjadi medan perang.

Entah dengan kata-kata atau ..., Irawan tersenyum, dia tidak sabar untuk menyaksikan panggung seperti apa yang bisa disiapkan keduanya.

***

"Sudah lama, bagaimana kabar Anda?" Serfano bertanya demi sopan santun yang telah menjadi tradisinya sendiri selama beberapa tahun.

Ana memutar bola matanya, terlihat tidak puas sama sekali. Iris abu-abunya menatap lurus ke iris abu-abu kusam Serfano. Tidak ada getaran, seolah dia singa betina di sini.

"Tua Bangka, saya di sini untuk bekerja, bukan basa-basi." Dia mencondongkan tubuh, bertumpu pada lututnya yang ditumpuk. Salah satu sudut mulutnya yang mengkerut menunjukan rasa kesal yang jelas.

Senyum Serfano masih bertahan, seolah tak melihat ancaman yang jelas. Iris abu-abunya mengamati bolak-balik Ana, mencari beberapa hal. Di akhir pengamatan Serfano memutuskan tidak ada yang berubah.

"Nah, kamu benar." Dia bersandar di sofa. "Tugas kamu sederhana, dan kamu hanya bekerja di akhir. Jadi, selama menunggu itu kamu bisa bermain-main sepuasmu di sini."

Ada senyum yang dilemparkan kembali, Ana bergabung, tidak mengindahkan rasa dingin yang menjalar di tulang punggungnya. Sungguh tua bangka ini tahu caranya memberi ia kesenangan.

***

Anathasia jatuh lemas, panas aspal menyengat di bawah pantat bercelana denimnya. Entah sudah berapa kali dia menahan, air mata tak kunjung surut. Melda yang harus melihat kematian teman sekamarnya sudah diam semenjak tadi.

Tak ada percakapan yang bisa ditukarkan di antara orang-orang putus asa. Setelah bom dijatuhkan, tak terpikir bahwa mereka bisa lolos sama sekali.

Naskah yang tadinya hanya jembatan untuk menuju uang kini berganti menjadi kematian.

"Kita tahu gimana ini bakal berjalan, 'kan? Jadi setidaknya, kita bisa antisipasi episode selanjutnya, meski itu benar-benar diacak."

"Gimana kalau, Pak Fano memutuskan untuk merubahnya? Kita enggak bisa begitu aja enggak mikirin itu 'kan?" Wajah Kian menunjukan bagaimana dia tidak setuju.

"Lo jangan sok mimpin kita, deh!" Janu menunjuk-nunjuk Ray.

Kian yang berada tepat dihadapan Janu untuk menghentikannya merasa kereta api baru saja melintas, tepat di telinganya.

Berbalik, Kian melemparkan tatapan yang diwarnai kerutan amarah. "Lo bisa diem, enggak? Ada masalah apa sih, lo?!" Kesabaran Kian hampir habis. Sedikit lagi api, dia benar-benar akan meledak.

Janu tak berkutik, iris coklatnya mengirimi permusuhan sedemikian rupa, Ray tak memandang Janu.

"Udah, udah. Ray sama Kian bener. Setidaknya, jika kita tahu episode selanjutnya, kita tahu gimana harus nyelametin diri."

Semua orang saling menatap dalam diam. Hampir setuju, tetapi juga merasa takut, saat itu deru helikopter yang sudah tak asing menarik perhatian mereka.

Walau tak ada yang mendengar, air liur yang telah menumpuk dari ketegangan, ditelan dengan kering. Tak ada cukup air untuk membasahi tenggorokan mereka.

Tubuh-tubuh mereka menegang dalam keadaan siaga. Hening dalam area 27 orang itu membuat deru helikopter semakin keras terdengar. Jantung yang berpacu sinkron dengan setiap jarak yang semakin menipis.

"Per-perlukah kita lari?" Seseorang berbisik pelan. Mereka yang sudah bersiaga penuh, dalam ketakutan dan keringat yang membasahi tubuh, mereka yang didorong oleh perasaan teror mengeluarkan semua kemampuan otot kaki mereka, berlari sekencang yang bisa mereka lakukan. Jeritan bergema begitu mantap.

"Tidak! Jangan lari!" Terlambat, suara mendesing yang melewati telinga Ray membuatnya melihat merah.

***

Area bawah tanah juga dicat dalam abu-abu metal, area bundar ini dipenuhi banyak peralatan rapuh dan mahal, menumpuk dan dibiarkan tegerai di berbagai sudut. Mulai dari kamera, latar hijau, beberapa properti latar, serta beberapa sound system. Balkon yang ditempati Ana kini bahkan berisi beberapa kursi untuk pengamat, rupanya selain menjadi gudang, area luas ini juga dipergunakan untuk syuting. Tepat lima meter di sebelah kiri adalah tangga. Ana menyeringai, langkah pendeknya membawa ia ke tangga metalik yang berlubang-lubang.

Ana membuang napas. Lebih kagum, daripada kaget. Siapa yang menyangka tua bangka itu bisa masuk ke bidang ini? Lama mengenalnya, Ana tahu Serfano ambisius, tetapi dia tidak tahu ambisiusnya bisa mengamuk seperti ini.

Berapa tahun itu? 10? 11? Ana cuma bisa menyeringai.

"Bermain dengan apa aku seharusnya?" Dia bertanya kepada dirinya sendiri.

Pancaran sinar ultra terang dari langit-langit yang tinggi memberi Ana penampilan terbaik dari area bawah tanah yang luas ini. Masih di atas tangga, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan dengan rasa ingin tahu.

Area syuting yang kosong menarik perhatian Ana. Langkahnya yang kecil namun tegas membawa ia dalam adrenalin yang sedikit dipacu.

Akan tetapi, derit pintu menghentikan langkahnya.

Mata kecil yang tajam ditujukan sebagai salam. "Saya meminta untuk ditinggal sendiri." Nadanya penuh ancaman, namun Irawan di ambang pintu tak mengindahkan.

Kadang Ana berpikir, semua laki-laki sama saja, tangannya tiba-tiba terasa gatal.

"Maaf, tapi saya diminta untuk menemani Anda." Irawan tak memandangnya, dia juga tidak membungkuk.

Hidung Ana berkerut dalam ketidaksukaan, sebelum sebuah ide terbersit dalam benaknya. Meluruskan postur, Ana memberi syarat dengan tangannya. "Kalau begitu, ke sini."

Irawan memasang wajah bingung, tetapi kepalanya mengangguk. Tubuhnya besar, Irawan adalah apa yang disebut pria tinggi dan sangar. Langkah kaki lebar Irawan membawanya tiba lebih cepat dihadapan Ana.

Ketika langkah terakhir diambil, tanpa peringatan, kepala Irawan sudah menoleh ke samping.

Kerutan Irawan terlihat jelas kali ini. "Apa yang ...?" Irawan mengusap pipi kanannya.

"Cih, keras." Walau berkata begitu, senyum di wajah Ana menghianati rasa sakit dalam ekspresi suaranya.

Irawan hampir tertawa, jadi begini, panggung yang dipilih Ana. Tidak, ini adalah permainan yang dipilih Ana Hemandra.

***

... Bersambung ...

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang