Rasanya Neraka

12 4 0
                                    

"Apa?"

Agus tertawa tidak percaya. Begitu lahar panas itu terungkap di layar kaca, dia segera tahu apa tema dari episode kali ini. Setelah dari penjara dan menghadapi kejaran anjing, kali ini lubang panas berisi magma. Pasti mengambil referensi dari neraka.

"Berengsek! Kenapa?! Bukannya episode ini episode terakhir?!" Ron'yafan, seorang penyanyi, berteriak ke arah lahar panas di depannya.

Geraman terdengar di lorong, anjing-anjing itu semakin mendekat, mereka terjebak, 25 orang itu memucat seketika.

"Lari?"

"Gimana, berengsek?"

Beberapa mendesak mundur, tetapi tak bisa berkutik ketika suhu panas menembus tubuh mereka. Keringat semakin deras mengucur.

"A-ada yang bawa tongkat?" Semua orang menggeleng, bagaimana mereka bisa ketika tidak ada satu batang senjata pun di sini.

Agus ingin bertepuk tangan. "Terobos saja!" Dia ingin mengatakan itu tepat ke mereka semua.

Untungnya salah seorang dari mereka cukup terdesak, mengumpulkan keberanian orang itu berlari ke depan berteriak dengan lantang saat anjing-anjing itu berusaha menggigitnya. Dia berhasil memukul beberapa. Sementara itu beberapa sisanya—dengan liur mereka menetes ke lantai abu-abu—menerjang sisa manusia yang terpojok.

Tendangan di arahkan ke moncong, pukulan mendarat di perut, geraman dan teriakan terdengar riuh. Luka tercipta ketika cakar-cakar itu menembus kulit, darah di mana-mana. Dan Agus bisa merasakan kelelahan mereka.

"Buang ke api!"  Ray berteriak dan memukul salah satu anjing yang mendekatinya tepat ke pinggir, menendangnya sekali lagi ketika anjing itu berusaha bangkit. Akhirnya, dengan tendangan lain, anjing itu terbakar di bawah magma.

Napas Ray terengah tapi tidak ada yang bisa istirahat. Luka di lengannya yang sobek meneteskan darah. Ray menatap jaket denim dan kaos di dalamnya yang hampir tidak bisa dipakai.

Semua yang melihat aksi Ray mencoba melakukan hal yang sama.

"Mati kau, dasar bedebah sialan!" Julian menendang seekor anjing yang menciptakan luka di pipinya.

Kian mencengkeram leher dua ekor anjing yang meronta, segera berlari dan melemparkan mereka ke dalam magma.

Segera, ketika semua orang dipenuhi luka, lebam, dan darah berceceran di lantai, pertarungan itu selesai dengan kemenangan mereka.

Agus tersenyum, memberi mereka tepuk tangan.

"Ayo pergi ke sisi sebaliknya."

Agus berkedip, sekarang dia ingat, ketika mereka keluar dari sel demi menghindari kejaran anjing, yang berada di sel di depan mereka, mereka berlari menuju lorong kanan, mereka mungkin perlu memeriksa lorong kiri yang gelap.

"Udara di sini kering." Julian mengusap dagunya, keringat menetes sampai sana.

"Ya, tapi di sel kita udaranya lembab, mungkin di lorong gelap ada sumber air." Ray menjelaskan hipotesisnya, sebagai orang yang bangun duluan dia bisa mengamati sebanyak itu.

"Enggak bisa istirahat dulu? Ada yang terluka nih!" Sekali lagi tampaknya Janu berselisih pendapat dengannya.

Wajah Ray tampak mengernyit halus.

"Tapi hampir enggak ada udara, aku enggak bisa napas!" Melda terengah-engah. Tangannya menempel di lengan kanannya yang berdarah.

Banyak yang setuju. Magma panas membakar semua pasokan oksigen dan semakin membuat mereka kehabisan napas. Pada titik ini seseorang mungkin akan pingsan.

Pergi ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang