4 | Motor Cicilan

18 8 9
                                    

Selamat Membaca 💙
_______________________

Pagi-pagi sekali aku sudah menduduki kursi panjang kantin dan disambut dengan Wangi kuah soto dan bakso. Ditambah dengan suasana pagi hari ini yang begitu dingin. Namun, aku sedang tidak berselera untuk memakan kedua jenis makanan tersebut. Jadi, aku hanya membeli aqua dingin supaya tidak pingsan saat PKS nanti.

Perasaan baru kemarin hari Jumat, sekarang sudah Senin lagi! Setiap hari Senin, suasana pagiku selalu hectic karena jadwal PKS dan Jaga Upacara-salah satu program kerja harian OSIS-MPK, adalah hari ini. Oleh karena itu, Pukul 05.30 aku membelah Jalan Raya Semarang-Solo menggunakan motor beatku yang cicilannya baru lunas akhir tahun ini. Badanku terasa beku karena tidak menggunakan jaket atau almamater. Dinginnya kabut menyebabkan bulu kuduk di seluruh badanku berdiri. Terlebih saat melihat kecelakaan di perempatan kabupaten yang menyebabkan tanganku tremor. Untung saja masih bisa melanjutkan perjalanan.

Aku menggeser badanku karena melihat Ajeng berjalan memasuki kantin. "Udah lama?" tanya Ajeng dengan tangan yang merapatkan jaket.

Aku menggerakkan ritsleting tas, mengambil almamater OSIS dan topi upacara. "Baru aja sampe. Yuk, ke RO!" Aku sudah berdiri dan mengenakan almamater, lalu bersiap-siap menuju ruang OSIS.

"Yaelah, baru aja naro pantat," keluhnya.

•••


Lingga membuka sebuah buku gelatik berukuran kecil. "Bagas, Samita, Aji, Nina, sama Rara jaga parkir di Gedung satu. Gue, Sabrina, Ajeng, Nugroho, Diana di Gedung dua. Kalau nggak ada yang ditanyakan lagi, langsung aja ke posisi." Setelah Lingga selesai membagi anggota OSIS-PKS menjadi dua bagian, kami langsung menuju tempat yang telah ditentukan.

Sekolahku memang terdiri dari dua bangunan. Gedung satu adalah bangunan yang berada di samping jalan raya, sedangkan gedung dua adalah bangunan berukuran lebih kecil yang letaknya di belakang bangunan satu. Keduanya dipisahkan oleh jalan beraspal berukuran kecil-ketika diikuti maka akan menemukan perumahan warga. Jika di gedung satu terdapat lapangan utama dan lapangan futsal indoor, maka di gedung dua ada lapangan basket dan lapangan tenis. Kelas di gedung dua pun jumlahnya sedikit, hanya XII IPS 1-XII IPS 6.

Kami menuju gedung dua karena letak ruang OSIS berada di gedung satu. "Bareng lo mulu," keluh Ajeng. Dia menyalip posisiku.

Kalimatnya barusan hanyalah candaan. Aku menyejajari langkahnya. "Iya ih. Bosen!" Lalu mendorong pinggulnya dengan pinggulku sampai dia bergeser posisi cukup jauh. "Tapi boong," lanjutku. Setelah itu, kami tertawa.

Ketika sampai di Gedung dua, kami langsung mengambil posisi. Aku memilih menempatkan diri di gerbang selamat datang. Tentunya bersama Ajeng. Jangan heran, kami memang lengket seperti kena lem lalat. Biasanya, kami akan melihat atribut dari murid-murid yang masuk lewat gerbang ini, menegur apabila atribut yang dikenakan tidak sesuai, lalu mencatatnya di buku poin ketika PKS selesai. Poin itu akan diakumulasikan dan diumukan ketika rapotan. Jika lebih dari seratus, maka tidak naik kelas.

Sebenarnya, PKS bukan wewenang dari OSIS-MPK. SMAN 9 Boyolali melibatkan seluruh muridnya untuk kegiatan PKS, sedangkan SMAN 10 Boyolali membentuk ekstrakurikuler PKS. Entah mengapa kebijakan di sekolahku tercinta ini berbeda.

Ajeng berlari menuju tempat parkir dengan membawa sebuah kertas. Posisinya agak jauh, tapi aku masih bisa mendengarnya. "Henggar, ini hari Senin dan kaos kaki lo warna hitam. Kenapa?" tanyanya. Aku yakin wajahnya sewot setengah mati.

"Sori, tadi keburu berangkat. Gue belum kerjain PR," jawabnya. Yang ditegur malah membuang muka, berpura-pura mengambil tas setelah itu menggendongnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apology Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang