9. dua luka

7 3 2
                                    

Seyna meremas kuat rambutnya lalu terduduk, terisak hebat.

Dia adalah gadis yang terluka. Terjebak dalam kelam masa kanak-kanak, memenjarakannya dalam kesakitan tak berujung. Membuatnya mengambil langkah yang salah. Menyakiti orang yang bahagia agar mereka sama dan setara.

Menyakitkan saat yang ingin dia dapatkan adalah elusan dan sayang namun diberi bentakan dan cacian. Menyedihkan saat melihat kasih sayang dan tutur lembut itu malah diberi pada orang lain.

Dia belum siap saat harus menerima ayah ibunya berpisah, tidak dipedulikan, dan hanya mendapat pukulan. Bukankah tidak adil jika itu yang dia dapatkan dan terima saat sebelumnya mereka masih baik-baik saja?

Jika di beri pilihan Seyna juga tidak ingin menjadi seperti ini. Membuat air mata orang lain tumpah ditambah beban psikis yang melekat. Dia tahu konsekuensi menyakiti orang, luka fisik memudar dengan cepat tapi tidak dengan psikisnya. Dia juga merasa sedih dengan dirinya sendiri yang menumpahkan segala kesalahan dan kebenciannya pada orang lain. Tapi, Seyna merasa tidak mampu berbuat banyak terlebih orang-orang itu mulai bergosip dan mengejeknya karena keluarga yang hancur. Kesakitan terbesarnya dijadikan lelucon.

Hal yang paling menyedihkan adalah saat tahu kamu harus berhenti tapi tidak tahu bagaimana dan kapan waktu untuk membuat dirimu berhenti.

Seyna merasa payah dan susah saat dia bahkan tidak bisa mengendalikan sikapnya sendiri.

Lelehan merah pekat itu membasahi lantai kamar mandi. Seyna hanya menatap kosong langit-langit lalu mulai merasa sedikit lega.

Saat buncahan penyesalan dan fikiran yang mulai kalang kabut menyerang, Seyna akan kembali mengiris bagian lengannya yang lain menggunakan pisau yang menjadi obat sejak lima tahun lalu.

Sendirian membuat lukanya berkali lipat. Seyna tahu cara ini salah tapi dia bisa apa saat bahkan untuk bercerita dia tidak punya ruang sebagai pendengar.

.

Di sisi lain, Oriza menatap langit-langit kamar yang temaram dengan sunyi pekat yang menyelimuti rumahnya.

Bibi pasti sudah tidur.

Sedangkan dia masih harus berperang dengan penyakit sialannya. Oriza menggigit bibir lalu mencengkeram kepalanya yang serasa nyaris pecah. Rasanya bahkan untuk menangis saja dia tidak punya tenaga lagi. Menarik nafas saja dia kepayahan, matanya yang sayu coba dia kuatkan untuk tetap terbuka karena kalau sampai pingsan, Oriza bisa tidak pergi sekolah.

Dia dilumpuhkan sel menyebalkan yang bersarang dalam tubuhnya. Membuatnya terpenjara dengan raung kesakitan hampir di tiap hela nafasnya.

Ingin menyerah tapi rasanya masih ada yang mengganjal dalam diri untuk berhenti. Dia nyaris tidak mempunyai satu hati yang mau menampung kenangannya menetap. Menyakitkan hidup sendirian, lebih sesak lagi saat menutup mata kemudian dengan mudah dilupakan.

Oriza masih harus berjuang.

"Bertahan Oriza. Jangan lemah, jangan lemah, jangan lemah! Lawan penyakit ini. Tarik nafas dan ingat tujuan awal." Oriza menarik nafas lalu fikirannya berfokus pada tujuan awal-mengumpulkan orang yang mau mengingatnya. Dia tersenyum di sela isakan paraunya. Disela raungan sakitnya.

"Jangan lemah, masih banyak hal yang harus dilakukan. Oriza kuat, Oriza hebat, ayo berjuang." Dia menggunakan mantra dahsyatnya. Gumamannya tetap mengudara hingga perlahan pudar saat lelap menjemputnya. Menyisakan kekacauan dalam kamar dengan obat-obatan yang berserakan.

.

"Seyna!"

Seyna menoleh cepat saat satu suara yang begitu dia kenali mengudara.

BISA KENANG AKU? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang