2. luka dan takdir

16 12 2
                                    

Happy reading buat siapapun yang baca, semoga suka dan jangan lupa bahagia.

Ini cerita pertama gue. Kritik dan saran gue terima.

...

Oriza memperhatikan dalam diam interaksi Seyna dan Abimana yang sejak tadi bercakap hangat. Mereka mengenang masa saat bertetangga tujuh tahun lalu. Abimana nampak terbuka dan bahagia, berbeda saat sedang bersitatap dengan Oriza.

Pria itu memperlakukan Seyna begitu istimewa.

Oriza berdiri setelah memasukkan earphone ke dalam tas. "Abim, gak ada yang mau di omongin sama gue? Gue rasa pembicaraan kita sebelumnya belum selesai." Oriza menunggu tanggapan Abimana yang nampak asik berbincang dengan Seyna.

"Hay, Oriza. Lama gak ketemu. Aku sebenarnya mau nyapa tadi. Tapi ragu, soalnya kamu kaya gak kenal sama aku." Seyna menyapa dengan senyum di wajah. Gadis ini jelas sedang membanting arah pembicaraan.

Oriza diam tidak menjawab. Dia setia menunggu jawaban Abimana atas pertanyaannya yang dia ajukan untuk pria itu.

Abimana mengerutkan dahi. Kali ini ikut memandang Oriza yang ternyata sejak tadi melihat ke arahnya. "Oriza kalo lagi ditanya itu jawab. Jangan nganggurin. Seyna tadi sempet cerita ke gue kalo kalian dulunya temenan pas SMP. Lo harusnya gak ngasih ekspresi gak suka gitu, lo-"

"Gue juga dari tadi nanya ke elo. Tapi, apa lo jawab atau paling enggak dengerin? Lo terlalu banyak urusan sampe yang harusnya lo urusin malah lo sepelein." Oriza berucap dingin diikuti dengan ekspresinya yang lebih datar lagi.

Oriza benar-benar merasa tersisihkan saat Abimana nyata memberikan dukungan penuh pada Seyna bahkan dengan jelas mengabaikannya.

"Lo tanya apa emangnya? Sorry, gue gak denger. Gu-"

"Lo lagi asik ngobrol sama Seyna. Sorry gue ganggu. Pertanyaan gue gak penting. Lebih penting urusan Seyna dari gue. Lanjutin. Gue gak gangguin lagi." Oriza menghela langkah setelah berucap dengan tenang.

Baru dua langkah, lengannya di cegat Abimana. "Lo kenapa, sih? Childish bener. Kaya bocah lo!"

Oriza melepaskan cekalan Abimana. Melihat tepat manik mata Abimana sebelum bergulir menatap Seyna. Oriza mengangkat tangan-mempersilahkan Abimana kembali berbicara dengan Seyna. Saat lengannya kembali akan di cegat Abimana, dengan cepat Oriza mengangkat kedua tangan-menghindari. Setelah itu, Oriza benar-benar berbalik pergi tanpa dapat di cegat lagi.

Abimana tetap di tempatnya berdiri menyaksikan kebisuan Oriza saat berlalu tadi. Abimana merasa ada yang janggal. Seberapa marah atau kesalnya pada Abimana, tidak pernah Oriza bertungkah seperti tadi.

Ada yang aneh dan Abimana tidak menyukai itu.

"Hey, Bim! Abim!"

Abimana menoleh lagi ke arah Seyna. Setelah berdehem untuk menyadarkan diri sepenuhnya dari lamunan sesaat. "Kenapa, Sey?"

"Enggak, bingung aja. Kamu kok kaya aneh gitu. Kaya orang linglung tau, gak?" Seyna terkekeh tipis saat Abimana duduk lagi di depannya.

Abimana berdehem nyaring lalu menatap tajam teman sekelasnya. Menghentikan bisik-bisik tentang sikap Oriza yang dinilai siswa satu kelas mereka terlalu berlebihan. Setelah tidak ada lagi bisik-bisik tentang Oriza, Abimana kembali mengalihkan atensi pada Seyna yang menatapnya bingung. "Linglung gimana? Aku biasa aja." Abimana menjawab sekadarnya. Moodnya seolah ikut terbawa dengan kepergian Oriza tadi.

"Kamu jangan terlalu kepikiran soal sikap Oriza yang tadi. Dia biasa kaya gitu. Anaknya emang cuek dan kasar. Dia biasanya gak segan buat mukul orang loh, kalau misal apa yang dia mau gak sejalan sama apa yang orang lain lakuin. Teman sekelas pas SMP banyak yang digituin sama dia. Aku aja tadi sebenarnya takut-takut pas mau negur dia. Takut gak di anggap atau yang lebih buruk malah di bentak kaya pas sekolah dulu." Seyna mulai mengeluarkan bisa untuk meracuni fikiran seisi kelas. Suaranya sengaja dia keraskan.

Senyum miringnya terbit saat dengan jelas bisik-bisik mulai terdengar kembali. Bisik-bisik yang berisi cercaan dan makian untuk Oriza tentunya.

Seyna pandai memutar balik fakta. Mainan yang paling dia sukai sudah terlalu lama dia bebaskan. Menurutnya, sudah saatnya dia kembali mengatur dan memonopoli kehidupan Oriza lagi. Oriza yang lemah dan malang memang paling cocok dijadikan kambing hitam agar semua cercaan mengalir deras pada gadis itu.

Masa SMA terlebih di sekolah baru bukanlah tempat yang cocok untuk melakukan kekerasan fisik ataupun verbal secara terang-terangan. Akan Seyna gunakan kecerdikan rubahnya untuk membuat Oriza kembali merasakan neraka.

Di sisi lain, Abimana dilanda kegamangan. Rasa percaya dan tidak ingin percaya seolah sedang berlomba sekarang. Tapi, satu yang pasti, Abimana tidak bisa membendung rasa kecewa atas tingkah Oriza yang baru Seyna paparkan. Terlepas dari benar tidaknya.

...

Oriza sejak tadi mendekam di dalam kamar mandi. Kukunya mencengkeram rok sekolahnya. Tisu di sebelahnya sudah tinggal setengah. Tangannya naik meremas kuat rambutnya saat gelombang rasa sakit datang dengan dahsyatnya.

Dua puluh lima menit total dia habiskan dengan nafas terengah. Kotak tisu berukuran sedang sudah dia gunakan hampir semuanya. Tisu yang kemerahan akan dia buang lagi ke dalam WC setelah warna putihnya sudah tidak tersisa. Selama dua puluh lima menit, total tiga kali Oriza mimisan. Oriza mengatur nafas yang putus-putus. Rambutnya yang acak-acakan dia perbaiki lagi. Setelah tubuhnya dia rasa sudah cukup kuat untuk berdiri, akhirnya Oriza memilih keluar dari dalam bilik WC tempatnya mengeluarkan rintihan perih.

Oriza melihat pantulan diri sendiri di depan cermin. Masih ada jejak darah dari hidungnya. Hari ini dia mimisan terlalu banyak. Mungkin, karena sudah tiga hari dia tidak drop. Bibirnya nampak begitu pucat.

Oriza sengaja memilih kamar mandi ini karena tidak banyak siswi yang datang ke sini. Tempatnya yang jauh dan mitos bahwa tempat ini angker menjadikannya jarang tersentuh. Hal yang Oriza syukuri, karena WC ini bisa menjadi tempatnya berjuang dan menahan rasa sakit.

Oriza cepat-cepat memolesi bibirnya menggunakan liptint. Dia menyeka baju seragam yang terdapat sedikit noda darah. Oriza membasuh wajah sekali lagi lalu menatap pantulan dirinya di dalam cermin.

Oriza meringis kecil saat mengingat di kelasnya sekarang sudah ada satu iblis yang menghuni. Iblis kejam yang tidak segan menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan. Seyna.

Oriza sesaat takut menghadapi kehidupan yang nampak sama seperti dulu atau bahkan lebih buruk. Dia tidak punya banyak pegangan sekarang. Di mana lagi hatinya harus mengadu saat rasa sakit jikalau penindasan kembali terulang?

Oriza hanya ingin menikmati hidup yang damai. Mengumpulkan orang yang bersedia mencintai dan menemaninya seperti kata bundanya dulu. Agar kelak, saat Oriza pergi, setidaknya ada beberapa tangis dan hati yang begitu merindukannya. Agar setidaknya, kenangannya di dunia utuh di genggaman beberapa manusia. Bukan hanya satu orang saja. Seperti kenangan bundanya yang hanya Oriza yang menggenggam dan merindukan.

Oriza benci kesepian. Kesepian seolah sedang mencekiknya erat-erat.

Dia tidak memiliki pegangan atau sekadar sandaran. Adilkah menghadirkan penyebab trauma saat Oriza sedang berjuang melewati pekatnya rasa sakit dan kesepian?

Terkadang, Oriza merasa Tuhan begitu tidak adil dalam menulis takdirnya. Tapi, bagaimana caranya dia mengeluh saat nafas yang masih tertanam di tenggorokan saja sudah menjadi anugerah yang besar.

Oriza hanya perlu bertahan. Entah sampai kapan.




Tbc

Sangkyuu jangan lupa vote. Vote itu sekadar nindis tapi itu jadi perbuatan berharga yang lo kasih ke penulis apalagi kaya gue

BISA KENANG AKU? (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang