"Kesehatan raja tiba-tiba memburuk, ini sangat mendadak, para tabib juga sudah berusaha menanganinya, jika kemungkinan terburuk terjadi, pangeran mahkota mau tidak mau harus segera dinobatkan menjadi raja"Ruangan pertemuan hanya diisi oleh enam orang penting kerajaan.
Sang Ratu, penasihat istana, kepala tabib, perdana menteri, Mingyu selaku jenderal dan tentu saja sang pangeran mahkota Jaehyun.
"Sudah ditemukan penyebab kesehatan raja yang menurun?" Mingyu menatap kepala tabib istana yang ikut serta disana.
"Tak ada penyakit yang terdeteksi yang mulia, sepertinya ini murni karna yang mulia Raja merasa begitu bersalah setelah perginya pangeran Haxane, kesehatan beliau mulai menurun, dan puncaknya adalah Minggu ini, raja bahkan tak bisa membuka mata" tabib itu sesekali melirik pada Jaehyun yang nampak begitu tenang dikursinya.
"Apa keputusan anda yang mulia ratu?"
Kini semua mata mengarah pada sang ratu yang nampak begitu sedih.
Sudah kehilangan si bungsu satu-satunya anak kandungnya, dan sekarang dia juga begitu ketakutan jikalau suaminya benar-benar ikut meninggalkannya."Jae-ah.. mama tau ini terlalu mendesak, kaupun pasti enggan dan merasa begitu terbebani, tapi mama mohon, gantikan lah papamu, demi rakyat kita" mohon sang Ratu.
Jaehyun mengulas senyum tipis, dia mengangguk singkat.
"Baiklah jika itu titah anda yang mulia"
_
Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu, namun Haxane masih saja belum bisa melupakannya.
Jangankan melupakan kejadian itu, jalannya saja masih mengangkang aneh meski tak separah tiga hari sebelumnya yang membuatnya nyaris seperti orang lumpuh.Kini pria mungil dengan Surai coklat tua itu berada di taman belakang istana, tak jauh dari tempat para prajurit dilatih.
Dibelakangnya mengekor dua pelayan pribadi yang Jeno berikan, serta Yuta yang mendadak mendapatkan tugas untuk menjaga si calon ratu kerajaan."Uhh aku ingin melihatnya"
Haechan mendongak, menatap sang Jenderal yang juga tengah menatapnya.
Jari kecil tapi ramping miliknya menunjuk sekumpulan pria berbadan kekar yang sedang berlatih keras ditengah lapangan, disana juga ada Jeno dan Johnny si Jenderal berdarah asing yang mengawasi."Tidak yang mulia, sangat berbahaya berada didekat prajurit yang sedang berlatih, lebih baik anda mengunjungi taman bunga disisi kiri istana, saya akan mengantarkan anda"
Haxane memberengut tak suka, Taman bunga? Really? Apa dia terlihat seperti perempuan yang menyukai hal semacam itu?
Begini-begini meski dimasuki dia tetap laki-laki ya! Ingat itu!
"Tidak mau, aku mau kesana!" Rengeknya.
Yuta tetap kekeh tidak mengizinkan membuat Haxane kesal bukan main.
Berbagai ide terlintas diotak pintarnya.
Haxane menatap Yuta lama, dengan binar aneh dikedua bola mata jernihnya."Auuhh sepertinya asam lambungku kambuh lagi" Haxane berlagak begitu kesakitan.
Yuta dan dua pelayan itu sontak panik.
"Kalian! Ambil ramuan yang disiapkan tabib istana sekarang juga!" Teriak Yuta.
Pria itu kalut, bahkan hendak menggendong Haxane jika saja tak langsung ditolak.
"Uuh Yuta? Bisakah kau saja yang mengambilkan ramuannya? Aku takut diracuni" lirihnya dengan wajah yang nampak lemas.
Ah, sebuah keberuntungan Haxane menolak dipoles makeup oleh para pelayannya pagi tadi, sekarang wajahnya terlihat sedikit lebih pucat, meyakinkan Yuta bahwa dia benar-benar tak sehat.
"Baiklah yang mulia, dan kalian berdua! antar yang mulia Haxane kekamarnya" titah Yuta pada para pelayan sebelum berlari meninggalkan Haxane sendiri.
"Mari yang mulia, anda terlihat sangat kasakitan"
Raut wajah Haxane yang semula sayu berubah total setelah memastikan Yuta pergi, dia menyunggingkan senyum miring pada dua pelayannya.
"Tak apa, aku sudah baik-baik saja"
"T-tapi yang mulia?"
"Pergilah, aku ingin sendiri"
Tak dapat menolak, kedua pelayan itu pergi.
Karna bagaimanapun, Haxane menjabat sebagai putri mahkota disini, hanya tinggal menunggu waktu kenaikan tahtanya menjadi ratu setelah pernikahannya bersama raja terlaksana, mereka tak mau cari masalah dengan orang berpangkat tinggi, itu sama saja cari mati."Cih menyebalkan, mereka pikir aku selemah itu hingga harus kemana-mana dikawal?"
Tanpa ada yang menghentikan, Haxane berjalan mengendap memasuki arena latihan, fokusnya kini hanya pada para pemanah berbadan semampai yang berada diposisi paling ujung.
Ah, syukurlah Haxane tak harus berhadapan dengan sang raja, karna pria itu terlihat begitu fokus memantau battle beberapa prajurit bersenjata pedang.
"Wahh, mereka benar-benar keren"
pria mungil bersurai coklat itu memekik senang.
Dulu dia hanya bisa melihat pasukan pemanah yang luar biasa menakjubkan menurutnya itu dari kejauhan, itupun Jaehyun ataupun Mingyu selalu menemaninya, kali ini dia bisa menyaksikan langsung dari posisi sedekat ini, benar-benar sesuatu yang dia impi-impikan.Apalagi ini Black Pearl, si pasukan tak terkalahkan yang melegenda itu.
Sreppp!
Matanya membulat, nyaris keluar, Haxane menahan nafasnya dengan tubuh kaku yang perlahan bergetar hebat.
Anak panah itu berada tepat didepan matanya, hanya berjarak dua cm dari wajahnya."Aku akan menghukum siapapun yang membiarkanmu berada pada posisi berbahaya ini sayang" suara berat itu berbisik dingin, terdengar begitu menusuk ditelinganya.
Jeno tepat berada dibelakang pria mungil itu, memegangi anak panah yang tadi melesat dan hampir membidik kepala Hexanenya.
"Yang mulia, anda baik-baik saja?"
Johnny berlari menghampiri bersama beberapa prajurit.
"Orangnya sudah kau tangkap?"
Bukannya menjawab, Jeno malah balik bertanya.
"Sudah yang mulia, Yuta segera meringkusnya, anda bisa menemuinya nanti diruang biasanya"
Jeno menyerahkan anak panah ditangannya pada Johnny.
"Cari tau dalang dibalik ini semua, bakar orang itu hidup-hidup dihadapanku"
Haxane merasakan tubuhnya semakin melemas mendengar apa yang Jeno ucapkan.
Apa membunuh orang memang semudah itu disini?"Ah!"
Haxane memekik kaget, Jeno langsung mengangkatnya bridal tanpa mengucapkan sepatah katapun, wajah pria itu datar, tapi dari kilatan matanya Haxane tau Jeno tengah menahan amarahnya.
"Bernafaslah sayang, apa perlu aku membantumu bernafas dengan benar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ribs
FanfictionSi permata mungil milik kerajaan terpencil yang direnggut paksa oleh takdirnya. "dia milikku, dengan atau tanpa seizin kalian, aku akan tetap membawanya"