"kita pulang ke rumah dulu, yuk?"
begitulah ujar sana sebelum akhirnya dia diajak berjalan beberapa meter dan melangkah masuk ke dalam sebuah rumah yang dikelilingi oleh rerumputan. rumah itu cukup terawat mengingat posisinya yang seperti di tengah hutan. entahlah, lino tidak tahu mereka sedang berada di mana. suhu di sini pun terlalu rendah untuk disebut kawasan hutan. apa jangan-jangan gunung? ah, lino tidak tahu.
sama halnya dengan posisi mereka sekarang, lino juga tidak tahu bagaimana ceritanya sebuah rumah bisa berada di tempat asing seperti ini. terlebih lagi bangunannya begitu kontras untuk berbaur dengan sekitarnya yang terkesan suram. rumah tempatnya berpijak itu cukup modern untuk bersanding dengan rerumputan tinggi bahkan pepohonan di luar sana.
"mau minum sesuatu?" tawar sana tiba-tiba.
lino menggeleng sebagai balasan. "enggak."
"kenapa?" maupun sudah ditolak, sana tetap membawa dua gelas berisi air di tangannya. "kamu gak butuh minum setelah hilang beberapa hari?"
"aku...hilang?"
sana mengambil tempat di sebuah sofa. "kamu juga gak ingat?"
lino yang tengah berdiri di dekat jendela besar itu kembali menggelengkan kepala.
"astaga lino, kamu lupain semuanya darimana, sih?" gadis itu bersiap untuk menangis. "kakak kira waktu itu kamu cuma pura-pura gak ngenalin kakak. ternyata kamu bener-bener enggak kenal, ya?"
selanjutnya, yang lino tahu hanyalah sana yang lagi-lagi menangis tersedu. tangisannya pun begitu menyesakkan hingga membuat lino merasa tidak enak hati. pemuda itu lantas beranjak duduk di sampingnya dan dengan berhati-hati menepuk kecil punggung sana. semuanya begitu membingungkan. hingga detik ini pun dia masih belum bisa memastikan apakah lino adalah benar namanya. dia juga belum bisa mengenali sana sebagai kakaknya.
terlebih lagi, dia sama sekali tidak ingat satupun hal sebelum dirinya tertidur di tanah dan mendadak tersadar setelah sana berusaha membangunkannya.
"lino."
lirihan oleh sana itu sedikit membuatnya terkejut. "y-ya?"
"kamu bener gak inget apa-apa?"
lino menggigit bibir cemas. "enggak."
"sama sekali enggak?"
"iya," jawabnya sembari mengangguk. "aku gak tau kenapa aku bisa tidur di sana. aku juga gak tau namaku bener lino atau bukan. aku gak tau kak sana beneran kakakku atau bukan. aku bener-bener gak tau...."
sana kemudian mencipta senyum kecil. "kalo gitu, kakak bantu ingetin pelan-pelan, ya? mau gak?"
pemuda itu tidak menjawab.
"namaku sana dan aku bener kakak perempuan kamu. aku masih nyimpen foto-foto kita di hp semisal kamu mau mastiin sendiri." si gadis tanpa ragu menyerahkan benda pipih itu padanya. "kita cuma dua bersaudara, cuma dua anak dari pasangan yang bisa dikatakan cukup kaya. makanya, mereka repot-repot bangun rumah modern ini di tengah gunung cuma buat tempat kita berlibur di sini."
"ayah dan ibu suka suasana di gunung. jadi, gak terlalu heran kenapa mereka milih tempat ini." sambung sana lantas. "singkatnya gitu. kakak mau langsung ke intinya kenapa kita bisa ada di sini, tapi cerita agak,"
lino menautkan alis. "agak?"
"kakak khawatir cerita ini bakal nge-distract kamu." dia menghela napas. "kamu baru aja kakak temuin. gimana kalo kamu ngelupain semuanya lagi dan lari dari sini? kakak gak mau kamu hilang lagi, lino."
"gapapa." tegasnya cepat. "ceritain aja, kak."
"kamu yakin? kamu gak mau istirahat dulu? kamu hilang sekitar 2 hari, loh?"
pemuda itu terdiam sesaat.
"mending kamu istirahat dulu. kakak bikinin makanan, kamu pasti laper."
"tapi, kakak sendiri yang nawarin buat bantu aku ingat semuanya."
sana kembali tersenyum. "kalo gitu kakak bikin makanan dulu, ya? abis itu kita lanjut cerita. kamu tunggu aja di sini. duduk, jangan ke mana-mana."
lino sekedar mengiyakan dan menatap sana yang mulai melangkah menuju dapur. pandangannya kemudian beralih kepada handphone milik sana yang kini berada di genggamannya. dengan hati-hati dia menyalakan benda itu, membuka layar kunci, dan dengan segera menekan ikon galeri. di situ lino langsung di hadapkan dengan ratusan foto dirinya dengan sana. dari foto masa kecil hingga mungkin foto baru-baru ini karena wajah sana yang terlihat sama.
namun anehnya, lino tidak menemukan satupun foto yang memuat wajah ayah dan ibunya. padahal dari cerita sana, ayah dan ibunya terkesan seperti orang yang hangat mengingat mereka yang tanpa ragu membangun sebuah rumah di kawasan asing hanya untuk tempat menginap di kala berlibur. kenapa wajah mereka sama sekali tidak terpampang di galeri handphone sana?
"oh? kamu sudah lihat foto-foto kita?" celetuk sana dengan sebuah piring berisi makanan untuknya. "gimana? kita bener-bener dekat, kan?"
lino mengangguk dengan sedikit menimbang-nimbang dalam hatinya. "kak, aku boleh tanya sesuatu?"
"boleh, tanya aja."
"di hp kakak...kenapa gak ada foto ayah sama ibu?" lino dengan cepat menyambung kata pada detik berikutnya. "ah, maaf. kayaknya aku juga lupa wajah ayah sama ibu. akuㅡ"
"memang harusnya kamu lupain aja, lino."
"huh?"
lino yang tersentak refleks menjatuhkan pandang pada sana. kakaknya itu tertangkap tengah memasang raut kesal di sana. "lebih baik kamu lupain ayah dan ibu. mereka enggak pantes kamu ingat."
"k-kenapa?"
"mereka yang buat kamu kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
something only we know ✓
Fanfic"kamu memang tidak tahu apa-apa." ft. lee know, sana. est. 2022 ⚠️ mental illness, drug, harsh words, lowercase