sudah lewat kurang lebih dua hari semenjak sana menyatakan bahwa lia hanyalah angan-angan lino saja. selama itu, waktu yang berjalan terasa hambar. dunianya terasa hampa karena lino tetap tak bisa mengingat apapun selain sikap abusive ayahnya. sana pun tidak lagi menceritakan hal-hal yang telah lino lupakan. kisahnya berhenti pada kenyataan jikalau dirinya juga kerap berhalusinasi. walau jauh di dalam lubuk hati lino tidak tahu dia bisa mempercayai sana atau tidak, dia tidak memiliki sandaran lagi selain sana.
hanya sana yang meraih tangannya di kala ia terbangun dalam keadaan minim memori. ah, bukan minim, tapi hampir benar-benar tak bersisa. kepalanya kerap terasa berdenyut saat ia mencoba membongkar pikirannya sendiri. berusaha mencari kepingan lawas dan menjumpa kata sia-sia pada akhirnya.
"mikirin apa?" sana tiba-tiba mendekati lino yang tengah termenung menghadap jendela luar.
"kak," lino menjeda sesaat. "gak ada cerita lain yang bisa bantu aku inget semuanya?"
pemuda itu segera melanjutkan. "gak semua juga, sih. tapi, biar aku inget sedikit-sedikit."
"maaf ya, lino. kakak sebenernya mau aja cerita, tapi kebanyakan cerita kamu itu soal kekerasan ayah." sana tampak menekuk kaki dan menidurkan kepalanya di antara kedua lutut. "kalau cerita senang, mungkin cuma sedikit karena kakak juga susah mau bawa kamu ke mana-mana. ayah orangnya keras. jadi, kita banyak ngabisin waktu di rumah dan keluar cuma buat sekolah."
lino tidak menjawab.
"tapi selama sekolah, kakak beberapa kali ngajak kamu ke suatu tempat dan berakhir dapet pukulan dari ayah." entah sisi mana yang lucu, gadis itu justru tertawa. "kakak ajak kamu liat pohon sakura, liat sungai, liat suasana musim gugur, nikmatin salju pertama di suatu tahun. memang gak ada apa-apanya, sih."
lino di situ lebih memilih untuk menyimak. dalam diam, pemuda itu juga berusaha mengingat momen kebersamaan mereka. meskipun sederhana dan bukan apa-apa seperti yang sana bilangㅡlino tetap ingin mengingatnya. dan sepertinya, ingatan lino itu memang harus dipancing oleh beberapa cerita. begitu sana berkisah singkat, perlahan suasana alam yang sempat mereka nikmati itu kembali.
dari suara aliran air, corak merah muda milik bunga sakura, corak jingga kecoklatan khas daun berguguran, juga corak putih bersih milik salju dengan mudahnya terbayang dalam benaknya. bahkan sosok wanita turut muncul sebagai poin utama dari latar beberapa corak tersebut. wanita itu tertawa, begitu lembut. dia juga sesekali berbisik, menanyakan pendapat si pemuda tentang suasana sekitar yang tengah mereka lihat. suara wanita itu pun tak kalah lembutnya hingga membuat lino mencipta senyum begitu saja. lino tidak tahu itu suara siapa. yang jelas, suara itu sama sekali tidak terdengar seperti suara sana.
"eh?"
"kenapa lino?"
si pemuda refleks mengerjap beberapa kali.
bukan seperti suara sana?
"kita ngeliat itu cuma berdua, kak?" tanya lino kemudian.
"mau gimana lagi?" gadis itu tersenyum pahit. "ayah dan ibu gak mungkin mau nemenin kita."
namun, suara dari sosok perempuan yang tengah bersamanya itu bukan suara sana. di ingatannya, suara itu sama sekali tidak terdengar seperti suara sana. apa lino sempat menikmati hal yang sama dengan orang lain? apa ada perempuan lain yang sempat berada bersamanya saat menyaksikan semua hal itu?
"pacar?" celetuk lino tanpa sadar. "ah, maksudnya, apa aku pernah punya...pacar?"
"kok tiba-tiba tanya gitu?" sana sedikit tertawa. "setau kakak, sih gak ada ya~ gara-gara ayah, kamu jadi anak yang pendiem banget. kakak juga gak pernah liat kamu ngobrol sama temen kamu. jadi kakak pikir, kamu gak punya pacar."
"oh,"
"memangnya kenapa kok tiba-tiba tanya pacar?"
memang, mustahil orang sepertinya memiliki kekasih. anak yang tumbuh dengan kekerasan pasti kesulitan untuk bersosialisasi. orang sepertinya pasti sulit dalam hal berkomunikasi, apalagi berelasiㅡberhubungan, berikatan dengan lainnya. lino juga tidak tahu mengapa mulutnya semudah itu untuk menjatuhkan kata pacar kala menerka sosok wanita yang muncul dalam ingatan kecilnya.
kepala lino mulai terasa sakit di saat dia semakin mengeluarkan usaha untuk mengingat kejadian yang faktanya tidak terlalu penting. namun semakin diingat, wajah wanita itu tampak sedikit tua. hal inilah yang membuat lino terus memaksakan diri. mengabaikan pelipisnya yang terasa berdenyut, menekan sisi kanan-kiri kepalanya dengan kuat. dan usahanya mungkin cukup terbayarkan. meskipun belum tergambar jelas, tertangkap sedikit jejak kerutan kala wanita itu tersenyum.
kemungkinan perempuan itu adalah wanita berumur paruh baya. iya, wanita di ingatannya itu mungkin bukanlah sana.
lantas, siapa?
"ibu?"
"ibu? kenapa ibu?" tanya sana heran.
"apa ibu pernah nemenin kita lihat musim gugur atau apapun itu?" lugas lino dengan cepat.
sana di situ membalas dengan gelengan. "enggak, ibu gak pernah nemenin kita."
wajah sana tiba-tiba saja tampak terkejut entah karena apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
something only we know ✓
Fanfic"kamu memang tidak tahu apa-apa." ft. lee know, sana. est. 2022 ⚠️ mental illness, drug, harsh words, lowercase