Keanehan Esperanza

350 50 3
                                    

Aku hanya bisa pasrah saat Bobby---si Perpustakaan Berjalan---menyerahkan bukti jasa joki ujian milikku ke Pak Husein. Dalam hati, komat-kamit aku bersumpah serapah. Dasar mulut ember! Kenapa dia tidak bisa menjaga rahasia, sih? Pantas saja dimusuhi oleh anak satu kelas.

"Mau mengelak bagaimana lagi, Sayf?" Pak Husein menatapku tajam. Raut wajahnya dipenuhi oleh garis-garis penuaan.

Aku tak bersuara. Hanya menunduk dalam diam.

"Sayf, Bapak tahu kamu jenius. Baru tiga bulan menjadi murid pindahan, kamu sudah bisa membanggakan SMA Bakti Nusa di KSN bidang Matematika tingkat nasional. Tapi, bukan berarti dengan prestasi yang luar biasa itu Bapak bisa membebaskanmu dari hukuman." Pak Husein menghela napas lelah. "Dengan kemampuan akademik yang begitu cemerlang, kenapa harus membuka jasa joki ujian, Sayf? Apa kamu tidak tahu jika melakukan tindak kecurangan joki itu akan dikenakan 185 poin? Ini sudah lebih dari 150. Mau tidak mau, hukuman kamu ke ruang detensi."

Melalui ekor mata, aku dapat melihat Bobby tersenyum culas.
Dulunya, Bobby merupakan pemegang  rank 1 pararel di SMA Bakti Nusa yang tak terkalahkan. Ia selalu dipercayai pihak sekolah mewakili Bakti Nusa di berbagai ajang olimpiade tingkat nasional.

Akan tetapi, semenjak kehadiranku si murid baru, semua itu tidak berlaku. Saat pembagian rapot sisipan kemarin, aku berhasil mendepak posisi Bobby sebagai rank 1 pararel berturut-turut dengan mudah. Di kejuaraan KSN pula, Bobby hanya mentok di tingkat provinsi. Sementara aku sukses melaju hingga tingkat nasional bahkan mampu merebut medali perak di bidang Matematika.

Aku yakin, dia pasti sangat iri dan merasa tersaingi. Oleh sebab itu, ketika melihatku menawarkan jasa joki ujian ke beberapa anak kelas 11 MIPA, dengan cepat ia melaporkan hal tersebut ke Pak Husein hingga berakhirlah aku di ruang detensi bersama cewek yang bernama Esperanza.

Tapi omong-omong mengenai Esperanza, kenapa tangan cewek itu sedingin es, ya?

"Esperanza." Aku memanggil namanya lirih sesat setelah lamunanku buyar.

Dia hanya bergumam seraya memusatkan perhatian kepadaku.

"Kenapa tangan lo dingin?"

Alih-alih menjawab, Esperanza justru terkekeh. Aku mengerutkan kening heran. Sadar akan kebingunganku, cewek itu seketika menghentikan tawanya. Ia berdeham sesaat sebelum menjelaskan. "Tangan gue dingin karena sebelum masuk ke ruangan ini, sempet ketumpahan teh panas. Jadinya dikompres pake es batu. Dinginnya masih terasa, ya?"

Aku mengangguk seraya memerhatikannya telapak tangannya. Tampak biasa saja.

"Eh, lo dari kelas berapa?" Esperanza berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Gue dari kelas 11 MIPA 1. Lo sendiri?"

"Gue kelas 11 MIPA 5."

"Eh. Kita seangkatan, dong? Kenapa gue nggak pernah ngeliat lo?"

"Gue biasanya di lab atau perpustakaan."

Oh, pantas saja aku tidak pernah mengenali Esperanza. Walaupun baru tiga bulan berada di SMA Bakti Nusa, tetapi aku cukup hapal teman-teman seangkatan melalui raut wajahnya.

"Btw, dari tampang, kayaknya lo anak baik-baik," jeda sejenak. Aku menilai penampilannya. Baju seragam necis, atribut lengkap. Ia benar-benar cocok dijadikan model dalam banner sekolah. "Kenapa bisa ada di ruang detensi?"

Esperanza membalas pertanyaanku dengan seringai misterius. "Emang gue anak baik-baik."

•••

Ruang DetensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang