Begitu membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah perabotan dan cairan kimia laboratorium ruang lab Kimia SMA Nusa Bakti. Namun, ada yang berbeda dengan ruangan lab kali ini. Bukan seperti ruang lab yang pernah aku masuki ketika praktek minggu lalu.
Dilihat dari bentuk bangunannya ... ini seperti ruang detensi?
Astaga!
Tidak salah lagi, ini ruang detensi. Pintu kaca dengan gorden coklat susu itu seperti ruang detensi.
Namun, kenapa aku bisa ada di sini?
Tiba-tiba, aku mendengar suara pintu yang ditarik dari luar. Gawat! Tanpa pikir panjang, aku segera mencari tempat persembunyian.
Namun, terlambat. Seorang wanita paruh baya memasuki ruangan dengan membawa setumpuk buku tebal. Anehnya, orang itu tidak menyadari keberadaanku. Aku seolah tembus pandang. Tak kasat mata. Kemudian, disusul seorang gadis berambut sebahu yang tampak sangat familier.
Tunggu.
Bukankah dia Esperanza!?
"Esperanza, selamat, ya, sudah melaju ke tingkat nasional, semoga kamu bisa membawa medali lagi untuk SMA Nusa Bangsa," sahut seseorang yang kuduga guru Kimia.
"Baik, Bu Agni."
"Oh ya, kamu tunggu di sini sebentar, ya. Saya mau ke ambil buku catatan dulu."
Esperanza mengangguk patuh lalu segera beringsut menuju meja tabung reaksi di sudut kanan ruangan.
Aku memerhatikannya dari kejauhan. Jika tidak pucat begini, Esperanza terlihat jauh lebih cantik. Wajah seriusnya ketika menghitung tanpa sadar membuat senyumku mengembang. Namun, senyuman itu tak bertahan lama saat indra penciumanku menyadari semerbak bau menyengat seperti karet terbakar dari ruang sebelah.
Esperanza juga tampaknya demikian. Cewek itu seketika menghentikan aktivitasnya. Ia mengendus aroma tersebut dengan wajah panik.
Aku tidak asing dengan bau ini. Seperti bau ... listrik korslet?
Tak lama kemudian, terdengar bunyi ledakan hebat disusul kabut asap tebal yang menerobos melalui celah-celah jendela. Esperanza menjerit ketakutan seraya menutup kedua telinganya. Aku sontak berlari menghampiri cewek itu.
"APA YANG LO LAKUIN? SEGERA PERGI DARI SINI."
Sia-sia saja. Esperanza tak mampu mendengar teriakanku sama sekali. Aku berusaha meraih tangannya, bermaksud menariknya keluar, tetapi aku justru tembus pandang. Argh, sial!
Alih-alih berlari keluar, cewek itu justru tertahan di meja dengan kedua bahu yang naik turun dan wajah pucat pasi. Ia berusaha merogoh sesuatu dari dalam saku roknya. Sebuah benda kecil bewarna biru yang mirip seperti pipa. Akan tetapi, karena telapak tangannya basah, benda tersebut tergelicir jatuh.
Asap tebal membuat Esperanza tak mampu berkutik selain merunduk ketakutan di bawah meja tabung reaksi dengan kedua telapak tangan membekap wajah. Seluruh tubuhnya bergertar hebat. Bahunya naik turun seakan kehabisan oksigen. Tak lama tangis pilunya pecah.
Kobaran api dari ruang sebelah segera menyambar masuk ke ruang laboratorium. Api tersebut bereaksi dengan berbagai bahan kimia yang membuatnya kian tak terkendali. Ia melahap segala sesuatu dalam hitungan detik. Termasuk, seorang gadis ringkih yang tengah berlindung di bawah meja tabung reaksi. Hingga gadis itu meregang nyawa, ia masih setia berada di bawah meja tabung reaksi yang kini terbengkalai menjadi meja berdebu ruang detensi.
Aku menyaksikan detik-detik kematian Esperanza yang terbakar tepat di depan mataku. Esperanza telah menujukkan sepotong kisah mengenaskannya melalui alam bawah sadarku.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Detensi
Short StorySHORT STORY | TAMAT Sayf Fahreez, murid pindahan yang terkenal dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, mendapat hukuman untuk merenungi kesalahannya yang telah membuka jasa joki ujian di ruang detensi. Ruang detensi merupakan ruangan khusus ya...