Nasihat Esperanza

183 42 1
                                    

Lagi-lagi, Esperanza mengalihkan pembicaraan. Aku semakin yakin, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Akan tetapi, aku enggan memperpanjang masalah ini. Biarlah menjadi rahasia Esperanza. Aku menghargai privasinya. Jadi, aku memutuskan untuk menceritakan kembali jasa joki ujian yang sesungguhnya sangat menguntungkan kalau saja Bobby--si Perpustakaan Berjalan--tidak melaporkan tindakanku ke Pak Husein.

"Gue dapet duit banyak dari usaha joki. Jutaan rupiah. Belum lagi waktu si Victor secara nggak langsung ngebantu promosi usaha gue dengan ngasih tau temen-temen tajirnya yang nggak niat sekolah itu. Sebenernya, gue nggak cuma buka jasa joki ujian, sih."

"Terus?" Esperanza merespon singkat.

"Ada joki tugas juga. Tapi, ini lebih murah. Cuma 10 ribu satu soal. Kalau pilgan lima ribu. Selain joki tugas, gue juga punya jasa contekan. Biasanya ini buat temen-temen yang beda sesi ujian sama gue. Biayanya sama kayak biaya joki."

"Dan lo bangga?"

Aku berdecak. "Namanya juga kepepet."

Cewek berambut sebahu dengan nametag Esperanza Filosofia itu menghela napas panjang. Ia seketika bangkit dari kursi, berangsur mendekat, kemudian mendaratkan tubuh persis di hadapanku. Ia menyilangkan kaki sembari menatap kedua manik mataku dengan sorot yang tak dapat didefinisikan. Mata coklat madu Ezperanza terpancar gemilang dalam remang-remang pencahayaan ruang detensi. 

"Sayf...." Ia memanggil namaku, lirih. 

Aku mendongak. Menatapnya dalam diam. Pandangan kami saling bertaut. Mengunci satu sama lain. Aku dapat merasakan berbagai emosi yang Esperanza sampaikan walaupun hanya melalui tatapan netranya.

"Gue tahu lo butuh duit. Gue paham posisi lo lagi kepepet. Tapi, gue yakin masih ada jalan lain, enggak gini caranya." Esperanza menggigit bibir bagian bawahnya. Masih dengan tatapan yang menenangkan, ia melanjutkan ucapannya. "Anak-anak emang lebih suka sesuatu yang instan karena adanya anggapan bahwa nilai segalanya. Gue ngerti itu. Jadi, bisnis joki emang sangat menggiurkan."

"Sayf, lo masih bisa membuka jasa tutor untuk mendapatkan uang tanpa perlu melakukan joki ujian lagi. Kalau ada yang nggak suka, berarti orang itu bukan target pasar  lo. Simpel. Masih banyak, kok, murid jujur yang sangat membutuhkan jasa tutor untuk memahami materi pelajaran. Tinggal lo aja promosi di base Twitter menfess Bakti Nusa atau ke anak kelas 10.  Bukan berarti ... karena ada yang ngatain aneh-aneh, ngebuat langkah lo mundur begitu aja."

Aku bergeming. Mencerna setiap perkataan Esperanza.

"Lo dikarunia Tuhan kemampuan otak luar biasa. Nggak semua anak seberuntung itu. Lo bisa mengoptimalkan hal tersebut dengan berbagi pengetahuan kepada orang lain. Dengan berbagi pengetahuan, lo sama halnya berkontribusi membangun peradaban."

"Berbagai pengetahuan akan membuat lo menjadi seseorang yang senantiasa menebar kebaikan tak terputus. Ilmu yang lo berikan kepada orang lain, akan ia terapkan dalam kehidupan, kemudian tak menutup kemungkinan, bisa saja orang itu mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Inilah yang gue namakan kebaikan tak terputus. Infinity. Tak terbatas dalam ruang maupun waktu. 

"Gue tahu ini bacot banget, Sayf. Gue turut bersedih atas cerita keluarga lo yang berantakan ditambah dengan finansial kian memburuk. Tapi, gue harap lo ngerti. Dengan kemampuan akademik luar biasa, berapa banyak anak yang bisa lo bantu pemahamannya mengenai pelajaran sekolah? Berapa banyak doa-doa baik yang lo dapatkan setelah mengajarkan suatu pengetahuan kepada mereka sampai paham? Berapa banyak kebaikan yang akan lo tuai jika berbagi pengetahuan kepada mereka yang membutuhkan?"

Untuk sesaat aku tertegun, perkataan Esperanza layaknya tamparan tak kasat mata yang berhasil menyadarkanku.

Memang benar apa yang diucapkan cewek itu, bahwa satu kebaikan yang gue berikan kepada orang lain meskipun tak bernilai maknanya, akan jauh lebih berarti dibanding kecurangan yang menghasilkan banyak uang secara instan tetapi tidak ada keberkahan sama sekali di dalamnya.

"Thanks, ya. Buat semuanya," sahutku, tulus.

Esperanza tersenyum manis. "Anytime!"

•••

Ruang DetensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang