Perkataan penjaga perpustakaan masih terngiang di kepalaku layaknya radio rusak. Konsentrasiku buyar di tengah pelajaran Matematika yang sedang berlangsung. Fokusku seketika teralihkan. Aku mencoba tetap tenang. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Namun, sama saja. Aku menggerakkan bolpoin resah hingga membuat Arsen menoleh kebingungan.
"Kenapa lo?" tanya teman sebangkuku itu.
Aku berpikir sejenak, menceritakan kejadian kemarin atau tidak. Kemudian, aku teringat Arsen pernah menyinggung tentang gedung lama dan gedung baru di SMA Bakti Nusa. Jadi, aku memutuskan untuk menanyakan perihal gedung tersebut kepada cowok itu saja. Barangkali, ia bisa mencerahkan rasa penasaranku tentang Esperanza.
"Gedung lama di ruang detensi tuh emang kenapa?"
Mendadak, wajah Arsen sepucat kapas. Ia meneguk ludah sesaat sebelum berbisik lirih.
"Pernah terjadi kebakaran hebat."
Jantungku seketika mencelus. Mataku terbelalak lebar. Rahangku rasanya nyaris jatuh. Tetapi, akal sehatku segera bekerja.
"Serius, dong."
"Buset, Sayf, ngapain gue becanda sama hal-hal kayak gini? Lima tahun lalu gedung lama pernah terbakar, tepatnya di lab kimia yang sekarang jadi ruang detensi. Terus---"
"Bentar, Sen." Belum sempat Arsen menyelesaikan kalimatnya, aku segera bangkit dari meja. Beranjak menuju Bu Arum yang sedang menjelaskan limit fungsi di depan kelas.
"Permisi, Bu, saya izin ke kamar mandi."
Sebagai respon, guru berkacamata tersebut hanya mengangguk singkat.
Aku segera memelesat ke ruang detensi di gedung lama. Sedikit berlari karena pikiranku menjadi kacau oleh cerita Arsen, belum juga rasa penasaranku terjawab oleh penjaga perpustakaan, cerita Arsen membuat keadaan terlihat lebih rumit.
Sesampainya di ruangan yang penuh oleh debu tersebut, tanpa pikir panjang aku berangsur masuk lalu memanggil-manggil nama Esperanza.
"Esperanza, lo di mana?"
Desau angin yang membalas ucapanku.
Aku sadar, aku mungkin sudah gila.
"Esperanza, keluar, gue udah tahu semuanya."
Kuarahkan pandanganku ke sepenjuru ruangan. Nihil. Tidak ada siapapun di tempat ini. Aku makin kalut. Sekali lagi, aku menjerit. Memanggil nama Esperanza.
Tak ada balasan, tentu saja, justru tenggorokanku tercekat.
Bunyi dengung tiba-tiba merambat ke indra pendengaranku dalam hitungan detik. Suara dengungan itu bak koloni lebah yang membuat kepalaku pening. Perlahan, kesadaranku berangsur menghilang seiring dengan pandangan mataku yang mulai buram. Hitam. Gelap. Aku terkapar tak berdaya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Detensi
Short StorySHORT STORY | TAMAT Sayf Fahreez, murid pindahan yang terkenal dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, mendapat hukuman untuk merenungi kesalahannya yang telah membuka jasa joki ujian di ruang detensi. Ruang detensi merupakan ruangan khusus ya...