Kehilangan Esperanza

178 42 0
                                    

"Sayf, bangun."

Samar-samar, aku menangkap suara Pak Husein yang merayap di indra pendengaran walau kesadaranku belum seutuhnya pulih.

"Heh, bangun. Sekolah udah mau gelap."

Kali ini, berganti suara Arsen. Sohibku di kelas.

Perlahan, aku membuka kedua mata. Kemudian, berkedip selama beberapa saat untuk membiaskan sinar matahari sore yang terpantul melalui jendela kaca di pintu detensi.

"Esperanza mana?" tanyaku dengan suara serak ketika menyadari cewek berambut sebahu itu telah lenyap dari pandangan.

Pak Husein dan Arsen sontak saling tatap dengan kening mengerut dalam.

"Ngingo lo!" Arsen menoyor kepalaku lirih. Ia lantas mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Tapi, tadi beneran ada---"

"Sayf." Pak Husein dengan cepat memotong kalimatku. "Kamu harus segera pulang ke rumah. Ini udah sore. Bentar lagi azan maghrib. Kamu daritadi tertidur. Susah dibangunkan." Beliau merangkul bahuku, lalu menggiring keluar diiringi Arsen yang mengekor dari belakang.

"Nih, tas kamu. Buruan pulang sebelum orangtua panik."

Aku menerima ransel hitam tersebut dengan perasaan campur aduk. Antara mengantuk, kesal, sekaligus bingung.

Jadi, daritadi aku tertidur?

Tapi, tidak mungkin!

Esperanza terasa sangat nyata. Ia  benar-benar ada. Kami bahkan sempat berkenalan. Genggaman tangannya bukan khayalan.

Aku tidak berhalusinasi!

"Safy." Arsen tiba-tiba menepuk bahuku. "Bener kata Pak Husein, lo harus cepet-cepet pulang. Ruang detensi sama sekali nggak baik," sahut cowok berkacamata itu dengan raut wajah ketakutan.

"Emang kenapa?"

"Lo nggak tahu?"

"Nggak. Lagipula, nggak ada yang aneh. Itu hanya sepetak ruangan engap dan berdebu," kataku tak acuh.

"Itu karena lo anak baru. Nggak tahu kisah di balik ruang detensi."

"Apa? Berhantu? Cih. Gue nggak percaya yang begituan."

Arsen mencibir. Cowok itu seketika mempercepat langkahnya hingga memasuki lapangan basket---itu artinya, kami berdua telah sampai di gedung sekolah baru. Aku pun memprotes.

"Sen, tungguin." Ketika berhasil mengimbangi Arsen, aku menepuk bahunya. "Apaan, sih?"

Arsen menoleh. "Gue mau cerita. Tapi, hawanya serem kalo masih di gedung sekolah lama."

Aku mengerutkan kening.

"Lo pikir, kenapa anak anak pada ogah dapet hukuman merenungi kesalahan di ruang detensi?"

"Karena engap," tebakku, asal.

"Bukan, tapi karena suatu tragedi. Itu sebabnya sekolah ini punya dua gedung. Gedung lama dan gedung baru. Di gedung lama hanya ada ruang detensi. Satu-satunya ruangan yang paling dihindari."

"Ah, paranoid lo. Orang tadi gue disana nggak ada apa-apa."

"Tapi, Sayf...."

Tak mau mendengarkan omong kosong Arsen lagi, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

•••
a/n
Yahh ceritanya mau tamat :(

Ruang DetensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang