Dekat Esperanza

216 42 1
                                    

Setelah tawanya cukup mereda, Esperanza balik melemparkan pertanyaan kepadaku. "Lo sendiri, kenapa ada di sini, Sayf?" Ia mengamatiku dari atas hingga bawah. "Penampilan .... yeah, anak cowok pada umumnya, lah. Dibilang rapi enggak, berantakan juga enggak. Gue tebak ... lo bukan preman sekolah. Lo anak baik-baik."

Aku mendengus malas. "Gue emang anak baik-baik, kok. Tapi....." Kalimatku seketika menggantung di udara. Esperanza tampak tidak sabar menantikan kelanjutannya. Jadi, kuputuskan menceritakan semua hal buruk yang menimpa hidupku kepada cewek tersebut.

Meskipun kami baru berkenalan beberapa menit, entah kenapa aku merasa nyaman bercerita dengan Esperanza.

"Tapi, semua udah enggak berlaku sejak orangtua gue bercerai. Bokap ngusir gue sama nyokap dari rumahnya dan memilih hidup bersama selingkuhannya yang gatel." Aku menghela napas berat. Lalu, memaksakan seulas senyum palsu.

"Ekonomi keluarga jadi berantakan. Mama pindahin gue dari sekolah internasional ke sekolah swasta biasa. Rumah kami yang dulunya mewah sekarang hanya sepetak tanah kontrakan. Cicilan, tagihan, orang renternir, aargh! Gue butuh duit."

"Mana ada kerjaan yang mau nerima anak usia 15 tahun---" Belum selesai aku berbicara, Esperanza dengan cepat menyela heboh.

"15 tahun!? Lo nggak salah? Kelas 2 SMA kan normalnya 17 tahun!"

Berdecih, aku pun mencebikkan bibir masam. "Gue SMP aksel. Jadi lulus sekolah umur 14 tahun."

Esperanza sontak menatapku dengan binar kekaguman yang amat kentara. Aku memutar bola mata malas lalu melanjutkan ceritaku yang sempat terjeda.

"Karena nggak ada yang mau nerima kerja, akhirnya gue mencoba buka tutor privat pelajaran Matematika, Fisika, Kimia yang sering jadi momok murid-murid di sekolah. Biayanya persesi 5 ribu. Satu sesi 60 menit. Tapi, nyatanya, nggak semudah itu. Banyak yang protes. Mereka bilang 'yaelah, Sayf, sama temen sendiri masa bayar?', 'lo niat bagi-bagi ilmu nggak, sih? Pelit amat'. Dari situ, usaha tutor gue sepi. Akhirnya, ada seorang anak yang menyarankan buka jasa joki ujian aja."

"JASA JOKI UJIAN!?" Esperanza terperanjat.

"Sssttt, lo kalo ngomong bisa pelan-pelan, nggak?" Aku meliriknya malas.

Esperanza hanya nyengir kuda. "Maaf, gue syok. Hehe. Kenapa harus buka jasa joki, sih, Sayf?"

Menghela napas lelah, aku bergumam. "Namanya juga kepepet. Gue butuh duit."

Ezperanza memerhatikanku dengan serius. Cewek itu hanya bergeming. Sorot matanya tak terbaca. Aku mendadak salah tingkah.

"Eh. Kenapa lo?"

"Lo lucu, deh."

•••

Ruang DetensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang