Anugerah Yang Tak Diharapkan

2.3K 84 4
                                    


Rasanya tidak cukup dengan pelukan mesra dan bergelayut manja di lengan suaminya. Elea masih harus melihat percakapan keduanya yang sangat akrab.

“Ham, kamu inget nggak. Dulu kita sering lewat depan restoran ini, dan berharap bisa makan di sini suatu saat nanti. Nggak nyangka banget, ‘kan kalau sekarang kita bisa duduk berdua dan menikmati makanan di restotan ini.” Dada Elea semakin sesak mendengar ucapannya.

Berdua? Lalu ia anggap Elea sebagai apa. Apakah Elea bukan manusia?

“Iya, bener banget Rin. Aku juga nggak nyangka kita bisa ketemu lagi dan makan bareng di sini.”

“Iya dong, Ham. Ini salah satu mimpi besar kita loh.”

“Iya, akhirnya terwujud juga.’

“Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Duh, sampai lupa aku nanyain kabar kamu.”

“Baik. Kamu pasti juga baik, ‘kan?”

“Iya, aku baik-baik saja. Apalagi sekarang ada kamu di depan aku. Apa yang bisa ngebuat aku enggak baik kalau ada kamu di dekat aku?”

“Uhuk!” Elea tersedak. Perkataan Arinda benar-benar sudah kelewatan. Ia menatap suaminya nyalang, persis seperti macan yang siap menerkam mangsanya.

Sementara wanita itu hanya menatapnya heran. Kemudian kembali mngucapkan sesuatu pada sahabatnya, Abraham.

“Oh iya, Ham. Wanita ini siapa, ya?” Arinda menatap Abraham heran.

“Oh, emm. Dia istriku,” jawab Abraham gugup.

“Ya, aku adalah istrinya. Jadi jaga sikapmu itu, bergelayut manja di lengan suami orang. Berbincang-bincang seolah kamu adalah istrinya. Memalukan!” Elea mencibir. Ia sudah kelewat kesal dengan sikap Arinda yang sudah dengan terang-terangan menggoda suaminya.

“Kenapa menatapku seperti itu?” tambahnya menyadari ada yang aneh dengan tatapan Arinda pada dirinya.

“Ehm, Ham. Bukannya istri kamu itu Aina, ya. Apa Aina operasi plastik? Sampai wajahnya berubah seperti ini? Sayang banget, padahal wajahnya yang dulu jauh lebih cantik loh ....”

‘What? Secara tidak langsung ia mengatakan kalau wajah Aina lebih cantik dariku. Wanita ini keterlaluan sekali. Aku tidak akan membiarkannya bekerja di kantor Mas Abraham. Bisa gila aku jika harus satu kantor dengannya. Bisa-bisa dia terus menggoda Mas Abraham seperti saat ini,’ batinnya sambil menatap suaminya kesal.

Abraham yang melihat wajah Elea merah padam langsung salah tingkah. “Ehm, Arinda ... kenalkan dia adalah Elea, istri keduaku,” ucap Abraham akhirnya.

“Oh. Aku Arinda, sahabat baik Abraham.” Elea hanya mentap kosong uluran tangan wanita yang mengaku sebagai sahabat suaminya itu. Demi menjaga imagenya di depan Abraham, akhirnya ia membalas uluran tangan itu. Meskipun tatapannya tetap tidak berubah, ia terus melihat wanita itu dengan tatapan dingin dan tidak suka.

“Elea,” jawabnya ketus.

***

Dafa Reifasyah. Laki-laki itu berlari riang saat memasuki gerbang rumah Aina. Hari ini ia baru saja sampai ke kota ini dan langsung menuju ke rumah sepupunya itu.

Ia tiba di depan rumah Aina saat malam hari. Ia tidak bisa menunggu untuk mengunjungi rumah sepupunya. Bayangan wajah kaget Aina dan suaminya begitu ia nantikan. Sayangnya apa yang ia harapkan seolah buyar saat melihat mobil Abraham meninggalkan runah Aina dengan kecepatan tinggi. Sekilas ia bisa melihat seorang wanita duduk di samping Abraham. Meski hanya sekilas ia tahu bahwa wanita itu bukan sepupunya, Aina.

Dafa mulai cemas, ia merasa ada yang tidak beres dengan rumah tangga Aina. Namun ia berusaha berpikir positif. Akan tetapi ia dikejutkan dengan suara tangisan di balik pintu. Ia sangat hapal bahwa itu adalah suara Aina.

Tangannya mengepal, amarah menyelimuti hati dan pikirannya. Namun demi Aina, ia berpura-pura tersenyum. Ia tidak ingin menambah beban di hati Aina. Sampai akhirnya ia harus melihat sepupunya itu pingsan.

“Suster, tolong sepupu saya.” Dafa ketakutan, ia berlari mengikuti brankar yang didorong masuk ke dalam sebuah ruangan.

“Maaf, Pak. Bapak dilarang masuk ke dalam, sebaiknya bapak tunggu di sini saja ya. Agar dokter bisa lebih konsentrasi menangani pasien,” kata seorang suster yang kemudian masuk ke dalam ruangan.

Mau tidak mau Dafa hanya bisa menunggu di depan. Pikirannya tidak bisa tenang, hatinya gusar. Sejak tadi pria itu hanya mondar-mandir di depan pintu. Berharap dokter keluar dengan membawa kabar baik dan mengatakan bahwa sepupunya itu baik-baik saja.

“Ya Tuhan ....”

Cklek.

Pintu terbuka. Seorang dokter paruh baya keluar dari ruangan Aina dirawat. Setelahnya menyusul seorang suster yang juga keluar dari ruangan itu.

“Dokter, bagaimana? Apakah dia baik-baik saja?” Dafa tidak bisa menahan kekhawatirannya. Takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada sepupu kesayangannya itu.

“Bapak tenang saja, istri Bapak baik-baik saja. Ia sedang mengandung. Selamat, sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ayah.” Dafa melongo. Terkejut sekaligus lega.

Hamil? Aina pasti akan sangat bahagia mendengar berita ini. begitu pikirnya.

Setelah Dokter dan Suster itu berlalu dan mengijinkannya masuk, ia tidak mau menunggu waktu terlalu lama lagi. Pria itu masuk dengan senyum bahagia di wajahnya. Jika Aina hamil, sebentar lagi ia akan menjadi seorang paman.

“Halo Aina. Kamu belum sadar ternyata. Saat kamu sadar nanti, kamu pasti akan sangat bahagia mendengar berita ini. Kamu akan jadi seorang Ibu, dan aku akan menjadi seorang paman. Ini lucu sekali.” Dafa tertawa. Pria itu lupa jika kehidupan rumah tangga sepupunya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Waktu berjalan dengan begitu cepat. Jika kamu hamil dan memiliki anak, secara tidak langsung aku ini sudah tua? Oh, ya Tuhan ....” Pria itu menatap wajah Aina hampa. Ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, beberapa menit lalu ia sangat bahagia. Kini ia muram seolah ada duka yang begitu besar yang sedang ia pikul sendirian.

“Dafa, aku di mana?” Wajah yang tadinya muram kini terlihat sumringah saat mendengar suara Aina yang ternyata sudah sadar. Ia enggan terlihat sedih di hadapan wanita itu.

“Kamu sudah sadar?” tanyanya sambil tersenyum.

“Ehmm. Aku di mana Daf?”

“Kamu di rumah sakit.” Akhirnya ia menjawab.

“Rumah sakit? Memangnya aku kenapa?”

“Kamu akan bahagia mendengar ini Aina. Dokter bilang, kamu hamil!”

“Apa!” Aina terkejut. Wajahnya berubah semakin sendu, ia tampak kacau, bulir bening meluncur deras di wajahnya.

‘Aina?’

***

Di KBM App sudah tamat yaa
Judul : Nafkah Batin Sewaan
Penulis : ArzaDerya

Nafkah Batin SewaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang