Gugatan Cerai

3.4K 102 4
                                    


[Gugatan Cerai]


Aina menatap kosong gedung pengadilan di hadapannya. Rasanya masih tidak percaya ia berdiri di sini mengantar surat pengajuan. Ia tidak menyangka, hari ini ia akan menggugat seorang pria yang dulunya ia cintai dengan sepenuh hati.

Seorang pria yang dengan gagah menghadap ayahnya, pria yang mengucapkan janji suci bersamanya. Ia yang berjanji akan terus bersama hingga akhir hayat, ia bahkan berkata bahwa maut pun tidak akan sanggup memisahkan mereka berdua.

Akhirnya Tuhan mematahkan perkataannya. Sebelum maut datang menjemput, hubungan keduanya tidak lagi berarti. Kandas dan tercerai-berai.

Aina mengusap pipinya yang basah, lalu dengan langkah mantap ia melangkah masuk untuk megajukan gugatan cerai atas nama dirinya untuk Abraham.

‘Tuhan, sesungguhnya aku sangat tahu bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat engkau benci. Tapi sungguh aku tidak akan sanggup hidup bersama seorang pria yang tega memberikanku pada pria lain. Dia telah menipuku. Dia tidak hanya lalai dengan tanggung jawabnya, tetapi ia juga sudah berlaku dzalim padaku. Maafkan aku Tuhan, jika ternyata keputusan ini tidak engkau senangi.’

***

“Ibu, apakah Ibu bisa menerima istri baru Mas Abraham nantinya? Aku tahu Ibu sangat mencintai Mbak Aina. Kenyataan ini pasti juga sangat menyakiti hati Ibu, kan?” Inayah mengenggam tangan Ibunya. Meskipun ia anak angkat yang diambil dari panti asuhan karena sang Ibu sangat menginginkan anak perempuan, Inayah sangat mencintai Ibunya pun sebaliknya.

“Ibu tidak tahu, Sayang. Ibu sangat kecewa dengan Mas-mu itu. Kenapa ia bisa menyakiti hati wanita sebaik Aina. Kamu tahu sendiri, ‘kan kalau Aina itu istri yang sangat pengertian, penyayang, bahkan sangat sabar menghadapi Abraham. Tapi kenapa Abraham justru memilih untuk berhubungan dengan wanita itu. Kasihan sekali Aina. Dia orang baik, tak layak mendapatkan hal seperti ini.”

“Itu artinya Ibu benar-benar setuju kalau Mbak Aina menggugat cerai Mas Abraham.”

“Iya, Sayang. Aina pantas untuk bahagia. Biarkan nantin ya Abraham sendiri yang menyesal karena kehilangan permata seperti Aina.” Marni memeluk anak gadisnya.

“Nak, Ibu berharap kelak saat kamu menikah, kamu dapatkan laki-laki yang baik. Ibu tidak rela jika sampai kamu mendapatkan perlakuan seperti yang Aina rasakan. Kita perempuan, kita tahu bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu.” Lembut Marni mengusap pelan rambut Inayah. Ia sangat takut jika ada pria yang menyakiti anak gadis itu nantinya.

Saat Marni sedang sibuk berperang dengan hatinya sebuah mobil parkir di halaman rumah. Dari kaca jendela yang terbuka ia bisa melihat siapa yang datang.

Cepat ia melepas Inayah dari pelukan. Ia bangkit dengan dada naik-turun. Amarahnya memuncak melihat siapa yang datang.

“Assalamu’alaikum ....”

“Wa’alaikumsalam.” Salam ia jawab dengan kesal.

“Ibu.” Abraham mengulurkan tangannya. Marni bergeming, ia enggan menyambut uluran tangan anaknya.

“Ada apa kamu ke sini, untuk apa juga kamu membawa wanita sundal ini kemari. Ibu tidak suka melihat ia menginjakkan kakinya di rumah ini.” Hatinya kacau, ia marah. Tidak sanggup ia membendung dan membiarkan semuanya meluap begitu saja.

“Ibu, dia istriku. Tolong bersikap lebih baik, perlakukan dia sama seperti Ibu memperlakukan Aina selama ini. Sama seperti Aina, aku juga mencintai Elea. Elea juga istriku, Bu!” Putranya berteriak. Ia tidak suka.

Nafkah Batin SewaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang