[ 06. pengakuan ]

743 155 26
                                    

"Dia duluan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dia duluan ... menghina Jeni Eonnie," lirihnya.

"Iya. Kalau Rosie berkenan, maukah Rosie ceritakan dari awal, hm?" pinta Jeni lembut.

"Dia mendatangi Rosie, lalu mulai menanyakan hal-hal tidak penting. Seperti kenapa Rosie tidak membawa makanan, serta kenapa orang tua Rosie tidak pernah antar-jemput Rosie ke sekolah," ceritanya. Jeni mendengar, frasa demi frasa. Mencoba sembari membayangkan kronologisnya di kepala.

"Kemudian ia mulai mengolok-olok Rosie, mengejek Rosie miskin karena seragam Rosie lusuh. Ia bilang, perawat Rosie tidak menjaga Rosie dengan baik. Ia terus membawa-bawa Eonnie dan bilang bahwa Eonnie hanyalah seorang babu yang tidak becus karena Rosie selalu datang ke sekolah berantakan," lanjutnya.

Jeni mendesis tipis. Ternyata, anak dan ibunya sama saja. Dan ... maaf saja, ia tidak heran.

"Dan di situlah, Rosie marah lalu mendorongnya keras-keras. Rosie tidak niat begitu, tapi sikunya sepertinya terantuk kaki meja terlalu keras," pungkasnya menutup cerita. Menatap kakaknya takut-takut. Kalau-kalau ia akan marah.

Tapi nyatanya, Jeni hanya memeluknya. Lantas mengusap punggungnya. "Terima kasih karena telah berani, Rosie, tapi itu bukan tindakan yang bijaksana," bisiknya lembut.

"Eonnie tahu Rosie kesal. Siapa lagipula yang tidak marah jika diperlakukan seperti itu, kan?" Jeni perlahan memberi pengertian, "Tapi alangkah lebih baik, lain kali, Rosie mengabaikannya saja. Kalau perlu, Rosie bisa pelan-pelan menegurnya, tapi juga dengan bahasa yang lembut,"

"Bagaimana kalau lengan Eunbi patah dan tidak bisa diobati lagi? Ia akan merasakan tangannya sangaatt sakit. Eunbi tidak akan bisa menulis, belajar, bermain badminton, dan bersekolah lagi. Ia tidak akan bisa menggunakan tangannya lagi. Bukankah itu akan sangat buruk?" Jeni masih memberi pengertian, pelan-demi-pelan. Lantas mencipta raut cemas di wajah Rosie.

"Kasihan Eunbi ...," lirih Rosie, memajukan bibirnya.

Jeni yang mendengarnya, lalu tersenyum tipis. Nanar matanya. "Tidak, sebenarnya kamu yang kasihan, Rosie," gumamnya dalam relung. Namun adiknya ini adalah seseorang yang berhati luas, sangat luas, sampai-sampai tidak ada yang bisa mengungkapkan kenapa malaikat kecil ini harus menerimanya; siksa buana.

Rosie tidak pantas mendengar kata-kata itu. Ia sudah merasakan hal-hal berat semasa hidupnya, sejak ia semungil harapan. Ia segenting kebahagiaan. Rosie harus tumbuh dengan taman-taman harsa mengelilinginya. Harus sekali. Harusnya.

"Iya, kasihan, kan?" Jeni mengusap lengan Rosie, "Lain kali, Rosie pasti bisa menahan emosi Rosie, lalu melakukan hal yang jauh lebih keren. Ya, kan?"

"Tapi dia menghina Eonnie ...," bantah Rosie pelan, "Rosie tidak apa-apa kalau ia mengolok-olok Rosie dengan semua sebutan buruk. Miskinlah, jeleklah, yatim-piatulah. Tidak apa-apa, Rosie masih bisa tahan,"

bertaut. [tercekal sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang