Dari sejak Rosie terbangun sampai ia bahkan tertidur lagi, Jeni bisu.
Semuanya menggoyahnya tak mau antre.
Hari ini adalah kali pertama dalam hidupnya di mana ia menginap di rumah sakit. Pulang dari kerja tadi, ia langsung mengemas semua pakaian miliknya dan Rosie, kemudian membawa tas besar-besar itu ke rumah sakit naik sepeda. Yang kebetulan saat sampainya di sana, Rosie sudah bangun dan dijaga oleh dokter.
Dengan lemas-lemas, Rosie berusaha bertanya perihal keadaan tubuhnya. Yang Jeni tak bisa jawab dengan apa-apa selain hanya anggukan, gelengan, dan helaan napasㅡsesekali gumaman singkat. Pikirannya ke mana-mana, dan biar kali ini saja, ia menerima kalau ia tak bisa menatanya menjadi palsu.
Tak lupa ia masih pakai baju seragam. Seluruh jenis pakaian baru yang dibelikan Jisu kini menumpuk tak berguna di lemari Jisu.
Sekarang apa?
Selama ini, ia selalu berusaha menata tahu. Saat dulu-dulu Rosie bertanya tentang orang tuanya, Jeni selalu tahu harus jawab apa. Tiap Rosie malas mandi atau makan, Jeni selalu berhasil membujuknya. Saat ia harus bekerja sampai malam untuk setiap hari, ia mengerti bagaimana harus memberi pengertian pada Rosie. Saat Rosie mengalami masalah di sekolahnya sampai ikut campur tangan wali, Jeni masih mampu merencanakan apa yang akan ia lakukan untuk menyelesaikannya.
Sekarang, Jeni benar-benar tak terbesit satu pun saran dari otak mungilnya, untuk apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ia merasa sangat putus asa. Kalau ia jujur, ia sebenarnya merasa selama ini pun ia sebenarnya tidak tahu apa yang ia lakukan. Semuanya berantakan dan ia hanya pura-pura ia sanggup. Ia tak ketakutan berbohong atau pun terpikir untuk meminta tolong, karena semua kakak di dunia pasti sama seperti dia.
Para kakak, di mana pun mereka berada di sisi dunia dan apa pun bagian mengejutkan dari kehidupan yang sedang mereka perangi, sesungguhnya mereka hanya manusia peragu yang pura-pura tahu. Sesungguhnya mereka butuh sebanyak-banyaknya bantu tapi tak mau malu. Sesungguhnya mereka juga anak-anak lugu, mereka juga manusia-manusia penuh tak tahu.
Mereka ingin sekali kembali ke masa di mana orang tua mereka masih menjaga. Tak membiarkan mereka mengetahui hal-hal seperti uang, pajak, kakak-adik, sosial-politik, tanggungjawab seorang manusia, dari mana bayi berasal, menstruasi, dan semua kejutan-kejutan seram dari kedewasaan yang dilindungi agar tetap menjadi kejutan nanti.
Lalu bekukan waktu. Jangan sampai orang tua-orang tua itu tahu kapan bisa membebaskan sulung-sulung mereka pada hari-hari di mana segala hal tentang dewasa yang horor itu siap mendekap. Jangan antar mereka ke kota berbeda, jangan suruh mereka pindah kamar, jangan sampai mereka bekerja. Jangan sampai mereka dewasa. Mereka tak pernah mau juga. Mereka hanya mau kebebasan semu itu juga. Mereka hanya mau tidur lebih lambat atau makan es krim sepuas mereka juga. Sulung-sulung itu masih mau jadi anak kecil.
Tapi mereka bertumbuh. Bukan orang tua yang mereka lawan, tapi waktu dan kerja semesta. Mereka tumbuh belajar, tapi tiba-tiba mereka tak tahu apa-apa. Hilang semua. Hanya ada kamar dengan cat lawas familier dan boneka-boneka favorit mereka di kepala. Tiba-tiba kepingin makan dipaksa disuapi dan tidur di bawah pukul delapan malam. Tiba-tiba mereka merindukan hal-hal jenuh dari masa kecil mereka dulu. Tiba-tiba mereka jatuh cinta pada hal-hal yang dulu membuat mereka muak. Mereka hanya ingin kecil kembali lalu tak pernah tumbuh dewasa. Karena dewasa hanya berarti berpura-pura tahu. Menjadi sulung yang dewasa berarti berhenti bertanggungjawab akan kehidupan dan kebahagiaan dirinya, tapi kesejahteraan dan kenyamanan orang-orang yang disayang mereka.
Dan sesungguhnya hal-hal itu bukan kewajiban perlu. Sesungguhnya itu bukan beban yang perlu dibawa-bawa di punggung tiap-tiap waktu. Tapi Jeni tak tahu itu. Semua orang bilang ia bertanggungjawab untuk kebahagiaan adiknya, semua orang lupa dia seorang manusia. Ia lupa juga. Ia tak pernah mengerti bagaimana harus memperlakukan diri seorang kakak; dirinya.
Yang ia pegang hanya ia harus pura-pura tahu. Untuk sekarang ini, Jeni tak tahu lagi harus pura-pura tahu bagaimana. Jeni benar-benar tak tahu harus bagaimana. Jeni benar-benar butuh bantuan. Ia janji untuk kali ini pun ia akan ikuti saran bahkan dari orang yang sama-sama tak tahu, asal ia melakukan sesuatu. Ia harus tampak pura-pura tahu. Ia adalah kakak yang selalu bisa siapa pun andalkan. Orang-orang dewasa yang berserah dalam menaungi mereka berdua, mereka bilang mereka bisa mengandalkan Jeni, makanya mereka memutus kontak setelah menghadiahkan keduanya rumah hanya untuk mereka berdua. Mereka yang menyayangi Rosie, mereka bilang mereka bisa mengandalkan Jeni. Rosie bilang ia bisa mengandalkan Jeni.
Jeni berantakan. Dan Jeni mulai menangis. Ia juga bingung mengapa seorang kakak seperti dia cengeng betul belakangan ini.
Jeni benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis.
;
Dengan mata menyendu, ia dari tadi menatapi sekantung besar baju-baju yang baru dibelikannya untung Jeni dan Rosie. Memang benar, ia melakukan itu untuk meminta maaf. Seolah untuk membuktikan kalau Jisu masih ingin menjadi teman Jeni.
Awalnya ia mengecap Jeni egois dan begitu keras, sebab jumlah uang yang dihamburkannya memang tidak sedikit. Ia bahkan kira Jeni jual mahal dengan diam sepanjang hari. Tapi setelah ia kulik kembali, dikatai bajingan, dan mendapati Jeni menangis dengan marah; ia mengerti ia tak benar-benar melukai sebuah hati.
Sekarang, Jisu menghabiskan malamnya menangis. Sama seperti Jeni di seberang sana. Ia menjambak-jambak rambutnya. Semuanya tak berjalan baik sama sekali, dan ia satu-satunya yang patut disalahkan sebagai sang pengacau.
Jeni adalah korban dari takutnya.
Sebab ia menghabiskan masa berharap ia adalah bagian dari anak-anak keren dengan orang tua berada. Ia melakukan semuanya demi bisa terlihat, oleh orang-orang. Tapi saat ia berada di sana, ia kehilangan sesuatu yang lebih penting.
Ia kehilangan Jeni.
Bagaimana Jeni meminta maaf terus menggaung di otaknya. Kira-kira apa yang bersarang di kepala Jeni? Jelas ia kira ia selama ini tak cukup baik menjadi seorang teman. Ia kira ia kurang dalam semuanya sampai Jisu biasa saja kalau harus menyakitinya. Ia kira Jisu ingin berhenti menjadi temannya. Nyatanya memang Jisu yang tak pernah berterima kasih.
Jisu tak menyerah. Ia bangkit dan menyalakan lampu kamarnya. Ia membuka lacinya, mengambil gelang emas serta koleksi-koleksi anting masa kecilnya. Lalu tabungannya yang sudah banyak, yang awalnya ia simpan-simpan demi biaya kuliah dan membuka bisnis sambilan di samping berkuliah. Walau orang tuanya bilang Jisu tak perlu khawatir, ia memaksa diri karena ia ingin mempersembahkan waktu beristirahat untuk orang tuanya yang pasti sudah tua renta di masa ia kuliah nanti.
Semua itu ia korbankan tanpa pikir panjang. Di kepalanya hanya ada nama Jeni, yang lebih butuh semua bantuan ini sekarang. Kali ini, ia tak didasari rasa butuh meminta maaf. Bukan didasari rasa ingin menjadi seorang teman. Ia tahu Jeni butuh bantuan. Anggaplah ia tak membantu Jeni untuk kali ini, tapi Rosie.
tdk ada banner krn im currently on my laptop </3 aku ngerasa off bgt sm bertaut jujur, aplg kp lg seru-serunya hehehe plus bertaut ga serame sebelah. aku pengen buru2 nyelesaiin tp di sisi lain aku mager bgt hshhshshs, i feell like aku nulis krn kepaksa tekanan diri sendiri dan ga enjoy sama sekali, aku nulis karena ngerasa butuh nyelesaiin ini, bukan karena aku emg pengen nulis gitu sksksk ;( sptnya aku akn rest dr bertaut dan fokus ke kp, biar at least penulisanku ga tumpul, semoga mood aku cpt balik deh yaaa, and pls kalian ramein bertaut so i have the reason to stay ??? wkwkwkkw bcs kalo bukan karena aku aknowledging kalo masih ada yg nungguin bertaut, ak sdh unpub :)))))
KAMU SEDANG MEMBACA
bertaut. [tercekal sementara]
Ficción General❝Tentang lukisan cerita nelangsa yang namun terlalu cantik untuk ditangisi.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-