Ia mengayuh sepedanya pulang. Sudah lewat pukul sepuluh. Waktu para pekerja ditambah karena menjelang natal, minimarket mereka lumayan sibuk untuk itu.
Ah, sungguh hari yang melelahkan. Jeni sudah membayangkan kasurnya yang nyaman, kalau saja ia tak ingat punya janji bersama Rosie. Mereka akan membuat kukis untuk hadiah ulang tahun Jisu besok, karena mereka tak punya apa-apa yang berarti untuk dihadiahkan selain hal-hal buatan tangan mereka sendiri. Lagipula buat Jeni, itu lebih berarti.
Rosie hampir tertidur saat suara sepeda kakaknya mengusik telinga. Segera ia bangkit, menyusul sang kakak dan mendekapnya. Senyum hangat malaikat kecil itu membuat lelah Jeni seharian jadi sirna begitu saja. Tapi tetap saja, ia mau rebahan plis.
"Ayo buat kue!" seru bocah itu antusias.
"Iyaa, Eonnie ganti baju dulu," ujarnya. Rosie menunggu, entah apa yang bocah itu sibuk lakukan sementara ia menukar pakaiannya.
"Aw ...," ringisnya kecil. Menatap nanar pada bekas luka di panggulnya tempo lalu. Sudah hampir kering, tapi tadi tak sengaja terbentur ujung meja danㅡuh, Jeni tak bisa mendeskripsikan ngilunya. Dan, ya, lukanya jadi terbuka lagi.
"Tidak apa-apa, nanti juga sembuh," lirihnya. Kemudian ia beralih pada luka di sikunya, yang kemarin ia dapatkan terantuk pinggiran kolam renang. Lalu lututnya, dari jatuh di lantai kamar mandi perempuan di sekolahnya waktu itu.
Jeni menghela. Jeni selalu bawa pulang luka, atau minimal wajah yang lelah. Tiap ia melihat ke kaca, rasanya refleksi yang terperangkap di sana begitu melas. Penuh luka terbuka, penuh siksa. Ia tidak cantik lagi, ia tidak bahagia lagi.
Tok! Tok!
"Eonnie masih lama?" suara Rosie dari balik pintu, menariknya kembali dari lamunan singkatnya.
Ia membuka pintu setelah rapi berbaju. Rosie tak boleh liat satu pun luka-luka itu. Toh, bukan hal yang besar.
"Kita buat fortune cookie, ya, Rosie. Coba Rosie ambil pena di tas Eonnieㅡtunggu, tak perlu! R-Rosie ambil saja kertas warna-warni di rak buku," titahnya. Hampir saja Rosie mengintip tas Jeni yangㅡada banyak sekali sampah tisu dengan noda darah dari panggulnya yang luka lagi itu. Sungguh, hampir saja. Untung Rosie tak banyak tanya.
Mereka memulai masak-masak itu. Jeni pertama mengaduk putih telur, mentega cair, susu cair, gula, tepung terigu, dan tepung maizena. Sementara Rosie mulai menulis beberapa kalimat manis di kertas warna-warni tersebut.
Setelahnya, Jeni mengambil satu sendok makan dari adonan tersebut, lalu meratakannya sampai tipis di wadah datar lain. Lalu memanggangnya untuk sepuluh menit. Sementara menunggu, ia akan membantu Rosie.
"Wah, cepet juga. Eonnie datang untuk membantu, dan tampaknya Rosie tidak terlalu memerlukannya," kekehnya ramah, "Tapiㅡwah, banyak sekali yang Rosie sudah buat. Takutnya adonan kita tidak akan sebanyak itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
bertaut. [tercekal sementara]
Ficción General❝Tentang lukisan cerita nelangsa yang namun terlalu cantik untuk ditangisi.❞ 2O21 ; ©STARAAAAA-