9. Akhir Pekan

233 29 3
                                    

Selingkuh Bab 9. Akhir Pekan

Anaya tergesa pulang begitu acara kunjungan ke perkebunan jeruk usai. Tidak menolak saat Gading menawarkan tumpangan guna menghemat waktu karena kebetulan jalan pulang mereka satu arah.

“Terima kasih, sudah memberikan tumpangan, Pak. Maaf jadi merepotkan,” ucap Anaya sungkan begitu turun dari mobil mewah Gading. 

Gading mengulas senyum dan menyahuti, “Sama sekali tidak merepotkan, Bu Ana. Sebetulnya saya punya hal yang ingin dibicarakan secara pribadi dengan Anda. Mengenai Aretha. Tapi sebaiknya lain kali saja, sepertinya Anda sedang terburu-buru.”

“Maaf sekali, Pak. Saya memang sedang ada hal mendesak.” Anaya mengusap tengkuk. Merasa tak enak hati. 

“Tidak apa-apa, Bu. Masih ada lain waktu. Saya permisi.” 

“Silakan, Pak Gading. Hati-hati di jalan.” Anaya menunggu sampai mobil Gading menghilang dari pandangan sebagai adab kesopanan. 

Bukan tanpa alasan Anaya ingin segera sampai di rumah. Ia ingin memasak makanan kesukaan Danu serta mempersiapkan diri demi menyenangkan suaminya. Hari ini Danu mengatakan hanya bekerja setengah hari. Itu artinya Danu akan berada di rumah lebih awal dari biasanya. 

Anaya tidak mengetahui. Di kantor tempat Danu bekerja, sejak pagi tidak ada karyawan yang masuk lembur di hari Sabtu ini. Kantor sepi tak ada kegiatan, hanya ada para security yang berjaga berlalu lalang. 

Danu sedang berada di sebuah developer perumahan. Asyik memanjakan wanita lain yang lebih cocok disebut sebagai pemuas. Sedang menemani melengkapi dokumen akad kredit. Sesuai janjinya, Danu setuju mengambil satu unit rumah di kawasan yang lebih bagus dibandingkan dengan rumahnya dengan Anaya. Memenuhi permintaan si wanita yang terus merangkul mesra lengannya, agar selalu bersedia membuka kaki untuknya kapan pun dia ingin. 

Sebagai suami, dia melupakan kewajiban utama pada Anaya. Lalai memenuhi nafkah lahir maupun batin. Lebih tergiur bujuk rayu iblis untuk terus menjadi suami yang dzolim. Bagian tengah tubuhnya selalu menggebu ingin menyambangi tempat yang lain, tetapi juga tidak ingin kehilangan yang satunya. 

Begitu sampai. Anaya melihat situasi rumahnya masih sepi. Ia sempat mengira Danu pasti tiba lebih dulu. Namun, ternyata tidak. Rumah masih lengang dan mobil Danu tidak kelihatan. Mungkinkah Danu masih di perjalanan? 

Mendadak Anaya mendesah lega. Itu berarti ia punya banyak waktu mempersiapkan diri sebelum Danu pulang.

Cepat-cepat Anaya memasak sup kacang merah dengan pelengkap ikan tongkol goreng, tak ketinggalan kerupuk udang favorit Danu. Mengolah makanan penuh cinta dengan hati berbunga, membubuhkan kasih sayang dalam setiap adukan spatulanya. 

“Kayaknya aku harus luluran. Biar makin sempurna persiapannya,” ujarnya sambil cekikikan sendiri setelah selesai mencuci peralatan masak. 

Disiapkannya lulur mandi tradisional beraroma rempah nan harum menggoda. Alih-alih memakai lulur mandi modern, Anaya lebih suka racikan lulur tempo dulu. Selain melestarikan tradisi, lulur tradisional memiliki efek lebih ramah pada kulit serta lingkungan karena hanya dibuat menggunakan bahan-bahan alami. 

Anaya meratakan lulur yang sudah dicampur air mawar ke seluruh tubuh sambil bersenandung merdu. Menggosok perlahan hingga butirannya berjatuhan kemudian dibilas air hangat. Ia juga meratakan gel waxing di bagian-bagian tubuh yang lebih baik dihilangkan bulunya. Memoles daksanya supaya semakin elok kala dipandang sang suami juga sedap aromanya kala dihidu. Rambut panjangnya tak lupa dicuci juga. Setelahnya meratakan krim masker rambut di saat rambut masih basah. Senyumnya lebar ceria. Sudah tak sabar ingin mempersembahkan yang terbaik untuk suami yang dicinta. 

Semilir angin meringis ironi, menyaksikan Anaya yang sibuk memantaskan diri demi menyambut suaminya. Sementara di luar sana, Danu tengah mengisap rakus sari madu sahabatnya sendiri. Berbagi desah, tak peduli pada Anaya yang sedang menantinya pulang. 

“Mas Danu mana ya? Katanya kerjanya cuma setengah hari. Apa ada perubahan jadwal? Mana ponselnya masih enggak aktif lagi," keluhnya lesu. 

Anaya mondar-mandir di teras. Hari sudah menjelang senja dan Danu masih belum terlihat batang hidungnya. Ia tidak pernah menaruh curiga sedikit pun dengan tidak aktifnya ponsel Danu. Suaminya itu sudah menjelaskan alasan kenapa memilih mematikan ponsel di waktu jam kerja, bertujuan supaya tidak mengganggu pekerjaan.

Lelah menunggu, Anaya memutuskan berbaring di kamar. Berusaha meredam kecewa yang menyeruak ke permukaan. 

*****

Danu tergesa-gesa memarkirkan mobil. Akibat kelelahan mendayung, dia ketiduran sejak sore tadi hingga pukul delapan malam di tempat kontrakan si wanita rahasianya. 

Setengah berlari Danu membuka kunci rumah menggunakan kunci cadangan. Mencari-cari Anaya yang ternyata sudah teridur. Danu kembali ingkar dengan ucapannya. Mengatakan akan pulang lebih awal, tetapi nyatanya nol besar. Anaya padahal sudah bersiap. Merawat tubuh juga memakai gaun tidur baru.

“Mas.” Anaya terusik dari lelapnya saat merasakan sisi tempat tidur bergoyang. Segera menegakkan tubuh, mengusap wajah dan melihat penunjuk waktu yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. 

“Kenapa baru pulang? Katanya kerjanya setengah hari?” Anaya cemberut, berusaha meredam kesal. Nada bicaranya terdengar kentara sarat akan rasa kecewa. 

“Aku minta maaf, Nay. Mendadak Bu Ririn memintaku mengantarnya meninjau sumber mata air baru di luar kota. Jadinya pulangnya kemalaman.” Seperti biasa, Danu kembali mencari alasan. 

“Kenapa enggak ngabarin sih! Aku sudah nunggu Mas Dari tadi sore. Sudah masak juga, pingin makan bareng.” Anaya merajuk, mengerucutkan bibir. 

Anaya jarang sekali marah, hanya saja kali ini dirinya benar-benar merasa kecewa. Cita-cita menghabiskan waktu dalam kemesraan di akhir pekan, kini hanya tinggal kenangan. 

“Di sana sinyal jelek, Nay. Jadinya susah mengabari. Aku juga inginnya pulang lebih cepat. Tapi aku tidak bisa bekerja sesuka hati. Tolonglah pahami posisiku, Nay. Aku juga banting tulang begini demi masa depan kita.”

Lagi-lagi Danu sengaja membangkitkan rasa bersalah Anaya. Mengatasnamakan masa depan untuk menutupi kebohongan. 

“Iya, aku tahu. Tapi aku juga butuh disayang dan dimanjakan. Bukan hanya melulu mengurusi soal masa depan!" Suara Anaya meninggi, terbungkus emosi yang berusaha diikatnya supaya tidak lepas kendali. 

"Aku juga butuh dinafkahi secara benar, Mas. Bukannya menuntut, tapi sudah lama sekali rasanya ranjang kita tidak dipanasi,” cicit Anaya lirih. Menggigit bibir menahan isakan. 

Danu memerhatikan istrinya dari kepala hingga kaki. Sepertinya Anaya memang bersiap ingin menyambutnya dalam gelora. Memang benar, sudah lama Danu tidak menyentuh Anaya. Bukan tidak ingin, melainkan sudah lebih dulu terpuaskan di luar sampai kekenyangan sehingga saat pulang ke rumah keinginan tersebut sudah terpenuhi. 

Danu kembali membandingkan. Baginya, si wanita rahasianya lebih menggoda selera. Lebih mampu membuatnya panas dingin dibanding Anaya yang lembut juga naif. 

Rumput lain memang selalu terlihat lebih hijau dibanding rumput di rumah sendiri jika tidak ada rasa syukur bersemayam di hati. Danu tidak mensyukuri yang sudah dianugerahkan lebih dulu padanya dan malah mencari yang lain. 

“Ya sudah, aku minta maaf. Aku janji, besok seharian akan terus sama kamu. Mau kamu apakan juga terserah.” 

Danu membujuk. Selama ini, Anaya sangat mudah dibujuk. Bagi Danu terbilang mudah mengendalikan Anaya, sedikit kecupan mesra disertai kata-kata rayuan, biasanya mampu membuat istrinya itu langsung jinak kembali. 

“Janji ya?” Bola mata Anaya menatap lurus pada Danu. Memohon berbalut tuntutan. 

“Iya aku janji,” sahutnya seraya memeluk dan mengecup pipi Anaya. Bersorak dalam hati karena kebohongannya tetap aman terselubungi. 

TBC

Selingkuh ( Setia Dibalas Dusta )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang