2nd

2 1 0
                                    

Raksa menghela kecewa, "Iye bawel. Ada siapa aja di Batu?"

"Biasalah... palingan pada sok sibuk lagi."

Mata Raksa membelalak ke arah Fino, "Maksud lo kita berdua doang?"

Fino mengangguk sambil tersenyum, "Idih! Homo dasar!" Raksa mendorong Fino menjauh.

"Ayolah... cuman bentar aja kok. Lagian lo juga gabutkan gak jalan sama Keira?"

Raksa menunjukkan wajah sedihnya, "Iya... tau aja lo kayak peramal."


🥶🥶🥶🥶🥶


"A pesen kopi satu dong!" Teriak Fino dari luar Batu.

"Ya ampun, Mas. Bikin saya kaget aja," balas AA, penjaga warung Batu.

Raksa memberikan gestur angka satu menggunakan jarinya, "Kalo saya Nuklircair satu ya, A."

"Bocah-bocah belom ada yang dateng, A?" Fino memutar kepala ke sekeliling warung, mencari tempat terbaik untuk duduk.

"Belum, Mas. Saya sendirian aja dari kemarin," balas AA sambil mempersiapkan minuman.

"Yaudah... gak usah curhat juga, A," balas Fino dengan logatnya yang lucu.

Tidak lama kemudian, HP Fino berdering cukup kencang ke seluruh ruangan warung.

"Aduh... mati dah gue!" keluh Fino spontan.

Raksa meliriknya dengan penasaran, "Hah? Mati kenapa? Emang siapa yang nelfon?"

Tanpa menghiraukannya, Fino pergi keluar Batu untuk menjawab panggilan tersebut. Setelah beberapa menit, akhirnya Fino kembali ke dalam. Namun, dia langsung berpamitan untuk pergi karena ada hal yang mendesak.

"Emang udah nasib kita kali ya Mas untuk sendirian?" Sahut AA yang masih membuat minuman.

"Itu mah AA kali. Saya udah punya pacar, A." Raksa menanggapi dengan wajah kesalnya karena perilaku Fino.

AA menyodorkan nampan yang berisi dua gelas, "Udah Mas, jangan kesel terus. Ini saya kasih dua minuman, punya Mas Fino belum sempet diminum tadi."

"Makasih A, emang paling the best-lah." Raksa mengangkat dua jempolnya.

Dia menyantap kedua minuman itu dengan perlahan tapi pasti. Namun, perilaku Fino masih membuatnya terus-menerus kepikiran.

Tidak terasa waktu terus berputar hingga jam menunjukkan pukul 21.15.

"Mas..." Panggil AA kepada Raksa yang sibuk melamun.

Melihat Raksa yang tetap diam, AA mencoba untuk memanggilnya sekali lagi, "Mas!"

Raksa tersadar dari lamunannya, "Hah?! Kenapa, A?" Dia membenarkan posisi duduknya.

"Gak mau pulang? Udah jam 9 malem ini." AA menunjuk ke arah jam dinding.

"9 MALEM?!" Raksa secara kilat membereskan barang-barangnya dan membayar kedua minuman itu.

"MAKASIH A!" Teriak Raksa sambil berlari ke luar Batu.


🥶🥶🥶🥶🥶


Sesampainya di rumah, Raksa diperhadapkan oleh kedua orang tuanya. Suasana menjadi begitu tegang dan mencekam.

"Ehem..." Batuk Ayah Raksa, "Dari mana aja kamu?" Tanyanya.

Nyali Raksa seutuhnya bergetar, "A-abis dari tongkrongan, Yah. Aku cape banget nih hari ini," keluh Raksa.

"Raksa... dengerin Ayahmu dulu," sahut Ibu Raksa yang berdiri di belakang ayahnya.

"Kamu itu laki-laki tertua di keluarga ini! Kamu harus kasih contoh ke Reza, adik kamu," balas ayahnya sedikit keras.

Raksa kembali menunjukkan wajah mengeluh, "Yah... ayolah... Raksa udah cape nih dari sekolah," lanjutnya, tidak menghiraukan apa yang diucapkan ayahnya.

"Sekolah?!" Teriak Ayah Raksa.

"Masih berani kamu bilang sekolah?! Berandal kayak kamu yang kerjaannya aja ke tongkrongan setiap hari. SEKOLAH APANYA?!" Ayah Raksa mengacungkan jarinya ke dada Raksa.

"Yah... udah cukup," lirih Ibu Raksa. Mata Raksa sudah berkaca-kaca kali ini.

Ayahnya semakin terpacu emosi kali ini, "Coba kamu liat Kakak kamu si Nayla. Kenapa kamu gak bisa jadi kayak dia?!"

"Yah!" Teriak Raksa, tidak tahan dengan ucapan Ayahnya, "Aku juga punya hidup aku sendiri. Aku berhak atur hidup aku sendiri. Stop ngurusin hidup aku!" Serunya.

"Kalo gitu keluar! Keluar sekarang dari rumah ini!" Ayahnya mendorong Raksa ke depan pintu rumah.

"Cukup!" Teriak Ibu Raksa, "Raksa, kamu masuk ke kamar sekarang."

Raksa bergegas ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan kekecewaan terhadap kedua orang tuanya. Matanya bertemu dengan mata Ayahnya yang sama-sama mempertahankan harga diri masing-masing. Sementara itu, Ibu Raksa mencoba untuk menenangkan ayahnya agar tidak terjadi perpecahan lebih lanjut di keluarga ini.

Keesokan harinya, Ibu Raksa sibuk mempersiapkan sarapan. Di meja makan sudah terdapat Nayla, Reza, dan Ayahnya yang sedang menunggu makanan siap.

Raksa datang menuruni anak tangga dari kamarnya di lantai atas, "Sa, sarapan dulu. Sebentar lagi mateng nih," sahut Ibunya.

Raksa sibuk memasang sepatu sekolahnya, "Aku kenyang, Bu."

"Seenggaknya makan dulu, walaupun sedikit," perintah Ibunya sambil meniriskan gorengan.

"Iya, Sa. Cepet sini makan dulu. Sombong amat lo," ucap Nayla mendukung Ibunya.

Raksa berbalik bersiap untuk makan, tetapi Ayahnya menjawab, "Biarin ajalah. Gak usah dipikirin anak seperti itu."

Suasana meja makan berubah menjadi tegang. Reza dan Nayla terlihat kebingungan akan situasi tersebut. Raksa dengans segera mengurungkan niatnya agar Reza dan Nayla tidak terlibat di dalam pertengkaran tadi malam, "Bisa kacau kalau mereka tau," pikirnya.

LARAKSA: Lara dan Raksa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang