Batu

3 2 0
                                    


Pagi yang cerah berlangit biru. Berawan putih malu-malu.
Hari yang kutunggu.
Hari perpisahan.
Hari pelepasan.

Mengendarai sepeda motor dengan gitar dipunggung, kususuri jalanan yang lenggang sepi seperti biasanya di hari kerja.
Menuju tempat yang sudah dijanjikan melaksanakan pertemuan dengan dia yang akhir-akhir ini menyinari kegelapan.

Kita bertemu untuk merayakan perpisahan.
Besok lusa resmi aku menjadikan kota tanah kelahiran ini kampung halaman.
Mencoba mencari peruntungan dikota sebelah yang katanya menjanjikan.

Ada yang unik sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
Awalnya aku mengabarkan kepadamu kalau aku hendak kerja diluar kota, dia menyarankan agar aku pikir-pikir dulu.
Lantas aku menunda keluar kota dan mencoba mencari kerja dikota sendiri.

Lagi usaha nyari, tiba-tiba kamu yang ada rencana pindah kerja ke kota lainnya, aku menyarankan kepadamu untuk pikir-pikir dulu, lantas kamu memutuskan untuk mencoba kuliah dan tetap dikota ini.

Namun pada akhirnya aku juga yang pergi, jadi, meninggalkan kota ini.

Setelah menjemputmu, kita langsung menuju suatu tempat yang sudah direncanakan.
Mengendarai sepeda motor berdua saja, dengan gitar bertiga.

Cerah secerah-cerahnya.

Hari ini entah mengapa seolah mendukung dua manusia yang tersatukan pertemuan ini merayakan hari perpisahan untuk kemudian saling berjuang melawan beratnya kerinduan.

Bukit berpuncak batu menjadi tujuan kita.

Menikmati pemandangan dengan duduk-duduk santai diatas hammock sambil bernyanyi diiringi petikan gitar dan nafas alam sepertinya menyenangkan.

Perjalanan yang cukup jauh juga cukup menyita waktu.
Kita sampai dikaki bukit menjelang siang, hangat berganti panas tentunya.
Sang surya persis membentuk siku-siku dengan tanah.

Untuk aku mungkin sudah biasa berjalan dijalan menanjak, tapi untuk wanita sepertimu, mungkin ini agak menyusahkan terlebih ini pertama kali untukmu.
Aku tahu kamu lelah namun aku diam saja.
Aku menunggu kamu mengungkapkan keluhanmu.
Dari raut wajahmu saja orang-orang juga tahu kalo jalan ini berat untukmu.
Dan akhirnya, boom, kamu buka suara.

Hehe.

Aku tertawa kecil terlebih ketika kamu menegaskan tidak ingin lagi mendaki seperti ini.

Ya, aku maklumi.

Jangankan wanita seperti kamu. Sepupuku yang laki-laki  saja pernah mengeluh ketika kuajak mendaki bukit ini.

Apalagi sepupuku seorang perokok. Nafas kretek terasa ditanjakkan saat itu.

Tapi ya bagaimana lagi, aku hanya ingin mereka tahu kalau diatas sana banyak lukisan-lukisan alam yang teramat sangat mahal harganya.

Sesampainya diatas bukit yang berupa batu besar, kamu yang terlanjur capek enggan untuk langsung naik ke atas batu untuk melihat apa yang ingin kuperlihatkan. Kamu memilih duduk dibangku kayu yang sedikit teduh.

Sementara aku langsung mengambil wudhu karena adzan dzuhur sudah dikumandangkan.
Ini salah satu tujuanku juga.
Aku ingin solat diatas batu ini.

Setelah berwudhu dengan air mineral botol, kuambil sajadah yang sengaja kubekal dari rumah.
Lalu aku mendirikan empat raka'at sholat dzuhur diatas batu langsung dibawah langit yang masih biru.

Selesai sholat kuhampiri kamu yang terduduk lesu.
Tertawa sedikit meledek.
Hehe.

Kupasang 2 hammock dengan jarak yang agak berjauhan.
Sesuai permintaanmu.
Canggung.
Ya, memang mungkin ini terlalu cepat.

Siang itu petikan gitar, suara malu-malu kamu, serta black panther juga cemara, bumi, langit batu, bukit ini menjadi subjek predikat objek keterangan dalam satu kalimat bernama kenangan.

Yang mungkin akan selalu melekat di ingatan.

Waktu sementara cepat berlalu.
Jam tanganku menunjuk pada angka 2. Kuajak kamu untuk pulang. Kubereskan hammock yang tadi kupasang, gitar dan lainnya.

Setelah itu kupaksa kamu untuk naik keatas batu.

Aku tak tahu pasti apa yang kamu rasakan ketika melihat pemandangan yang membuatku kagum.
Perihal mengagumi, mataku tak mampu menilainya melalui raut wajah atau gestur mata.

Tapi ditengah angin yang sedikit kencang sekencang debar jantungku, dibawah terik panas matahari, kepadamu kukatakan walau dengan sedikit gemetar.

Biar pabeasan tahu, kalo aku sayang kamu “.

Kamu tersenyum seraya menjawab
Pabeasan juga tahu apa jawabannya “.

Ya, hari ini itu terjadi.

Besok aku menjauh pergi meninggalkan kota ini.

Pertemuan yang terjadi untuk perpisahan dilain hari.
Semoga jalan ini merupakan jalan agar aku lebih baik lagi.

Selanjutnya saling menunggu hari untuk lagi bertemu dengan menggugurkan buah rindu antara aku dan kamu yang menunggu.

Semoga tak ada kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan ketidaknyamanan antara aku yang pergi meninggalkan, dengan kamu yang tetap rela bertahan.

Laa WashalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang