Tapi gue enggak.
Segala sesuatu yang berbulu di badan gue, itu adalah takdir. Beda yang di lingkungan, atau lewat dari satu meter parimeter jarak aman gue. Sesuatu yang berbulu itu, gue enggak suka.
Dari kecil, gue enggak begitu suka binatang berbulu. Mau kelinci, anjing, gajah, onta, jerapah, monyet, burung, kadal, lumba-lumba, pokoknya yang ada bulu, gue enggak doyan. Apalagi yang namanya kucing. Benci sih enggak. Mungkin alasan paling tepat, BOSEN.
Ironisnya, ketidaksukaan gue justru mesti gue alami setiap hari dari brojol lahir. Karena keluarga gue pecinta kucing. Untung Tuhan ngasih mental baja dan anti bulu, jadinya gue enggak stres-stres amat menghadapi kenyataan yang cukup menyakitkan.
Gue akuin, tingkah laku keluarga, emang rada-rada nyeleneh. Risih kadang kalo liat kelakuan mereka cenderung berlebihan sama seekor, dua ekor bahkan berekor-ekor kucing.
Like worshipped it.
Apa-apa selalu buat si Miau A, atau si Miau B. Dan di rumah, jumlah para makhluk satu ordo dengan singa itu, lebih dari jumlah alphabet.
Bisa dibayangin kan, gimana hectic dan ramenya?
Sekarang nih, logikanya aja, sebuah rumah udah di-set sebagai tempat makhluk yang namanya 'manusia', dan boleh ada satu atau dua 'makhluk pendamping', kayaknya ekosistem di tempat tersebut, bakal aman dan nyaman.
Tapi kalau pada kenyataannya berbalik?
Lama-lama, kita yang jadi manusia, tergusur. Karena makhluk-makhluk pendamping ini jumlahnya lebih banyak dan mereka membutuhkan space yang lebih dari sekedar kandang, tempat ngaso, plus tempat bermain. Jadi, kalau enggak bisa menyingkirkan mereka, gue yang harus keluar. Masalahnya, gue belum menemukan alibi kuat buat cabut dari rumah.
"Maaasss... Masss Aryyyy!!!"
Teriakan adik gue membuat perasaan mendadak enggak enak. Kalau nada suaranya in a rush dan tampak panik, pasti ini ada hubungannya sama MMS (Makhluk Makhluk Sialan) itu. Gue yang lagi enak-enakan tidur di bale-bale belakang rumah, (karena seperti yang gue bilang, kalau hampir seisi rumah dikuasai oleh para kucing, dan gue kepaksa kudu cari lahan ngaso yang lain) langsung terbangun. Enggak lama, adik gue, Ayu, muncul.
"Mas, di depan ada tamu ke Bapak, maksa-maksa pingin beli si Kliwon!" seru Ayu.
"Kasihin aja apa susahnya."
Gue senang, berarti satu kucing bakal keluar dari rumah ini, setelah Bapak hanya memberikan dua ekor kucing 'yang betul-betul peliharaan di rumah' secara cuma-cuma pada pasangan cewek-cowok beberapa tahun lalu. Itu juga karena mereka mengembalikan salah satu kucing kesayangan Bapak yang hilang.
Deuuh..., padahal waktu itu, udah tebersit mau tumpengan kalau Si Kliwon raib.
"Mas, kan Mas Ary tahu sendiri, kalo kita udah punya bibit-bibit yang emang buat dikasiin, tapi bukan yang kita pelihara di rumah!" tegas Ayu.
"Ayu, kita udah punya lebih dari lima puluh biji kucing yang keliaran di rumah! Ilang satu gak akan bikin kita keilangan!" gue lebih ngeyel.
"Tapi nggak buat Kliwon atau Wage." Dia melipat tangan. "Mereka itu turunan dari kucing yang secara nggak langsung, ngebuat kita hidup enak seperti sekarang," lanjutnya, dengan menekankan kata kucing yang langsung bikin gue enggan untuk membantah lagi.
Gue akhirnya nyeret langkah ke ruang tamu.
Duh, Bapak juga sih, bukannya diem di rumah, malah pergi ke mana-mana. Tapi kalau enggak melancong, anak-anaknya mau makan apa, ya?
Soalnya, Bapak bukan pekerja kantoran, he's a business man, yang ngebikin beliau jadi orang yang cukup busy juga. Kita sebagai anak, kadang kurang merasakan kasih sayang Bapak, untung, kita semua anak baik. Dicuekin orang tua, enggak nge-rebel trus bikin aksi yang lebih heboh daripada atraksi tong setan.
Tapi anehnya, buat urusan kedua kucing kesayangan, selalu ada waktu disisakan Bapak. Gue jadi rada heran sendiri, siapa sih sebenernya anak tiri di sini?
Di ruang tamu, ada lagi sepasang manusia. Yes... setelah gue perhatiin benar-benar, asli manusia, bukan manusia-manusia berbulu banyak. Atau manusia yang badannya penuh tato maupun koyo.
Buat gue aneh aja, ada orang yang mau ngambil kucing hitam macam si Kliwon. Tampak orang-orang bergejala abnormal. But, they're seem normal.
Mereka tampak tegang saat gue masuk, memberi salam. Tangan keduanya dingin banget, waktu kita memperkenalkan diri masing-masing. Beuh, kayak mau ketemuan ama pejabat aja.
"Gimana, Mas?" tanya si laki-laki. Tadi namanya siapa yah? Lupa.
"Oooh... itu, anu...." Gue noleh ke arah Ayu, dia berdiri di belakang sofa yang gue dudukin, dan mukanya itu, astaga..., kayak mau ngajak perang. "Masalahnya gini, Pak, Bu, Kliwon itu nggak dijual. Ada nilai historis tersendiri di keluarga kami, yang gak memungkinkan untuk melepas dia."
"Sehari aja, Mas. Sehari aja deh, kita sewa," desak si laki-laki.
Ayu makin melotot. Menunjukkan bahwa sikap pria di depan kami ini sangat tidak ber-keprikucingan. Gue mencoba menetralisir keadaan, dan menerka, apa maksudnya, kok sampai disewa-sewa? Oke, kalo misalkan mereka kehilangan sesuatu dan butuh dilacak, gue rasa menyewa kucing adalah ide teridiot. Itu kan kerjaannya anjing!
"Kita berani bayar mahal, Mas," katanya.
Curiga mo bikin pelem bokep pake objek kucing nih. Tobaaat... dunia udah mo kiamat!
"Sebetulnya buat apa ya mau sewa Kliwon, kalo boleh saya tau?" Otak bisnis gue mulai berotasi. Eh, siapa tahu, si Kliwon bisa menghasilkan uang, selain menghasilkan eek sama keributan.
"Begini, Mas...." Si perempuan mulai bersuara. "Saya ini lagi ngidam. Saya kepingin banget, foto-foto sama kucing item, tapi fotonya di tempat tidur saya. Kita udah cari kucing item yang jinak, tapi gak ada."
????? What the...???
Kayaknya bukan gue aja yang cengo. Si Ayu tampak udah ngeces duluan.
"Duh, malu-maluin, yah Mas?" kata si laki-laki. Si perempuan, yang gue sinyalir adalah istrinya, tampak sebal dibilang begitu.
"Wah, kalo gitu masalahnya, malah harusnya bilang dari awal." Gue menebar senyum. "Boleh deh disewa. Sekalian aja saya yang foto, hobi saya foto-foto kok."
Gue liat lagi Ayu sekilas, dia tampak pasrah. Ya daripada si Kliwon dijual hanya karena alasan buat difotoin aja? Mending disewain, kan? Siapa tau nanti ada orang majalah binatang yang lihat foto kucing hitam itu, eh... dijadiin model. Bapak pasti jauh lebih senang.
"Boleh itu, Mas," sambut si laki-laki bahagia. Ia melirik istrinya, "Ya kan, Bu?"
Si istri mengangguk lebih dashyat.
"Mau sekarang? Saya siap-siap dulu kalau begitu, ya Pak, Bu?" sahut gue.
Mereka mengangguk lagi. Kali ini kompakan.
Gue ama Ayu lengser ke belakang, meninggalkan pasangan itu di ruang tamu. Gue bisa dengar si istrinya tampak heppi dari ketawanya yang berusaha ditahan.
"Ay, tangkepin si Kliwon, trus masukin kandang," perintah gue pada Ayu. Dia cuma diam dan enggak melakukan apa-apa. "Hey, ini namanya bantuin orang. Kalo suatu saat nanti, kamu hamil, dan ngidam kepingin foto-foto sama buaya darat, trus gak ada yang mau, gimana?"
Mata Ayu hanya menatap nyalang.
"Kamu mau nanti bayi kamu ngileeeerrrrr... terus?" tambah gue.
"You're such an asshole," desis Ayu, kesal.
"I am, Sis."
Meski dia terus maki-maki, menggerutu enggak berhenti, tapi diikuti juga instruksi gue.
Mungkin dia enggak mau kalo ntar ngidam, enggak ada yang bantuin.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONARY
HumorSudah dilanjutkan di fizzo ya Kehidupan Conary alias Ary jungkir balik, setelah dia mengalami kecelakaan. Hidupnya yang serasa sudah jatuh tertimpa tangga, terhantam bak sampah, terguyur air got (meski tetap ganteng), semakin merana saat tahu dia bi...