PEREMPUAN BERMATA KUCING

4 1 0
                                    

Sampai detik ini, gue masih belum percaya, bisa ngomong sama kucing.

Kucing betina.

Sama kucing jantan justru enggak.

Ini yang bikin gue makin stress, soalnya kucing betina enggak beda jauh sama manusia berjenis kelamin cewek. Cerewet ngujubilah. Oke, emang omongannya enggak seputar alat-alat kecantikan, aktor kesayangan atau idol-idol, tapi siapa yang enggak sebel, kalau ada kompetisi, kumis siapa yang paling lentik? *sighed*

Kenapa ya, gue enggak dikasih keajaiban ngomong sama kucing jantan aja? Setidaknya, kita kan sama-sama bergender laki-laki, cowok, priah....

Selama tiga hari di rumah, sebelum bertolak ke Bandung, gue malah enggak ke mana-mana. Yang tadinya mau ada pesta perpisahan kecil-kecilan bersama teman dan handai taulan, gue batalin. Ajakan karaokean dari Cita pun gue tolak dengan halus, dengan alasan gue masih enggak enak badan plus sering kentut gak bisa ditahan.

Oke yang terakhir itu bawaan dari lahir.

Dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya tersebut, gue mulai mengobservasi, merhatiin kelakuan kucing-kucing sialan, sambil mikir, kok bisa... kok bisa... kok bisa? 

Sama sekali enggak ada penjelasan logika mengenai fenomena ajaib ini dan enggak ada obatnya, gue kayak kena kutukan anak durhaka ato kutu air.

Inisiatiflah gue cari-cari di situs, ngebuang waktu masuk di forum, bagi-bagi cendol percuma kalau ada yang jawab thread gue. Tapi kebanyakannya cuma penjelasan orang-orang yang ngerasa bisa komunikasi dengan kucing dari gerak-gerik atau suara yang para kucing buat. Sama sekali enggak ngebantu masalah gue. Malah bikin ruwet, karena ujung-ujungnya mereka ngajakin kimpoy*, biar kucingnya bisa beranak-pinak dari dua keturunan ras ato campur-campur kayak es doger.

(*kimpoy: perkawinan antara dua kucing yang dijodohkan. bukan kawin paksa antara kucing dan tupai)

"Suka kucing, yah?" tiba-tiba suara merdu itu muncul dari samping gue.

Gue noleh. "Nggak juga," jawab gue ragu.

Alibi itu terpatahkan dengan sekantong kertas yang gede isinya buku-buku soal kucing yang gue kepit di antara dua kaki. Belum kandang si Wage ditaro di bawah kursi ujung, dan gue kudu ngeluarin ekstra uang travel dengan alasan kucing sebenarnya enggak boleh dibawa di area penumpang.

Tapi karena gue udah melas-melas, akhirnya boleh, dengan catatan bayar dobel, buat ganti rugi, kalau penumpang lain kena budek. Misalkan si Wage selama di perjalanan mengeong-ngeong. Sialnya, malah gue yang ngerasa rugi. Karena si Wage panik pun enggak. Dia udah terbiasa naek-turun mobil.

Kejadian naas yang sekarang nimpa gue, semula (dan lagi) gara-gara Wage, yang maksa kepingin ikut. Random banget sih, kemauannya dia tuh. Akhirnya gue luluh, tapi dengan catatan selama di perjalanan dan tinggal di Kota Kembang, dia enggak boleh ngerengek pulang.

Enggak ngerti juga kenapa Wage pingin ikut. Seolah-olah dia menutupi maksud sebenarnya. Alasannya ke gue sih, Wage bosan tinggal di Jakarta. Bisa yah, bosan? Padahal dia segala macam enak, makan ya tinggal makan, minum ya tinggal neguk, tidur ya... di mana aja bisa.

Sekarang mau uji nyali hidup susah bareng gue? Rasain dah.

Bapak juga aneh, kayak mengerti mau si Wage. Sampe nyempetin nganterin kita berdua, enggak lupa ngasih wejangan sama itu kucing. "Jangan nakal, nurut sama Mas Ary, mesti betah, cari temen yang baek." Gue kepaksa garuk-garuk kepala enggak gatel, karena seharusnya nasihat itu Bapak kasih buat anak cowok satu-satunya, bukan sama kucing betina. Sing eling, Paaak....

"Takut dibilang nggak maskulin karena suka kucing, ya Mas?" tanyanya tiba-tiba.

"Ya nggaklah, Mbak," defend gue.

CONARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang