MBAK PIA DARI BANDUNG. BUKAN DARI YOGYA

3 0 0
                                    

"Mau ngomong apa sama Mbak Pia?" Anyay was-was.

"Ya gue mau tanya sekali lagi. Gue bisa gak bawa piaraan."

"Ah, jangan macem-macem, Ry. Aturan tuh aturan, jangan bego!"

"Udah, anter gue. Buruan."

Ini mungkin tindakan terbodoh sedunia, tapi gue mesti coba. 

Ada aturan, bukan berarti enggak boleh dilabrak, eh... maksudnya mungkin ada kompensasi, atau kelonggaran. Minimal gue pingin jelasin semua, urusan keputusan, semua di tangan Mbak Pia.

Anyay ngajak gue ke belakang. Kami melalui lorong sempit yang cukup panjang, di langit-langit yang rendah, lampu 18 watt warna kuning itu selalu nyala selama 24 jam. Di sisi kiri-kanan lorong itu semuanya kamar kosan.

Pintu-pintu kamar bersih banget, enggak ada tempelan stiker, yang ada hanya tempelan nomor yang udah kusam. Kamar nomor satu sampai enam, tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan. 

Konon katanya, Mbak Pia ini orangnya resik, banyak aturan di rumah kos dia, meski dia cerewet dan nyebelin, tapi rata-rata yang diam di kosan ini muka-muka lama. Contoh paling konkrit, ya Anyay.

Anyay diem di kamar nomer 7, kamar setelah lorong. Jumlah kamar di sini ada 14, spot paling menguntungkan itu kamar-kamar di belakang, karena ada halaman luar buat jemur-jemur. Jadi tiap kamar, minimal kena sinar matahari meski seuprit.

Rumah Mbak Pia, lebih ke belakang lagi. Di sebelah kamar nomor 13, ada lorong pendek dengan pintu gerbang besi, nah di balik situ, rumah Mbak Pia. Sebetulnya enggak bisa dibilang rumah juga sih, lebih mirip paviliun mungkin.

Kita ngelewatin halaman kecil penuh tanaman, bunga-bunga, baru masuk ke teras rumah Mbak Pie, yang penuh tanaman juga. Dari mulai kuping gajah, suplir, sampai janda bolong juga ada. Rada heran gue sama hobi berlebihan si Mbak yang satu ini, mungkin dia termasuk penganut bungaisme.

Seketok-dua ketok di pintu, akhirnya muncul juga beliau.

Mbak Pia mengangguk diplomatis. "Eh, kirain siapa. Ternyata jadi juga ngekos di sini?"

"Iya, Mbak. Ini Ary, katanya jadi mau ngekos," kata Anyay dengan suara agak tegang.

Hampir sebulan lalu gua ketemu Mbak Pia, dia tetap kayak gitu. Enggak ada perubahan berarti. Setelan wajib dia t-shirt sama rok selutut. Soal warna, nabrak-nabrak pun enggak masalah, yang penting jangan sampai ditilang pak polisi karena enggak pakai seat-belt. Doh, apaan sih gue??

"Oh iya. Masuk yuk?" dia mempersilakan.

Mbak Pia melesat lagi ke dalam, tirai dari kerang mengeluarkan bunyi berisik, waktu kita duduk di ruang tamu yang sempit, dengan sofa segede Megaloman warna merah marun pula. Alamaaaak....

Enggak lama, Mbak Pia datang bawa baki, ada setoples camilan, dan secangkir kopi. Hanya secangkir. Gue jadi bingung, ini buat diminum bertiga? Maksudnya biar lebih akrab, kayak orang-orang Indian yang ngisap dari satu pipa buat rame-rame?

"Anjar nggak kerjain tugas? Kapan selesai kuliahnya kalo males?" kata Mbak Pia tiba-tiba, sehabis menaruh baki dan duduk dengan manis di hadapan gue sama Anyay. Nada suaranya sih lembut-desah-becek gitu, tapi maknanya nyembelih.

Ada embusan angin yang aneh dari Mbak Pia saat posisi kami sejajar. Eh, dia pake parfum?!!

"Oh iya... ada kok, Mbak." Anyay tampak salting diusir secara halus. "Pamit dulu," kata si Anyay, dia ngelirik ke gue sekilas, trus berdiri dan pergi.

Gue ngerasa kayak korban sekarang. Laki-laki polos yang masa depan cerahnya terenggut karena mulai saat itu akan menjadi seorang pemuas wanita yang lebih tua. Dan semua, karena akal bulus sahabat sejatinya, mengorbankan sang laki-laki polos kepada seorang Mbak Pia yang sudah tahu seperti apa rasanya laki-laki.

CONARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang