•
••
Sore hari itu, Rania dan Vano memilih tidak langsung pulang ke apartement, tapi mampir ke toko kue kesukaan Vano. Vano antusias sekali saat memilih bentuk-bentuk donat kesukaannya dan memilih kesukaan abangnya juga, David.
"Bun, Ano boleh ambil yang ini?" tunjuknya pada donat berbentuk kepala beruang, sangat lucu dan menggiurkan untuk Vano. Bahkan, lidah anak laki-laki itu mungkin sedang menari-menari di dalam sana karena tidak sabar ingin melahap si donat kepala beruang.
Rania tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala si buah hati dengan begitu lembut.
"Boleh dong, Ano ambil yang Ano suka, Buna tidak akan melarang."
"Yeeee!" Vano tertawa riang. Lalu, anak laki-laki itu sedikit berlari ke arah rak kue yang lain dan melihat-lihat bentuk donat mana yang akan ia ambil lagi. Rasanya, semua ingin dibeli dan dibawa pulang ke kediaman mereka.
Rania hanya bisa memperhatikan dan tentu hatinya berbunga-bunga karena anak bungsunya sangat senang sekali. Bahkan, rasa lelah sore itu sungguh terbayar dengan melihat Vano tersenyum riang. Rania yakin, dia sudah cukup bahagia bisa selalu bersama anak-anaknya.
Setelah mereka membeli donat, mereka segera keluar menuju halte untuk naik bus. Vano kecil tentu berpegangan tangan pada bunanya, mereka duduk di halte dengan Vano yang berada dipangkuan Rania. Sesekali Rania menciumi puncak kepala Vano dan mengusapnya lembut, terkuarlah aroma manis jeruk dari rambut Vano, tentu Rania menyukainya.
Rania sesekali bersendau gurau bersama Vano, membuat sosok lelaki yang dari tadi menguntit mereka tak sengaja merekahkan senyuman.
"Manis, mereka manis sekali ...," lirih Raihan. Tanpa sengaja, laki-laki itu membuntuti anak dan ibunya itu. Tidak tahu, yang jelas hatinya bergerak begitu saja hingga sampai ke tempat ini.
"Dia, siapa? Dia siapa, Rania? Aku sangat penasaran pada laki-laki mana yang telah berhasil membuat kau melahirkan seorang putra seperti Vano." Raihan meremat dadanya yang sesak, ingin sekali menghampiri wanita itu untuk memperjelas semuanya, namun hatinya diselimuti rasa egois yang tinggi.
Tak lama, mobil bus datang, Rania dan Vano menaikinya. Hingga bus itu melaju menjauhi area halte, Raihan masih disana dengan perasaan yang bergemuruh hebat memikirkan Rania, si wanita pemilik hatinya dulu.
***
Raihan pulang ke rumah tepat saat pukul 17.56. Tentu, rumah itu semakin hari semakin sepi, ibunya yang sering sakit dan ayahnya yang belakangan ini sulit mengontrol emosi. Hingga beberapa saat, Raihan berpapasan dengan Renan yang berjalan dari arah dapur, mereka tidak saling sapa sebagai saudara dan Renan memilih masa bodoh dengan semuanya.
"Kau ada hubungan apa dengan Rania?" tanya Raihan yang membuat atensi Renan menoleh ke arahnya.
"Apa pedulimu?" Renan mengangkat satu alisnya keheranan.
"Aku hanya bertanya saja."
Renan semakin terheran-heran. "Bukan urusanmu."
"Tentu saja itu menjadi urusanku, aku adalah anak tertua di rumah ini dan kau adalah adikku." Raihan sedikit meninggikan nada bicaranya membuat Renan terkekeh.
"Kenapa kau tiba-tiba peduli tentang urusanku? Memangnya kenapa jika aku ada hubungan spesial dengan Rania?" Renan melipat tangannya di dada.
"Kau tahu, ibu menderita."
"Apa kaitannya?"
"Ibu menderita karena Rania, kau harus ingat itu." Raihan meletakkan telapak tangannya di atas pegangan tangga.
"Rania bukan wanita seperti itu, kau tidak tahu apa-apa dan akan lebih baik jika kau diam."
Renan kembali memunggungi Raihan dan segera menaiki anak tangga rumahnya. Belum sempat sampai pada puncak paling atas, Raihan berkata kembali.
"Ada banyak wanita di dunia ini, kenapa kau memilih gadis jahat itu?"
Tangan Renan terkepal hebat, ingin melayangkan tinjuan pada wajah Raihan.
"Jangan pernah menjelek-jelekkan Rania dihadapanku, kai urusi saja urusanmu sendiri bersama Jihan," ucap Renan tanpa memandang Raihan lagi. Laki-laki itu segera melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya, dia malas berdebat dengan si putra sulung itu.
"Sudah pulang, nak?"
Ucapan itu membuat Raihan sedikit tersentak dan segera beralih ke sumber susara. Terlihat, ibunya yang sedikit pucat tampak berdiri di depan pintu kamar, pandangannya sendu dan begitu banyak menyimpan luka selama ini.
"Ibu..." sapa Raihan, anak laki-laki itu mendekati ibunya perlahan.
Hani tersenyum dalam keadaan lemah. "Ibu dengar tadi ada suara-suara, apa kau sedang mengobrol bersama Renan?" Hani menyambut putra sulungnya itu ke dalam dekapan hangat. Putra kandung satu-satunya itu sungguh Hani menyayanginya.
Raihan membalas pelukan ibunya dan mengusap punggung sang ibu pelan. "Iya, Bu. Tadi ada masalah pekerjaan sedikit. Ibu pucat sekali," lanjutnya lagi. "Sudah makan? Mau Raihan temani?"
Hani mengangguk. "Mau, ibu mau makan ditemani putra-putra ibu," pinta Hani dan didapati anggukan oleh Raihan.
"Raihan antar ibu dulu ke meja makan, baru Raihan panggil Renan ya, Bu."
Hani mengangguk lagi untuk menyetujui ucapan Raihan.
***
Rania telah mengambil cuti beberapa hari saat David telah memasuki liburan semester. Sesuai dengan janjinya, Rania membawa David untuk menemui makam kedua orang tua putra sulungnya itu. Benar, David bukanlah anak kandung Rania. Namun, Rania tetap menyayangi David seperti anaknya sendiri karena ayah David dulu banyak membantu Rania saat wanita itu sedang mengandung Vano.
"B-buna... i-ini makam Handa?" tunjuk David saat mereka sudah berada di depan makam Naresh yang ditumbuhi banyak rerumputan liar. Makam itu sudah lama tak dikunjungi, sehingga mereka harus segera membersihkannya agar tidak terlihat seperti tadi yang ditumbuhi rumput liar.
"Benar ... ini makam handamu, di sebelahnya makam bunamu," jawab Rania pelan. Wanita itu mengalihkan pemandangan pemakaman di sebelahnya, makam bunanya David.
David melirik ke sebelahnya, terdapat nama seorang wanita bertuliskan Anita Windy. David mendekatinya dan memeluk nisan itu cukup lama dan ada sedikit air mata tak tertahan yang turun begitu saja. Walaupun David tidak pernah melihat bunanya sedari kecil, namun hati David selalu terikat dengan sosok ibu kandungnya. Tentu, David ikut merindukan sosok Windy yang telah melahirkannya.
Waktu itu, Windy meninggal pasca melahirkan David, berakibat sampai David umur tiga tahun diasuh oleh Naresh seorang diri. Barulah, setelah itu Rania datang masuk ke kehidupan mereka berdua sebagai sumber kebahagiaan anak dan ayah itu. Rania yang menjadi sosok ibu pengganti David hingga Naresh juga dipanggil oleh sang kuasa. Setelah itu, Rania sendiri yang merawat David dan membesarkan Vano.
"Hemhh .... Handa, Buna .... David datang," lirih David dengan sedih, dadanya terasa sesak dan sangat merindukan kedua orang tuanya itu. Disampingnya, Vano yang ikut sedih melihat abangnya hampir menangis membuat Vano menjadi khawatir.
"Abang... anan nagis yah," ucap Vano untuk membuat abangnya agar tidak menangis.
David tersenyum tulus dan memeluk bahu adik satu-satunya itu.
"Iya... baiklah. Abang tidak akan menangis demi Ano..." David melayangkan kecupan singkat di dahi sang adik dengan begitu lembut. Baginya, Vano adalah sosok adik yang paling disayangi dan harus dijaga agar tidak terluka. David janji, dia akan terus melindungi dan menyayangi Vano dengan tulus.
Rania memeluk kedua anaknya tersebut, sungguh Rania bangga memiliki kedua putra yang saling menyayangi. Di dunia ini, Rania hanya ingin kedua putranya selalu bahagia agar dirinya juga ikut bahagia.
"Rania?" Seseorang perawakan tubuh tinggi datang menghampiri Rania dan putra-putranya. Laki-laki itu sempat ragu-ragu dengan kehadiran sosok Rania disana.
Rania menoleh diikuti oleh Vano dan David. Seorang berperawakan tinggi dan tegap tampak terkejut dengan kehadiran Rania di makam Naresh.
"D- dino."
"Kau sedang apa Rania? Sudah lama sekali... terakhir ka-" Ucapan Dino terpotong tat kala netranya menangkap sosok David di sebelah Rania. Anak-anak laki itu memiliki wajah yang mirip dengan mendiang sahabatnya, yaitu Naresh.
"D- david?"
David mengernyitkan dahinya, lalu menatap Rania. "Buna, Paman ini siapa?" Jelas David tidak kenal, dulu sekali David masih kecil sekali saat bertemu dengan Dino yang merupakan sahabat handanya.
"Teman handamu," jawab Rania. Wanita itu kembali menatap Dino dan tersenyum sekilas dengan ramah. "Dino, aku membawa David kesini, dia ingin mengunjungi makam handanya. Aku pikir memang sudah waktunya dia tahu ayahnya siapa."
Dino terus memandangi David dengan tatapan teduhnya. "Jadi David sudah besar, ya. Apa kalian tidak ingin menetap di Bandung saja?"
Dino mendekati David dan memberikan usapan lembut pada anak laki-laki yang tampan itu. Tentu, David menerimanya dengan sopan, lalu Dino beranjak mengelus kepala Vano juga.
"Belum saatnya, Jakarta masih mengantarkan banyak uang untukku," ungkap Rania dengan senyum getirnya. Memang benar, di Jakarta-lah Rania bisa mendapatkan uang dengan banyak dan memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya.
Dino terkekeh kecil, lalu memperhatikan Vano yang kedua bola matanya berbinar lucu.
"Benar ... ini pasti Vano." Dino menggendong Vano yang menganggukkan kepalanya.
"Anakmu memang sangat tampan-tampan Rania. Bagaimana kabarmu disana, Rania?"
"Ya, begitulah. Tidak ada yang spesial."
Dino tersenyum simpul. "Bandung adalah rumah kalian sebenarnya. Belakangan banyak yang terjadi, orang tua Naresh sudah rujuk kembali, dia mencari David untuk tinggal bersama mereka. David akan menjadi penerus usaha mereka."
"Dino ... mari membicarakannya di rumah, jangan disini," pinta Rania dengan mengecilkan suranya.
"Oh, baiklah. Aku mengerti Rania. Mari kita pergi setelah kalian puas mengunjungi makan handa dan bunanya David."
***
Sesampainya di rumah Dino, mereka disambut hangat oleh Delia yang merupakan istri dari Dino. Senyum terpatri dari wanita dengan kulit putih tersebut karena keberadaan David dan Vano yang sangat menggemaskan. Mereka belum diberi titipan oleh Tuhan dan merasa senang jika rumah mereka ramai karena sosok anak kecil yang sedang aktif-aktifnya dalam masa pertumbuhan.
"Vano, sangat lucu, Aunty menyukainya." Delia membawa Vano ke dalam pangkuannya, membiarkan si anak kecil tersebut duduk diatas pahanya.
"Delia, apa kabar?" tanya Rania memulai percakapan lebih dulu.
"Aku baik, Rania. Kami sekarang sedang menjalani terapi agar bisa memilki momongan, kami sudah sangat menantikan kehadiran si kecil," jawab Delia dengan suara yang lembut."
"Tuhan pasti akan segera mengirimkan malaikat kecil untuk kalian."
"Pasti, aku akan selalu berpikir optimis," balas Delia lagi. Kini tangannya diusap lembut oleh Dino sebagai penguat keduanya.
"Bibi," panggil Dino pada asisten rumah tangganya. Asisten pun datang sesuai panggilan Dino. "Bibi, tolong ajak anak-anak bermain di taman, ya. Ajak mereka juga untuk melihat kolam ikan," titah Dino pada sang bibi di depannya.
"Baik, Pak," jawab bibi sambil sedikit menunduk. "Ayo, anak-anak ikut Bibi, ya. Bibi akan memperlihatkan ikan yang cantik pada kalian. Mau, kan?" bujuk sang bibi disertai senyum yang tulus.
Vano dan David melihat ke arah bunanya dan mendapati anggukan dari Rania. Setelahnya, di ruang keluarga tersebut menyisakan Rania, Dino dan Delia.
"Jadi, apa rencanamu? Nenek dan kakeknya David akan membawa David bersama mereka," ujar Dino kembali melanjutkan obrolan di makam tadi.
"Aku bingung, David pasti tidak mau ikut kakek dan neneknya, anak itu terbiasa selalu bersamaku. Lagi pula, aku juga sangat menyayangi David, rasanya tidak rela jika harus pisah dari putra sulungku itu," ucap Rania, dia langsung menyeruput teh hangatnya sedikit.
"Tapi, mereka juga kakek dan nenek David, Nya."
"Aku tahu, tapi aku yang membesarkan David."
"Benar, itu tidak adil untuk Rania jika dipisahkan begitu saja dengan David," timpal Delia, dia mengerti perasaan Rania yang menjadi seorang ibu, tentu tidak ingin dipisahkan dari anaknya.
Dino tampak berpikir sebentar, mencari solusi untuk masalah ini. "Apa aku akan bilang pada orang tua Naresh untuk pindah ke Jakarta saja, ya? Dengan begitu mereka bisa bertemu lebih sering dengan cucunya. Bagaimana menurutmu, Rania?"
"Kalau itu, aku setuju saja. Mungkin, David bisa mengunjungi kakek dan neneknya lebih sering atau pun bisa menginap disana. Dengan begitu, tidak ada yang merasa ditinggalkan. Nanti, aku akan coba memberitahu David tentang kakek dan neneknya," balas Rania.
"Baik, aku nanti akan memberitahukan pada orang tua Naresh, semoga mereka menyetujuinya."
"Semoga," kilah Rania.
"Bagaimana dengan Vano? Apa dia sudah mengetahui siapa ayahnya?" Kini, Delia merubah topik pembicaraan.
Rania menggeleng. "Aku tidak ingin mengganggunya, biarkan saja."
"Tapi,dia berhak tahu tentang darah dagingnya sendiri, Rania."
"Aku tidak ingin Vano diambil dariku. Mereka pasti akan merebut Vano dengan segala cara dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Vano adalah anakku dan selamanya hanya akan jadi anakku.
Berakhir, Delia menghembuskan napas pasrah. "Ya, sudahlah, terserah dengan keputusanmu saja. Kalian akan menginap disini, kan?"
"Hm, aku takut merepotkanmu." Rania menatap tak enak pada Delia.
"Bagaimana kau bisa bilang begitu, justru aku senang jika rumah kami ramai, apalagi jika ada David Dan Vano.
"Benar, Rania. Menginaplah disini, anggap saja seperti rumahmu sendiri. Jangan sungkan, kita adalah keluarga," sambung Dino menambahi perkataan istrinya itu.
"Terima kasih, kalian sangat baik padaku."
"Sama-sama, ayo aku antarkan ke kamar, kau sangat lelah sekali pasti dari Jakarta ke sini." Delia berdiri dan mengajak Rania untuk ke kamar. Rania pun mengikuti dari belakang.
Akhirnya, Rania bisa merebahkan tubuhnya untuk istirahat di kamar yang terbilang cukup luas dari ukuran kamar apartemennya. Sesaat, ia lupa mengabari Renan untuk mengatakan kalau dirinya dan anak-anak sudah di Bandung. Dengan gerakan cepat, Rania mengaktifkan ponselnya dan banyak notif pesan dan panggilan tidak terjawab, tertera di layar ponselnya. Segera, Rania menelpon Renan dan mengabari dirinya yang sudah berada di Bandung, sekaligus meminta maaf pada Renan yang sejak tadi khawatir padanya dan anak-anak.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉
FanfictionSebuah kisah yang menggambarkan seorang wanita single yang memiliki jutaan kesedihan dan rahasia dari masa lalu. Apa rahasia terbesar dalam hidupnya mampu membalikkan fakta yang ada sekarang? Fakta, bahwa dirinya hanya seorang wanita parasit? "Aku p...