14. Sebatas Orang Tua

10 2 0
                                    

Rania berjalan ke arah kamar David dan meninggalkan Jihan yang duduk di atas sofa. Wanita itu perlahan masuk tanpa menimbulkan suara pijakan kaki agar tidak mengganggu anaknya yang masih tertidur lelap. Dia tersenyum tipis saat putranya berada di dalam dekapan ayahnya. Pemandangan dan momen yang manis untuk diperhatikan.

"Mas ... Mas ... bangunlah," bisik Rania di telinga Raihan. Tangannya menyentuh bahu Raihan dan digerak-gerakkan.

Raihan hanya menggeliat sedikit dan enggan untuk membuka matanya. Langkah selanjutnya, Rania menepuk pelan dada Raihan.

"Mas ... Mas Raihan, bangunlah," bisiknya lagi hingga Raihan membuka kedua matanya. Laki-laki itu membawa tubuhnya untuk bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Tanpa sadar, Raihan telah menarik pinggang Rania untuk didudukkan di pangkuannya.

Rania dengan cepat menghindar, sudah cukup kemarin melepas rindu. Sekarang, Rania harus tahu posisinya. Dia hanya seorang Buna Vano, bukan wanita milik Raihan Atmadja.

"M-mas ... cuci mukamu dulu, ya," titah Rania pada laki-laki yang ada di depannya itu.
"Buna, Handa sangat lapar," gumam Raihan tanpa sadar, membuat jantung Rania berdetak tidak karuan. Bisa-bisanya laki-laki itu memanggil dirinya buna dengan suara khas bangun tidur yang serak.

"Mas ... Jihan menunggu diluar."

Deg.
"Hah!" Raihan membulatkan kedua mata dengan sempurna saat dan hampir terperanjat pada ucapan Rania barusan. Kenapa tiba-tiba ada Jihan disini? "J-jihan?"

Rania menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Mas dia sudah tahu lebih dulu dari padamu, aku yang memberitahukannya. Kau pulanglah bersama dia, jelaskan semua padanya agar dia tidak salah paham dengan hubungan kita. Dia sangat tertekan sekali .... Dia membutuhkan Mas sekarang. Mas harus lebih peka terhadap dirinya."

"R-rania ...," lirih Raihan. Pria itu masih belum sepenuhnya fokus untuk membahas Jihan.
Rania tersenyum tipis dan tampak raut wajahnya yang sedikit lelah dan pasrah. "Mas ... itu sudah empat tahun yang lalu antara kita. Jihan adalah perempuan yang sangat baik dan lembut. Mas tidak boleh egois demi kepentingan dan kemauan Mas. Lagipula, aku hanya ingin fokus pada kesembuhan Vano mulai saat ini ...."

"A-aku butuh waktu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa saat ini." Raihan berdiri di hadapan Rania. Dia berusaha untuk mendekap Rania, namun Rania menolaknya, dia takut Jihan akan melihat tindakan mereka yang tidak pantas dilakukan karena mereka bukan pasangan.

"Aku akan memberitahu Mas, jika jadwal Vano di operasi telah keluar. Selebihnya, Mas bilang saja jika Mas ingin membawa putra kita menemui ibu, aku tidak keberatan," tukas Rania dengan jelas tanpa ada keraguan.

"Maaf ...," lirih Raihan. Sebenarnya, jari-jarinya ingin menyentuh Rania dan mengusap pipi ibunya Vano itu.

"Bukan salah, Mas kok."

"Maaf, maafkan aku telah menjadi laki-laki yang gagal untuk menjagamu waktu itu," sambung Raihan lagi.

Rania mendongak membalas tatapan Raihan, dia juga merasa bersalah dengan membuat Raihan yang hampir putus asa ini. "Sudah ya, Mas ... tidak usah menyalahkan diri sendiri lagi. Aku juga salah, bukan Mas saja. Sekarang yang terpenting kita fokus pada Vano dan kehidupan kita masing-masing."

"Tidak bi-"

"Mas," tegur Rania. Kepalanya menggeleng-geleng saat Raihan ingin mengatakan sesuatu lagi. "Jihan diluar nungguin loh," celetuk Rania, bibirnya bergerak menunjuk pintu kamar David.

"Ah, o-oke," jawab Raihan. Dia mengalah saja karena Rania sepertinya enggan memperpanjang pembicaraan mereka.

***

Raihan pulang ke apartemennya dengan membawa Jihan juga. Dia ingin mengganti bajunya baru mengantar Jihan pulang ke rumah.

"Maafkan aku ...." Raihan menarik pinggang Jihan ke dalam pelukannya. Mencium sekilas kelopak mata sang calon istri dengan lembut, menimbulkan efek ketagihan untuk si penerima.

"A-aku juga minta maaf. Mas ... jangan tinggalkan aku, ya," pinta Jihan, hidungnya yang memerah membuat Raihan menjadi gemas sendiri ingin mencubit.

"Tidak. Jihan kan calon istriku ... mengapa aku harus meninggalkannya?" Raihan menciumi puncak kepala Jihan dengan lembut. Dia memberikan efek ketenangan untuk hati Jihan yang sesak.

Jihan membalas pelukan Raihan dengan melingkarkan kedua tangannya di perut pria itu. "M-mas ... Jihan mencintai Mas Raihan," ungkapnya dengan nada suara yang mengecil di akhir perkataan.

"Iya, Mas tahu. Si cantik ini tidak boleh menangis lagi, ya. Hatiku hancur, jika Jihanku terluka dan menangis karenaku, rasanya dunia Raihan menjadi runtuh."

Jihan menganggukkan kepalanya dan sedikit salah tingkah karena ungkapan manis yang dilontarkan calon suaminya. Bahkan, pipinya merona merah bagai tomat rebus.

Raihan melepaskan pelukan pada Jihan, kemudian tangannya menangkup pipi Jihan dan mencium sekilas hidung wanita yang ada di hadapannya itu. "Apa kau masih menerimaku yang sudah memiliki anak?" tanyanya langsung untuk memastikan.

Jihan mengangguk pelan yang artinya dia menerima kehadiran Vano nanti. "Aku tetap menerima. Vano juga jadi anakku sekarang
..." jawab Jihan penuh keyakinan pada laki-laki tersebut.

Mendengar ucapan Jihan, membuat Raihan tersenyum lebar dan semakin mengikis jarak wajah mereka lebih dekat. "Terima kasih, Jihan benar-benar sangat cantik dan paling pengertian ... aku menyukaimu Jihan ...."

Cup!
Raihan memberikan ciuman lembut di bibir kemerahan Jihan. Dengan senang hati wanita yang setinggi lehernya menerima dan membalasnya juga. Mereka terus menyatukan bibir mereka untuk menyampaikan perasaan cinta masing-masing. Entah itu Raihan yang hanya tidak ingin menyakiti Jihan atau Jihan yang memang benar-benar bergantung pada Raihan dan takut kehilangan.

***

Dia mengalah karena dia sadar itu bukan miliknya, dirinya hanya bagian dari masa lalu yang mungkin sampai saat ini masih ada tempat sedikit yang tertinggal untuknya. Terlepas dari itu, dia sadar, bukan dengan lelaki itu lagi dirinya harus bersandar. Sebenarnya, dia juga membutuhkan pondasi untuk tempat ketergantungan, namun memilih sendiri mungkin tidak apa.

Percayalah, pondasi yang lebih kuat akan datang dengan sendirinya atau bahkan sedang menuju ke arahnya, dirinya saja yang tidak sadar. Rania? Dari jauh ada sosok yang selalu menginginkanmu untuk bahagia. Lihatlah, pengorbanan dia juga patut untuk diperhitungkan.

Jangan lagi datang ke arah laki-laki yang bahkan ingin merancang masa depan bersama orang lain. Tapi, datanglah sebagai wanita yang dengan lantang mengatakan, 'aku sudah menemukan jalan bahagiaku tanpa kamu di dalamnya.'

Mawarnya ingin melayu pasrah, tapi tangkai batangnya tidak mengizinkan.

Cup!
Raihan memberikan ciuman lembut di bibir Jihan. Dengan senang hati, Jihan menerima dan membalasnya kembali. Mereka saling bertukar kehangatan dengan euphoria yang menyelimuti hati.

Semakin lama semakin dalam, Raihan menuntun Jihan sampai ke atas kasur. Lembut dan sayang, dirinya membaringkan wanitanya dengan telaten dan tidak akan mengasari sedikit pun.

Raihan mulai membuka bajunya sendiri dan membantu melepaskan baju Jihan secara perlahan. Bibirnya terus mendarat pada bibir Jihan dengan sangat erotis. Jihan juga tidak tinggal diam, tangannya bermain di dada calon suaminya dan mengelusi perut berotot lelaki itu. Benar, pagi itu hanya ada kehangatan yang membara dalam ranjang berukuran besar tersebut.

Bibir Raihan berpindah ke dada Jihan dan membuat tanda kemerahan disana. Dia membuat tanda bahwa Jihan adalah miliknya, wanita yang akan menjadi istrinya kelak dan akan diperlakukan layaknya seorang ratu yang berkuasa di istana mereka nanti.

Lenguhan Jihan juga semakin menggema di apartemen itu, membuat hasrat Raihan semakin menggebu-gebu tanpa bisa dikontrol oleh dirinya sendiri. Mereka sama-sama ingin saling bersatu dan menikmati pagi ini tanpa terburu-buru.

Begitulah, suasana apartemen Raihan di pagi yang cerah saat ini, Sangat sexy, menggoda dan paling hangat. Erangan dan desahan milik mereka saling menyaut satu sama lain, menandakan bahwa perasaan mereka begitu erat dan tidak akan ada yang bisa menganggu pasangan itu sekarang.

Di tempat lain, ada sosok yang dikecewakan sedang berdiam diri dengan penuh rasa sakit yang membuncah.

Setelah kepergian Raihan dan Jihan dari apartemennya, Rania mendiamkan dirinya di dalam kamar mandi. Dia duduk di ubin dingin kamar mandi sambil memeluk lututnya dengan erat. Wajahnya, ia tenggelamkan dalam perpotongan kakinya.

Anak-anaknya masih tertidur lelap dan berkelana ria dalam mimpi masing-masing. Mereka tidak tahu, bagaimana ibunya yang sedang terpuruk dan menanggung patah hati yang mendalam.

Rania tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak punya hak untuk meminta lebih pada ayahnya Vano. Terlebih, dirinya tidak diterima di keluarga Atmadja karena kastanya yang begitu rendah. Berbeda dengan Jihan, pintu rumah Atmadja akan selalu terbuka lebar untuk calon menantu kesayangan mereka.

"Ukhhh .... M-mas ... R-rania sangat mencintai Mas Raihan ... Mas Raihan yang hanya Rania cintai ...." Tangisannya pecah disertai dengan isakan pelan sambil meremat dadanya sendiri untuk menetralkan perasaan. Begitu sakit dadanya seperti tertusuk jarum, dia membayangkan bagaimana Raihan yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang pada Jihan.

Rania juga ingin diperlakukan bak ratu, tapi dia sadar dirinya hanya orang miskin yang tidak pantas untuk mendapatkan yang seperti Jihan dapatkan.

Walau bagaimanapun, kenangan masa lalu hanya muatan memori yang bercampur perasaan. Kita tidak berhak menuntut masa lalu agar masa depan yang kita hadapi dapat dijalankan dengan sempurna.

Rania memahami sesuatu, perasaan. Dia mengerti perasaan Jihan saat ini, untuk itu dia tidak mau menyakiti hati Jihan lebih dalam.
Ikatan dia dan Raihan, kini ... hanya sebatas handa Vano dan buna Vano. Tidak lebih ... karena garis takdir mereka, mungkin tidak berjodoh atau garis takdir mereka berjalan di arah yang berlawanan.

Harapan Rania yang paling dalam sekarang ialah Tuhan mau mengangkat penyakit putranya itu. Setidaknya, dia punya Vano sebagai lambang cinta empat tahun yang lalu antara dia dan Raihan.

***

"Kok mata Buna sembab? Buna bertengkar dengan handanya Vano ya, Bun?" tanya David yang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Rania. Raut wajahnya khawatir pada kondisi bunanya sekarang. David juga ingin menjadi anak sulung yang mampu meringankan beban di pundak ibunya.

Rania menggelengkan kepalanya dan mengusap leher sang anak yang baru sudah siap mandi dan akan menyantap sarapan paginya. "Tidak. Buna cuma kelilipan aja tadi, terus jadi kaya bengkak matanya. Abang cepat habisin sarapannya kan mau pergi main sama handa Enan dan Ano, kan?" Rania menuangkan bawang goreng pada nasi goreng milik David.

"Ah, iya Buna. Oke deh, abang makan dulu ya, Bun," izin anak tersebut sambil membawa piring nasi gorengnya ke depan tv, dirinya bergabung bersama Vano untuk sarapan sambil menonton Doraemon.

Rania memperhatikan kedua putranya dengan seksama, senyum indah terukir dari bibirnya yang tipis dan kemerahan. Tentu, Rania bangga pada kecerdasan anak-anaknya tersebut. Bisa dibilang, bahwa sifat kepekaan yang kuat milik David adalah turunan dari gen handanya, Naresh Raykarian.

Rania juga melanjutkan sarapannya sambil bermain ponsel, tak lama ada notif yang muncul dari layar ponselnya. Itu, Renan yang memberikan pesan bahwa ia sudah di lobi dan sedang berjalan ke unit Rania. Rania pun membalas pesan Renan dengan mengatakan oke lewat sebuah voice note.

Beberapa saat berlalu, Renan sudah tiba dan langsung memasuki apartemen Rania. Dia menyapa David dan Vano serta segera menghampiri wanita yang selama beberapa tahun terakhir memenuhi ruang di hatinya.

"Sarapanmu, habiskan. Lotte world sebentar lagi buka," ucap Rania sebagai pembuka pembicaraan mereka. Tangannya menepuk-nepuk kursi di sampingnya agar Renan mendudukinya.

"Matamu bengkak, ada apa? Menangisi Raihan?"

Dengan sedikit ragu Rania memberanikan diri mengatakan pada Renan. "Dia sudah tahu dan tadi malam menginap. Dia tidur bersama putranya, tapi tadi pagi sudah di jemput Jihan," ungkap Rania pada akhirnya.

"Oh," respon Renan dengan santai.

"Kok, O-oh? Kamu marah, ya?" Rania menatap Renan dengan khawatir, takut laki-laki itu kesal dan berakibat mendiami Rania seharian.

Renan menaruh sendoknya di piring dengan hati-hati. "Ran ...." tangannya menggenggam kedua telapak tangan Rania. Kedua matanya menatap teduh manik hitam kelam milik Rania.

"Kamu nangis dan cerita kaya gitu ke aku, aku ga mau respon apa-apa yang bikin kamu tambah tertekan. Aku percaya kok sama kamu. Disini aku ada buat kamu bukan sekedar karena aku suka, tapi aku benar-benar pengen melindungi kamu."

Seketika mata Rania berkaca-kaca, membuat Renan menghela napas panjang. Dia paling tidak bisa melihat air mata Rania yang jatuh membasahi pipi mulus perempuan tersebut.

Renan mengusap punggung tangan Rania dengan ibu jarinya sendiri. "Udah, ah. Jangan nangis, katanya mau senang-senang sama anak-anak. Buang aja dulu perkara itu, yang penting itu diri kamu sendiri, David dan Vano."

"Makasih, ya, Ren ...."

"Iya, Rania. Ayo, lanjutin makannya dulu biar energinya maksimal buat main di lotte world."
Berakhir, mereka kembali melanjutkan makan dan beberapa saat setelah itu mereka pergi bermain ke lotte world dan menghabiskan waktu disana layaknya keluarga kecil yang bahagia.

Sudah dikatakan, mawarnya terlalu cantik untuk diabaikan.

•••

𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang