08. Kemarahan Rania

11 1 2
                                    

"Sumsum tulang belakangmu tidak cocok dengan Vano. Aku rasa kau harus menghubungi ayahnya," ucap dokter Shin sambil menyerahkan surat keterangan hasil lab pada Rania. Sempat ragu memberikannya, namun tidak mungkin kan tidak diberitahu? Demi keselamatan Vano kedepannya.
 
Rania tertegun memandangi sebuah amplop putih bersih dengan seksama. Dia tidak siap dengan isi di dalamnya. Tidak siap dengan tulisan yang ada di dalamnya, bahkan jantungnya berdegup tidak karuan.
 
Perlahan, Rania membuka amplopnya dengan hati-hati. Membuka lipatan kertas dengan tangan yang bergetar hebat. Saat netranya menangkap tulisan di dalamnya, di saat itulah bahu Rania terjatuh dalam. Air matanya turun tanpa izin, membasahi pipi si wanita pekerja keras ini.
 
"Harus bertindak cepat. Anakmu mengalami gejala leukimia. Cepat atau lambat bisa berdampak dengan organ tubuh yang lain," kilah Dokter Shin, dia menyentuh punggung tangan Rania dengan lembut dan diusap pelan. Baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika ditinggalkan oleh orang-orang tercinta, apalagi darah daging sendiri yang dibesarkan dengan limpahan kasih sayang dan kebahagiaan.
 
"H-hah ... pangeran k-kecilku …," lirih Rania dengan berat, wanita itu memeluk suratnya dengan bahu yang naik turun. Mengeluarkan isak tangis yang ditahan paksa, Rania tidak sanggup.
 
Sungguh, pukulan yang hebat untuk wanita yang menaruh beban sendiri di pundaknya.
Seketika, wajah Vano memutar di kepala Rania. Bayangan anak kecilnya yang suka terkikik saat menonton Spongebob dengan memakan sereal coco crunch-nya di depan tv.
Kadang anak laki-laki itu suka menunggui abangnya mengerjakan tugas. Katanya, tidak bosan karena ia berada di samping abangnya.
Dulu, dia suka menangis kalau abang Davidnya terbaring demam. Dia menarik-narik tangan Rania untuk membeli kue donat berbalut coklat yang banyak. Ia membelinya dan diberikan semua untuk abangnya agar abangnya bisa cepat pulih, karena Vano paling tidak bisa melihat David sakit. Lantas, kini tubuh kecilnya yang sakit, membuat Rania semakin tidak tahan untuk membayangkannya. Anak manisnya, sungguh sangat Rania sayangi.
 
"Rania ... aku paham dengan keadaanmu, sangat runtuh saat mengetahui buah hati kita mengalami hal sulit seperti ini
..."
 
"Dokter ... a-aku-"
 
"Rania, ayahnya Vano bukankah memiliki banyak uang. Katakanlah padanya, jika putra kalian membutuhkan pertolongan sedini mungkin. Kita harus segera mencegah virus itu menyebar ke tubuh Vano, secepatnya," tegas dokter Shin. Benar, Rania harus cepat bertindak, sebelum menyesali semua keterlambatan yang ada.
 
Lagi, hati Rania semakin runtuh. Bahkan, dia bingung akan melakukan apa setelah ini. Tubuhnya melemas dan ingin berteriak pada Tuhan untuk mencabut nyawanya saja, asal Vano bisa sembuh seperti sedia kala.
 
Dengan langkah gontai, Rania keluar dari ruangan dokter Shin. Tubuhnya terduduk di lantai dengan dagu yang tertopang di atas kursi panjang rumah sakit. Wanita itu menenggelamkan kepalanya dengan tangisan yang tersedu-sedu. Dia tidak bisa kehilangan Vano. Anak manisnya, anak yang paling polos dan pengalah.
 
Rania menangis tersedu-sedu tanpa ada sosok yang menjadi tempat keluh kesahnya. Dia merasa sendirian di saat seperti ini. Nyatanya, ada banyak orang yang masih peduli pada Rania, hanya wanita ini tidak ingin merepotkan siapa pun.
 
"Euhhh ... a-aku bukan ibu yang baik untuknya," lirihnya sambil menarik-narik rambutnya sendiri sampai berantakan dan memukuli dadanya dengan begitu kuat. Rania marah pada dirinya sendiri karena gagal menjaga Vano.
 
"T-tuhan ... takdir apa ini ... kenapa aku selalu d-diberi cobaan s-seperti ini …," ungkap Rania dengan isak tangis pilunya. Orang-orang yang berlalu lalang lewat di dekatnya, hanya memasang wajah sedih dan prihatin, tidak bisa membantu karena mereka sama terpuruknya seperti Rania.
 
"Vanoku ... bayi kecilku ... anak penurutku .... Pangeran Buna ... j-jangan sakit ya, nak ... eukhh ...." Rania kembali menepuk-nepuk dadanya dengan kuat. Meraung sedikit lebih nyaring saat dilihat tempat yang ia singgahi mulai sepi. Hanya ada dirinya dan beberapa perawat yang bekerja mondar-mandir masuk ke dalam ruangan rawat inap.
 
Rania tersiksa dan tersakiti seperti tertancap belati. Belati itu semakin dalam menggores luka hati Rania. Awalnya, belati itu tertancap karena seorang pria dewasa yang dulu pernah mengisi hari-harinya, kini membencinya. Tapi, sekarang belati itu semakin membelah hati Rania karena seorang laki-laki kecil kesayangannya mengidap penyakit.
 
***
 
Rania sudah berada di depan ruang apoteker untuk mengambil obat Vano. Wanita itu terduduk lesu sambil menelpon Hani.
 
"I-ibu ... Anya butuh Ibu ... Ibu ... A-anya t-tidak sanggup menampung sendiri …," ucapnya lirih, membuat Hani cemas di seberang telpon. Ada apa dengan Rania? Hani ingin sekali menyusulnya sekarang.
 
"Putriku, ada apa? Kau dimana? Aku berada di apartmu dan hanya ada David dan Vano."
 
"I-ibu, Anya harus b-bagaimana?" Lagi, Rania menjatuhkan bahunya yang lemah sambil menangis pilu, dia memandangi obat yang berada ditangannya. Dia berharap, Tuhan memindahkan penyakit Vano ke tubuhnya. Sungguh, dia tidak bisa melihat pangeran kecilnya jatuh sakit.
 
"Anya, pulang. Jangan buat Ibu khawatir, kau kemana, sayang?"
 
"I-ibu ... A-anya t-takut ... eukhh ... Van-"
 
"Rania?" ucap seseorang yang muncul dari sisi kiri Rania, membuat Rania menolehkan kepalanya secara cepat.
 
Jihan berada disana dengan Raihan yang tengah menggendong Dean yang sedang sakit.
"I-ibu ... Anya akan pulang." Rania mematikan ponselnya dan berdiri dari duduknya. Ia ingin segera pergi saja karena keadaannya yang sangat kacau sekali.
 
"K-kau kenapa Rania? Berantakan sekali. Apa yang terjadi padamu?" tanya Jihan yang khawatir melihat kondisi Rania.
 
"Mungkin dia sakit atau anaknya yang sakit. Anaknya sangat aktif bergerak dan membuat rusuh di kantor, mungkin kali ini Tuhan menegurnya," ucap Raihan spontan tanpa pemikiran yang panjang, membuat Rania mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.
 
Bagaimana bisa ada manusia yang tega berkata pada seorang ibu yang tengah berjuang membesarkan anak-anaknya. Sungguh, laki-laki itu hanya semakin memperdalam luka milik Rania tanpa mau menutupnya kembali.
 
"K-kau-"
 
"Apa? Memang benar, kan? Anakmu mendapatkan hukuman dari Tuhan karena perilaku nakalnya," balas Raihan lagi. Padahal sudah jelas, Raihan tahu bahwa Vano adalah anak yang baik dan penurut. Hanya karena membenci ibunya, Raihan semakin ingin membuat Rania jatuh terpuruk tanpa ada yang menolong.
 
Rania menatap Raihan dengan nyalang, bisa-bisanya laki-laki itu berbicara yang buruk kepada seorang ibu seperti Rania. Sungguh, bukan menunjukkan sikap seseorang yang berpendidikan.
 
"K-kau sepertinya sangat membenci anakku karena perbuatanku di masa lalu. Tapi, terlepas dari itu apa kau tidak punya hati berbicara seolah-olah anakku nakal dan Tuhan sedang menghukumnya. Apa yang anakku lakukan sampai kau sebenci ini kepadanya? Apa dia meminta uangmu? Apa dia berkata tidak sopan kepadamu? Apa keberadaanya sangat mengusik kehidupanmu, Tuan Raihan Atmadja?"
 
Deg!
Hati Raihan bergetar hebat, perkataan Rania sungguh tidak bisa ditebak. Wanita itu dengan emosinya yang membuncah mampu membuat seorang Raihan terdiam, dia tidak menyangka jika Rania bisa semarah ini atas perkataannya yang kelewatan.
 
"Rania, Mas Raihan adalah bosmu," tekan Jihan memperingati. Jihan tidak suka ada bawahan yang sekenanya berbicara layaknya memiliki derajat yang tinggi dari pada calon suaminya.
 
"Aku sedang tidak dalam masa kerjaku, jadi aku bisa bersuara seperti ini, Nona Jihan," balas Rania tegas. Dia muak dengan dua orang yang ada di hadapannya sekarang. Ingin sekali melemparkan tasnya ke wajah Jihan, agar wanita itu diam.
 
"Kau memang telah berubah banyak, bukan seperti Raniaku di masa lampau," kilah Raihan sambil melonggarkan gendongannya pada Dean. Ada sedikit rasa hatinya tercubit karena Rania yang berani membela diri.
 
Jihan yang mendengar kilahan Raihan, menatap calon suaminya dengan tidak percaya. "Mas ...."
 
Rania berdecih kuat dan menatap sengit mantan kekasihnya dulu. "Cih! Apa pedulimu tentang masa lalu? Bukankah kau yang paling bersemangat untuk menghilangkan memori yang dulu."
 
Rania menyandang tas selempangnya dan memasukkan obat Vano ke dalamnya. Dia berjalan begitu saja melewati Jihan dan Raihan tanpa pamit sedikit pun. Biarlah jika dicap jelek, yang penting Rania menguapkan kemarahannya karena harga dirinya yang diinjak-injak.
 
Raihan menyerahkan Dean kepelukan Jihan. "Aku ingin berbicara padanya dulu, kau temuilah dokter Dean," titah Raihan, wajahnya terlihat panik dan ingin segera mengejar Rania.
 
"Mas...." Jihan menggelengkan kepalanya, pertanda tidak boleh. Jihan tidak suka jika Raihan masih memperdulikan kehadiran Rania, walau hanya sedikit.
 
"Jangan khawatir, aku hanya ingin meluruskan semuanya. Aku hanya milikmu Jihan." Raihan mencium dahi Jihan dengan lembut dan pergi menyusul Rania yang keberadaannya masih terjangkau oleh pandangannya.
 
Rania mempercepat langkahnya dengan tangan yang masih terkepal hebat. Wajahnya memerah menahan amarah, dia sangat membenci Raihan Atmadja sekarang.
Raihan menjangkau pergelangan tangan Rania. "Rania!"
 
"Jangan sentuh aku!" Rania menepis tangan Raihan dengan kasar, membuat lelaki itu tercekat dari tempatnya. Matanya tidak lepas pada tangan yang ditepis olehnya barusan.
Raihan menaikkan pandangannya dan mata indahnya bersitatap dengan bola mata kemerahan milik Rania.
 
"Kau kenapa semarah ini? Harusnya aku yang marah padamu, Rania!"
 
Mata Rania berkaca-kaca dan pandangannya semakin buram, dia benci jika harus memandang Raihan. "Kenapa kau menyalahkanku! Bukankah kita sudah selesai dari empat tahun yang lalu!"
 
"Kau yang membuat masalah dan menghianatiku. Bukankah Tuhan sedang menghukummu saat ini?" Raihan memajukan langkahnya mendekati Rania.
 
Rania meneteskan air matanya dengan napas yang naik turun tidak beraturan. "Kenapa kau menyalahkanku atas semua yang terjadi? Kenapa kau membenci anakku? Anakku hanya anak polos yang tidak tahu apa-apa. Tapi, kau mengatainya sialan. Aku tahu dia tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi dia juga bisa merasakan bahwa ada orang yang membencinya. Kenapa kau membencinya? Tidak cukup saja kau membenciku? Aku tidak apa-apa jika kau mengataiku penghianat, penggoda dan pelacur! Tapi, aku mohon ... tolong jangan mengatai a-anakku ...." Rania menghapus jejak air matanya yang begitu basah. Kembali, bayangan Vano sedang tertidur lelap berputar di otaknya. Rania kasihan pada anak malangnya yang tidak berdosa, tapi mendapat hukuman karena terlahir dari rahim seorang ibu seperti Rania.
 
"Karena aku tidak suka dengan ayah anak itu!" ucap Raihan meluapkan semuanya. Sejujurnya, dia membenci ada laki-laki yang bisa memiliki buah hati bersama Rania. Karena tujuan hidup Raihan dahulu, hanya ingin menjadi satu-satunya ayah untuk anak Rania.
 
"Apa maksudmu!" Rania membalas tatapan Raihan dengan nyalang. Apa-apaan dengan pernyataan Raihan barusan, sungguh tidak dimengerti jalan pikiran pria itu.
 
"Aku benci di saat aku mencintaimu dan kau menghianatiku! Dan aku benci saat kau punya anak dari laki-laki lain! Kenapa kau jahat padaku Rania! Kau melukaiku! Kau melukai ibuku! Dan aku benci dengan kehadiran Vano di dunia ini! Aku benci Rania!"
 
Plak!
Rania menampar pipi Raihan dengan kuat.
"APA KAU PANTAS BERKATA SEPERTI ITU PADAKU! APA KAU PERNAH MENCARI TAHU KEBENARAN SEMUANYA? APA KAU PEDULI DENGAN KEADAANKU WAKTU ITU? APA KAU BERTANYA KENAPA AKU TERLIHAT GUGUP? APA KAU PEDULI DENGAN KECEMASANKU SAAT ITU? APA KAU PERNAH MEMBAYANGKAN KALAU AKU BERBOHONG PADAMU WAKTU ITU?"
 
Raihan terdiam begitu saja dan menatap Rania dengan tanda tanya besar. Teriakan Rania bahkan menggema memenuhi lorong rumah sakit. Lagi, disana sangat sepi karena dekat dengan kamar mayat. Rania bahkan tidak peduli jika mayat-mayat tersebut hidup kembali karena teriakan Rania.
 
"Kenapa? Kenapa Raihan Atmadja?" Rania memukul dada Raihan kuat-kuat. "Kau bahkan tidak bertanya kenapa aku terlihat pucat dan sakit. Kau terus menembakkan pertanyaan yang membuatku semakin tidak berkutik. Bahkan kau tidak peka, ada berapa banyak orang yang mengintai dan mengancamku. Kau bahkan tidak peduli dengan kondisiku karena kau datang hanya ingin mendengar jawaban kenapa aku menghianatimu." Lepas, akhirnya kata mujarab itu lepas juga dari mulut Rania sendiri. Kunci awal rahasia yang Raihan belum diketahui sampai saat ini.
 
Rania menghapus jejak air matanya lagi dengan kasar. "Raihan Atmadja, aku menyesal pernah bertemu denganmu di kehidupan ini. Aku tidak dendam padamu, aku harap kau menjadi orang yang sedikit peduli dan tidak mementingkan egomu sendiri," ujar Rania dengan jelas.
 
Rania mengayunkan kakinya menjauh meninggalkan Raihan yang masih membeku disana. Ribuan pertanyaan terbesit dalam otak Raihan sekarang. Pikirannya bercabang, cerita mana yang harus ia percayai sekarang. Apa dia harus bertanya pada ibunya?
 
"Ran ...." Tangan Raihan terangkat untuk memanggil Rania agar berhenti, namun tidak sampai. Dia membiarkan punggung wanita itu hilang dari pandangannya.
 
Semua kebenaran akan terungkap dengan semestinya, hanya tinggal penyesalan yang mungkin bisa digambarkan setelahnya. Bercerminlah dan katakan pada dirimu sendiri bahwa hidup tidak butuh keegoisan.
 
Berdamailah dengan dirimu sendiri hingga kau mengerti apa pentingnya arti kehidupan yang kau jalani saat ini - Takdir.
 
•••

𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang