10. Raihan Menyadari

12 2 4
                                    

"Apa kepala anak Buna masih terasa pusing?" Rania menarik selimut Vano sampai ke atas dada. Lalu, memijat sisi dahi Vano dengan gerakan pelan dan Vano menikmatinya.
 
"Tidak, Buna," jawab Vano. Kepalanya sudah lebih baik dan tidak terasa sakit sama sekali sekarang.
 
"Apakah Super Hero Buna berani ditinggalkan sendirian sebelum abang David pulang?"
 
"Beyaniiiii," jawab Vano dengan penuh semangat, meyakinkan ibunya bahwa superhero Buna berani ditinggalkan sendiri. Hangat, anak itu menghangatkan hati siapa pun dengan tingkah polosnya.
 
"Anak pintar, jangan banyak bergerak, ya. Pulang nanti akan Buna belikan robot gundamnya, ya sayang ...." Rania mencium dahi Vano dengan lembut. Mengusap sedikit rambut kehitaman anaknya dengan jari yang sedikit bergetar dingin.
 
"Yeayyy! Buna akan beyi yobot gudam, Ano cenang yeayyyy!!" girangnya sambil bertepuk tangan. Terlihat, gigi putih rapinya terpancar dari perpotongan bibirnya, membuat kesan anak menggemaskan.
 
Melihat Vano seperti ini, menghangatlah hati Rania. Sangat meleleh, rasanya. Benar, tidak ada yang lebih penting selain membahagiakan Vano.
 
Mulai sekarang, beban Rania meningkat double dari biasanya. Pertama, kerja keras untuk mendapatkan banyak uang dan kedua lebih ekstra merawat Vano yang mengidap gejala leukimia. Lalu, bagaimana dengan kesehatan Rania sendiri? Tidak peduli, yang penting anak-anaknya sehat selalu dan tidak kekurangan apapun kedepannya.
 
Rania melangkahkan kakinya keluar apartement dan mencari angkutan umum untuk ke tempat kerjanya.
 
"Sore yang cerah, senyum Vano juga cerah. Tapi, kenapa perasaanku tidak enak?" tanyanya pada diri sendiri. "Ah, tidak perlu dipikirkan sepertinya. Ayo Rania Arsita! Kerja keras! Robot gundam menanti," sambungnya lagi yang diakhiri dengan kekehan kecil.
 
***
 
Dua hari sebelumnya.
 
Cklek!
"Ayah ... Ibu ...." ucap Raihan lirih. Dia berdiri di ambang pintu dengan tangan yang bergemetaran hebat. Tidak dapat dipungkiri, wajah Raihan sungguh pucat dan penuh ketakutan.
 
"R-raihan ...." ucap Hani dengan terkejut. Dia menutup mulutnya perlahan.
 
Melihat putranya berdiri disitu, Haru memejamkan matanya sebentar. "Sejak kapan kau berdiri disana?" tanyanya cepat dengan nada yang tinggi.
 
"T-tidak penting. Ibu ... R-rania-"
 
"Wanita itu bohong! Dia pelacur, anak itu bukan anak kau, Raihan!" potong Haru cepat, membuat Hani menatap Haru tidak percaya. Bisa-bisanya laki-laki yang menjabat sebagai ayah berkata bohong dan memfitnah seorang wanita sebagai pelacur.
 
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu! Itu anak Raihan, Haru Atmadja!"
 
"Ibu …," lirih Raihan kembali. Kakinya bergemetaran hebat, rasa tidak kuat untuk sekedar melangkah lagi
 
Haru menggeram, terlihat dari urat lehernya yang terbentuk jelas. Guratan wajahnya juga sungguh menyeramkan. "Kau saja yang mau dibodohi oleh wanita sampah itu! Dia menggodaku, Hani!"
 
Plak!
Hani menampar Haru dengan tenaga yang tersisa, tidak peduli Raihan melihatnya. Hani hanya tidak ingin terus menutupi fakta yang ada, bahwa Vano adalah anak Raihan Atmadja. Terlebih lagi, Rania tidak pernah bersalah ataupun menggoda Haru. "Jangan berani kau berkata yang tidak masuk akal tentang Rania! Sudah cukup kau membuat wanita itu menderita selama ini!"
 
"Kau berani menam-"
 
"Ayah! Cukup!" sela Raihan sambil memegangi dadanya yang sesak. Bahkan, rasanya berkali-kali lipat seperti ditusuk seribu pisau. Fakta yang sungguh mengoyak hatinya dan membuatnya semakin ingin mati saja.
 
"Raihan! Dengarkan aku. Wani-"
 
"Ayah! Diamlah," tekan Raihan lagi. Laki-laki itu seperti tidak ingin mempercayai kebohongan Haru lagi. Raihan hanya ingin apa yang disembunyikan selama ini darinya, dikeluarkan. Raihan tidak ingin lagi pura-pura membenci Rania.
 
"Sekali ini aku tidak akan diam lagi Haru Atmadja! Sudah cukup aku tertekan demi kepentingan dirimu yang membuatku terpuruk selama ini," ucap Hani dengan tatapan yang nyalang. Dia tidak takut lagi karena Raihan pasti akan membelanya mulai sekarang.
Haru mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya yang putih terlihat jelas mengeras.
 
"I-ibu, apa yang kau s-sembunyikan dariku?"
tanya Raihan. Dia tampak kesulitan bernapas karena dadanya yang begitu sesak.
 
"R-raihan ...." Hani perlahan berjalan ke arah putra sulungnya dengan tertatih-tatih. Sudah waktunya, semua kebohongan dan rahasia harus disampaikan pada Raihan. Raihan berhak tahu siapa putra kandungnya dan kebenaran yang terjadi, bahwa Rania bukanlah wanita jahat seperti yang dipikirkan anak laki-laki itu sampai sekarang.
 
"I-ibu ...." Raihan menangkap ibunya ke dalam dekapannya, mereka sama-sama terduduk di lantai. Sama-sama menangis pilu untuk sebuah kesalahan dan keteledoran mereka. Menyesal karena telah menelantarkan Rania seorang diri yang berjuang mengurus Vano.
 
Bayangkan, seorang wanita yang berusia 21 tahun hidup sebatang kara dengan mengandung seorang bayi yang ayah dari bayi tersebut adalah kekasihnya. Dia difitnah menggoda suami ayah kekasihnya dan berakibat hubungan mereka kandas. Dalam kondisi seperti itu, kekasihnya pergi ke luar negeri tanpa tahu dirinya sedang mengandung.
 
Hidupnya sulit dengan ekonominya yang susah, bahkan tidak punya pengalaman sedikit pun bagaimana cara mengatasi kehamilan atau menjadi ibu yang baik bagi si calon bayi. Sungguh, sangat miris jika kita kembali ke masa kelam Rania yang merupakan seorang anak yatim piatu dan tidak punya pondasi untuk bertahan.
 
Hani menangkup wajah Raihan. "H-hari itu .... Raniaku sudah mengandung anakmu, Raihan ...." Hani memejamkan matanya, air matanya menyelinap begitu saja dari pelupuk matanya yang cantik. Berderaian jatuh tanpa henti. Namun, dia juga perlahan lega karena rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat akhirnya terkuak dari mulutnya sendiri.
 
"I-ibu ...." Raihan memegangi pergelangan tangan ibunya. Dia sangat syok, sampai dia sendiri kebingungan sekarang. Semua perkataan Hani terasa begitu cepat berputar di kepalanya. Bahkan, lidahnya seperti mati rasa untuk berkata sesuatu.
 
Hani kembali melanjutkan. "Raniaku t-tidak pernah menggoda ayahmu .... hahhh .... d-dia tidak pernah menerima uang itu R-raihan ... dia menolaknya. Maafkan aku ...." Hani memukul dadanya dengan tangan kanan, rasanya sudah tidak sanggup lagi berbicara. Ia benar-benar ingin semuanya selesai dan hidup dengan tenang setelah ini. Ia ingin bisa dengan bebas bertemu cucunya dan mengasuh Vano dengan tangannya sendiri.
 
Takdir sudah membawanya kesini dan di titik ini dirinya harus membayar waktu yang terbuang sebagai ayah.
 
Hani melanjutkan lagi perkataannya dengan terbata-bata beserta dada yang begitu sesak ia rasakan. "D-dia bertahan sendirian hari itu, dia hanya menerima u-uang dariku. Uang itu aku p-pesankan untuk biaya persalinan dia ... selebihnya d-dia tidak mengharapkan apapun, nak." Hani kembali menangis sejadinya, menyesali perbuatannya yang tidak pernah menahan Rania untuk tetap tinggal di Jakarta.
 
 "J-jadi, R-rani-" Raihan memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Bayang-bayang wajah Rania hari itu menyelinap kembali dalam pikirannya. Sosok wanita manis yang selalu mengisi hari-harinya, bahkan di masa terpuruknya dulu.
 
Hani menganggukkan kepalanya dengan bibir yang bergetar hebat dan isak tangis yang ditahan-tahan. "Dia berbohong, Raihan .... A-aku depresi karena kehilangan dirinya dan cucuku ... hahhh ..." Hani semakin menjadi-jadi menangis dalam pilu. Bahkan, dia sampai tersedak saking sakitnya. Suaranya sangat nyaring memenuhi ruangan kamarnya.
 
"D-dia tidak bersalah, a-akulah yang bodoh," lontar Raihan sambil menarik rambutnya sendiri. Tangannya berkeringat dingin sampai kaku untuk digerakkan. Lututnya melemas hebat dan ingin membanting kepalanya pada tembok bercat putih di ruangan tersebut.
 
"V-vano itu ... a-anakmu," lirih Hani sambil meremat lututnya sendiri. Dia tidak sanggup mengatakan, begitu hancur hatinya memikirkan keadaan Vano yang sekarang.
 
"J-jadi, dia a-anakku …," lirih Riahan sambil membayangkan bagaimana dulu dia mengatai Vano sialan. Laki-laki itu mengingat bagaimana Vano berkata dia tidak mencuri hari itu. Semakin sakit tertusuk, saat ia kembali mengingat bagaimana Vano berjongkok di dekat kaca ruangan VIP demi menonton Spongebob. Kembali, hati Raihan terbelah hancur. Sungguh, kelakuan bejatnya layak tidak diberi ampun.
 
Setelah ini, bagaimana ia akan bertemu Rania? Apa Rania akan memaafkan kesalahannya? Apa Vano mau menerima dirinya sebagai ayah? Bukankah julukan manusia paling bodoh dan jahat sangat patut diberikan padanya sekarang?
 
Berarti, selama ini ia hanya memperdalam luka Rania. Cinta itu jelas, cinta yang sangat tulus dari seorang Rania. Dia bahkan mempertahankan cinta mereka dengan melahirkan dan membesarkan Vano sampai saat ini. Lalu Raihan? Bahkan membuat hidup Rania semakin susah sekarang.
 
"A-aku minta padamu, donorkan sumsummu untuk Vano, dia membutuhkan itu, putraku."
 
 DEG!
Jantung Raihan rasanya tersengat.
 
"I-ibu, Van-"
 
"Gejala leukimia. Dia sakit, nak ...." Kembali Hani menjatuhkan kepalanya di dada Raihan. Sungguh, Hani ingin cucunya baik-baik saja. Wanita paruh baya itu ingin menebus semua dosanya dan ingin melihat Vano hidup normal kembali tanpa ada penyakit yang menggerogotinya.
 
Bagai hentaman batu terlempar ke pundak Raihan. "L-leukimia?" tanyanya, ekspresi wajahnya sungguh sangat terkejut dan tidak ingin mempercayai perkataan ibunya itu.
 
Hani menganggukkan kepalanya, dia sekarang menggenggam tangan Raihan. "Temui putramu, dia sedang sakit .... Rania membutuhkanmu, sudah banyak beban di pundaknya Raihan .... wanita itu kuat sekali," pinta Hani pada putra sulungnya.
 
Tes! Tes! Tes!
Air mata Raihan berjatuhan dengan deras. Sungguh, diluar nalar pikirannya. Bagaimana bisa Rania sekuat itu? Bagaimana bisa Rania masih menerima cercaan yang dilontarkan Raihan sampai saat ini? Oh, Tuhan ... bolehkah Raihan mendapat maaf dari anak dan ibu itu?
 
"J-jadi ... hari itu ... dia menangis karna Vano, d-dan aku ... a-akhh-" ucapan Raihan mulai tersendat di ujung lidah.
 
"D-dia menanggungnya sendirian Raihan ... dia wanita kuat ...."
 
"Akh! B-bagaimana ... AKH!!! RANIA!!" Teriak Raihan. Ia mengingat saat ia bilang pada Rania bahwa Tuhan sedang menghukum anaknya yang nakal. Bagaimana bisa Rania masih menyembunyikan fakta itu darinya? Miris sekali mengenyam fakta, bahwa Raihan sudah terlalu jahat pada mantan kekasihnya.
 
"K-kumohon temui Rania dan putranya."
Raihan menutup permukaan wajahnya dengan telapak tangan. "AKHH!! RANIA! RANIA! RANIA! RANIA!!!" teriaknya menjadi-jadi merasa menyesal. Begitu marahnya pada diri sendiri dan ingin segera menebus kesalahannya pada wanita yang ia cintai tersebut.
 
Manik mata hitam legam itu, sungguh sangat jelas hari itu. Dimana, Raihan melihat sendiri tatapan tegas dari seorang wanita tangguh seperti Rania. Ternyata, dibalik itu ribuan beban menumpuk di pundak Rania.
 
Dia bahkan menerima penghinaan kotor yang ditujukan untuknya. Dia bertahan selama itu .... Rania sekarang kau membuat Raihan ingin membunuh dirinya sendiri secara perlahan.
 
"AKH! AKU MENCINTAIMU RANIA! AKU MENCINTAIMU!"
 
***
 
"Kak Anya," panggil Vita sambil menyodorkan satu buah totebag pada Rania. "Ada titipan buat Kakak."
 
"Hah?" Rania menerima titipan tersebut dari tangan Vita. "Dari siapa?"
 
"Aku kurang tau juga, Kak," jawab Vita, terlihat gadis itu tampak berpikir sebentar. "Kayanya dari bos Kakak dulu deh."
 
"Bos aku?" Rania tampak mengernyit keheranan. Bos yang mana? Raihan? Atau Renan?
 
Vita mengangguk dan berjongkok untuk membuka pintu lemari kecil untuk mengambil lap tangan. "Iya, soalnya pakaiannya rapi gitu."
 
"Oh yaudah, makasih ya, Vit," ucap Rania pada akhirnya.
 
"Iya, Kak. Aku lanjutin kerjaan aku dulu ya, Kak."
 
"Iya," jawab Rania singkat.
 
Setelahnya, Rania membuka aprons masaknya dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Lalu, mencari kontak Renan untuk dihubungi.
 
Saat sambungan telepon terhubung, sosok di seberang sana menyahut dengan senang hati.
 
"Ada apa sayang?" tanyanya menggoda Rania.
 
"Is, aku mau serius tau."
 
"Kapan?"
 
Rania mengernyitkan dahinya. "Apanya yang kapan?"
 
Renan terkekeh kecil, senang sekali menggoda Rania sepertinya. "Katanya mau ke jenjang yang serius, yaudah kapan?"
 
"Renan!"
 
"Ampun, iya, ampun."
 
"Kau mengirimku bingkisan, kah?"
 
"Bingkisan?"
Oh, jelas. Bukan Renan pelakunya.
 
"Iya, ada yang mengirimiku bingkisan. Aku pikir itu dari kamu." Rania pun mencoba membuka bingkisan tersebut dengan satu tangannya secara hati-hati.
 
"Bukan aku, memang apa isinya, Nya?"
 
Tep!
Rania mematikan teleponnya secara sepihak saat tahu apa isi dari bingkisan tersebut. Matanya memerah dan perutnya terasa mual berkali-kali lipat, seseorang telah berniat meneror Rania dengan mengirim hal yang menjijikkan berupa kepala burung hantu yang berlumuran darah disertai foto Rania saat berumur 13 tahun saat ia kehilangan kedua orang tuanya.
 
Semesta tidak akan pernah lupa pada orang-orang yang menyakiti wanita tulus
seperti Rania.
 
•••

𝐓𝐡𝐞 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡 𝐔𝐧𝐭𝐨𝐥𝐝 | 𝐊𝐒𝐉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang